Mohon tunggu...
Revansha Ananda Muhammad F
Revansha Ananda Muhammad F Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Public Relations | Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kilau Air Mata Mutiara

2 Desember 2021   08:29 Diperbarui: 2 Desember 2021   08:35 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150506081433-113-51481/ada-hotel-khusus-menangis-di-jepang

"Uhuk uhuk uhuk!"
Terdengar bunyi batuk ibuku. Sejenak aku terdiam di dapur. Kuratapi lagi kehidupan kami yang serba kekurangan. Menurut Pak Ahmad, salah satu tetangga kami, ibuku terkena penyakit TBC. Jika tak dioperasi, maka penyakitnya tidak akan bisa sembuh. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi ibuku, sedangkan hasil dari mulung saja sudah syukur bisa membantuku mendapat sesuap nasi. Karena ketidakberdayaanku inilah, aku hanya bisa memohon dan memanjatkan doa pada Sang Pencipta.

"Alfan... Uhuk uhuk," panggil ibuku sambil terbatuk-batuk.
"Iya, Bu. Tunggu bentar," aku segera melangkah menemui ibuku sambil membawa piring dan sendok. "Nah, ayo kita sarapan, Bu," kataku kemudian kembali duduk di samping ibuku.
"Kamu pasti capek ya, Nak. Hari ini kamu istirahat aja. Tidak baik memaksa diri kamu bekerja," kata ibuku seraya menyendok nasi.
"Ibu nggak usah khawatir. Alfan baik-baik aja. Alfan masih kuat, kok," jawabku seraya melemparkan sebuah senyuman pada sang ibu.
"Terimakasih, Nak. Ibu tidak tahu lagi harus bersyukur seperti apa karena punya anak seperti kamu," raut wajah ibuku berubah. Sendu. Ia menahan kesedihannya. Atau mungkin justru rasa harunya.
"Nggak usah sedih, Bu. Alfan janji, Ibu pasti akan sembuh. Percaya sama Alfan, deh."
"Iya, Nak. Tapi, maafkan ibu yang tidak bisa menjalani tugas ibu sebagai orangtua."
"Jangan bilang begitu, Ibu. Sudah cukup. Ibu melahirkan Alfan ke dunia ini saja itu sudah cukup. Mengandung Alfan dalam waktu 9 bulan itu sudah sangat membebani Ibu. Jadi, sekarang giliran Alfan yang akan melakukan tugas Alfan sebagai seorang anak yang berbakti pada ibunya."

Sosok wanita penerang bagiku itu pun meneteskan air mata. Beliau terisak tangis dan kesedihan yang begitu dalam. Tidak. Aku tidak ingin ibuku menangis. Karena bagiku, air matanya adalah mutiara berharga yang tak boleh terbuang sia-sia. Mutiara itu hanya miliknya seorang. Dan aku tak akan membiarkannya terbuang sia-sia.

Langit mendung sore itu. Kilatan halilintar sesekali menyambar. Angin mulai mengamuk. Menerbangkan setitik demi setitik semangatku. Aku masih berjalan dengan kaki kecilku. Langkah demi langkah. Sekarung plastik bekas yang kuseret sesekali tertarik sang angin. Namun kulawan arus angin dan terus berjalan. Tidak. Jangan renggut setitik harapanku. Hanya ini yang bisa aku lakukan daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.

Mentari sore itu pun sepenuhnya tertutup kegelapan. Kuhentikan langkah kecilku. Ku menengadah menatap sang langit. Setitik air jatuh di pipiku. Setitik. Setitik. Kemudian lebat mengguyur bumi sepenuhnya. Kupercepat langkahku. Kedua mataku sibuk mencari tempat yang teduh. Tidak. Hujan semakin deras. Aku sudah basah kuyup. Di sudut pertokoan, masih tersedia tempat. Lari. Kuhempaskan rasa letihku. Aku terduduk di depan sebuah toko yang sedang tutup.


Pikiranku tak tenang. Ibuku. Pasti Beliau kedinginan. Pasti atap rumahku banyak yang bocor. Walau sekedar rumah kumuh, aku tetap bersyukur masih memiliki rumah. Ketika pikiranku bergentayangan, dipenuhi bayang-bayang ibuku, sebuah kilatan yang kemudian diikuti oleh gemuruh mengagetkanku. Aku tersadar. Kulihat sekelilingku, tiba-tiba sudah ada seorang wanita paruh baya yang sedang berteduh. Sesekali ia menggigil kedinginan. Kupandangi wanita itu. Ia mengenakan atasan putih, berkaca mata. Kulirikkan mataku pada pakaiannya, sebuah tanda pengenal di kalungkannya. Tak dapat kubaca. Aku buta akan huruf.

