Yogyakarta, 17 Mei 2025.
Apa momen paling berwarna dalam hidup manusia? Mungkin, salah satunya adalah saat kita jatuh cinta. Dalam banyak hal, jatuh cinta adalah sebuah pengalaman eksistensial yang menyentuh inti dari siapa kita sebagai makhluk yang merindukan keterhubungan penuh makna. Karena itulah, jatuh cinta tak pernah habis menjadi momen yang ingin diabadikan dalam berbagai bentuknya.
Bagi seorang penulis, cinta akan menjadi narasi yang tak akan pernah selesai untuk ditafsirkan; menjadi sebuah kisah yang tak pernah selesai dituliskan. Bagi seorang pembuat film, cinta akan menjelma dalam visual yang menyentuh dan membuat penontonnya ikut merasakan. Bagi seorang musisi, cinta mengalir melalui nada---nada yang riang penuh nuansa merah muda. Dan bahkan sesederhana tersenyum dan bahagia setiap waktu saat teringat ia yang kita cintai. Sampai disini, bisa dinyatakan bahwa jatuh cinta adalah momen yang sangat agung dan megah bagi siapapun yang merasakannya.
Namun itu tidak berlaku, dalam sebuah lagu yang diciptakan oleh efek rumah kaca pada tahun 2007. Ia hadir seakan dipersiapkan menjadi sebuah antitesa dari apa yang kita bayangkan tentang cinta yang fenomenal dan sakti mandraguna tersebut. Lagu itu berjudul jatuh cinta itu biasa saja. Dari judulnya saja sudah terdengar seperti pelanggaran berat terhadap konsensus budaya populer kita tentang cinta.
Di tengah dunia yang begitu gemar merayakan cinta dalam bentuknya yang paling megah. Efek Rumah Kaca justru tampil membisikkan sesuatu yang nyaris revolusioner: bahwa cinta tidak perlu dirayakan secara berlebihan, apalagi dipamerkan. Ia membuat kita membenturkan diri ke dinding-dinding imajinasi tentang cinta yang selama ini dibentuk oleh industri hiburan, iklan parfum, drama Korea, hingga unggahan-unggahan Instagram yang memperlihatkan pasangan bak tokoh dalam dongeng.
Alunan nada penuh makna yang dibawa oleh Efek Rumah Kaca dalam lagu ini terasa seperti tamparan lembut di tengah gemuruh euforia cinta yang kerap diagungkan tanpa henti. Ia memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apakah cinta harus selalu spektakuler untuk dianggap nyata? Apakah kerendahan hati dalam mencintai justru bukan bentuk cinta yang paling jujur? Melalui lirik-liriknya yang sederhana, lagu ini justru mengajak kita untuk melihat cinta dari sisi yang lebih membumi. Yang tidak perlu kembang api atau janji manis untuk menjadi bermakna. Dan justru di sanalah letak keindahannya: ketika cinta menjadi biasa, ia akan menjadi lebih dekat, lebih manusiawi dan lebih bisa dirayakan oleh siapa saja.
Mari kita sejenak tenggelam bersama lebih dalam untuk memahami bahwa ini bukan hanya sekedar lagu, tetapi juga sebagai narasi alternatif tentang cinta yang layak untuk direnungkan.
Cinta Yang Nggak Haus Validasi
"Kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan."
"Kita berdua hanya saling bercerita, tak perlu memuji."