"Ada apa, Dik?" tanya wanita itu tiba-tiba.
"Ma-maaf. Nggak apa-apa, Buk," balasku kemudian mengalihkan pandangan.
"Kamu kenapa bisa basah kuyup begitu, Dik?" tanya lagi wanita itu.
"Saya kira hujannya nggak lebat. Saat sedang sibuk cari plastik, tahu-tahu hujannya sudah lebat," jawabku sambil meremas erat ujung karung berisi plastik bekas yang sedang kupegang.
"Rumah kamu di mana, Dik?"
"Di desa, Bu. Kawasan kumuh di sekitar sini."
"Kalau nggak cepat-cepat ganti baju, kamu bisa sakit," katanya penuh perhatian.
Aku terdiam sambil terus memandangi langit yang tak kunjung cerah. Hujan semakin lebat. Udara semakin dingin. Pikiranku lagi-lagi terbayang ibuku.

Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit kemudian berjalan melawan derasnya hujan.
"Dik! Kamu mau ke mana? Hujannya masih lebat!" pekik wanita paruh baya itu. Tak kuhiraukan. Aku terus berjalan. Aku sudah tak tahan. Aku ingin memastikan ibuku baik-baik saja.

Kupercepat langkahku. Sekarung plastik bekas yang kubawa semakin berat, tetapi tak menghentikanku.
"Ibu!"
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" ibuku menyadari kepulanganku.
"Ibu? Ibu baik-baik aja, kan?"
"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Ibu nggak... Uhuk...!" ibuku tersedak-sedak. Semakin menjadi-jadi. Tampaknya Beliau kedinginan.
"Ibu! Ayo, minum dulu, Bu!" kataku seraya mengambil segelas minuman di atas meja dekat ranjang.
"Kamu tidak perlu khawatir, Nak. Ibu baik-baik saja," balas ibuku kemudian meneguk segelas air yang kuberikan.
"Tapi... tapi... Ibu kedinginan."
"Kan sedang hujan, Nak. Wajar saja kalau Ibu kedinginan," balas ibuku dengan helaan napasnya yang begitu berat. "Kamu basah kuyup, Nak. Ayo, ganti baju dulu! Nanti kamu sakit," lanjutnya penuh perhatian.
"Jangan khawatirkan Alfan, Bu. Maafin Alfan, Bu. Alfan belum bisa membiayai ibu untuk operasi," aku menitikkan air mata. Aku dilanda kepedihan itu lagi. Perasaan itu datang lagi. Perasaan yang teramat pedih seakan menyayat hati.
"Jangan pikirkan itu, Nak. Ibu nggak pernah memaksa kamu. Sudah, jangan menangis, Nak!"
"Tapi... tapi..."
"Ibu mengerti perasaan kamu, Nak. Tapi, coba ingat pesan ayahmu dulu. Beliau pernah berpesan kepada kita untuk tidak mengeluh atas keadaan. Jadilah anak yang tegar, Alfian. Anak seperti kamu di dunia ini ada satu berbanding seribu. Ingat, Nak! Air matamu adalah mutiaramu."
"Ibu. Apakah kita nggak pantas mendapat kebahagiaan?"
"Jangan berbicara seperti itu, Nak! Tuhan tahu apa yang terbaik bagi hambanya. Sudah, hentikan air matamu, Nak! Belajarlah dari ayahmu. Ayahmu adalah sosok yang tegar. Ia tak pernah menangis. Ia selalu sabar dan terus berusaha untuk mencukupi kebutuhan kita. Menangislah di saat kamu sudah benar-benar kehilangan arah dan tak tahu bagaimana untuk kembali," jelas ibuku sembari tersenyum penuh makna.

Aku segera menghentikan tangisku. Benar apa kata ibuku. Aku tidak boleh menyalahkan takdir yang sudah ditentukan Tuhan untukku. Aku tidak boleh membuang-buang air mataku di saat aku belum benar-benar kehilangan arah. Masih banyak jalan yang belum coba kutempuh. Masih banyak rintangan-rintangan lain menunggu di depan. Masih banyak penderitaan-penderitaan yang akan menghampiri. Karena aku yakin bahwa Tuhan Maha Segalanya.

Hujan lebat itu sudah reda bersamaan dengan berakhirnya tangisku. Aku masih terisak walau tak meneteskan air mata.
"Sini, Nak! Tidur di samping Ibu," perintah ibuku tersenyum hangat. Kuanggukkan kepala tanda setuju. Aku segera berbaring di samping Beliau. Hangat ketika kupasrahkan diriku berada dipeluknya. Kasih sayangnya yang tak terhingga. Hangat seperti percikan mentari di pagi hari. Sejuk seperti embun di pagi hari. Dan Indah terasa seperti singgasana taman langit. Sehingga akhirnya, kehangatan, kesejukan, dan keindahan itu membuatku terlelap dan bermimpi akan indahnya senyuman kedua orangtuaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun