Di era digital yang serba cepat, Generasi Z tumbuh dengan akses tanpa batas terhadap internet, perangkat pintar, dan media sosial. Pola interaksi mereka lebih banyak terjadi di ruang digital dibandingkan dengan lingkungan sosial tradisional. Hal ini menciptakan peluang besar, seperti kemudahan memperoleh informasi, peluang kreativitas, dan ruang untuk membangun jejaring global. Namun, di balik berbagai kemudahan tersebut, muncul pula tantangan serius, antara lain ketergantungan pada media sosial, paparan informasi yang menyesatkan, hingga munculnya gejala kecemasan dan depresi akibat tekanan digital (Ayub & Fuadi, 2024).
Fenomena ini menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menghadapi kompleksitas kehidupan modern. Generasi Z memerlukan landasan yang kuat berupa karakter dan perilaku etis, agar mereka mampu memilah informasi, mengendalikan diri dalam penggunaan teknologi, serta membangun relasi sosial yang sehat. Pendidikan karakter berperan penting dalam membentuk individu yang tidak hanya unggul dalam pengetahuan, tetapi juga berintegritas, empatik, serta bertanggung jawab. Hal ini semakin relevan karena maraknya kasus-kasus di dunia maya, seperti cyberbullying, penyebaran hoaks, hingga penyalahgunaan data pribadi, yang sebagian besar melibatkan kalangan muda.
Artikel ini bertujuan untuk mengulas urgensi pembentukan karakter dan perilaku etis pada Generasi Z, dengan menyoroti tantangan-tantangan yang mereka hadapi dalam era digital. Selain itu, tulisan ini juga akan membahas bagaimana pendidikan karakter dapat berfungsi sebagai fondasi penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cakap secara teknologi, tetapi juga memiliki kepekaan moral yang kokoh. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya keseimbangan antara penguasaan teknologi dan penguatan nilai-nilai karakter, sehingga Generasi Z mampu menghadapi tantangan masa kini dan masa depan dengan bijak.
Melihat realitas tersebut, jelas bahwa perkembangan teknologi digital tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Generasi Z. Di satu sisi, digitalisasi memberikan peluang besar bagi kreativitas dan inovasi, tetapi di sisi lain menghadirkan risiko serius terhadap karakter dan perilaku etis mereka. Oleh karena itu, diperlukan suatu pemahaman menyeluruh mengenai bagaimana tantangan tersebut muncul, apa dampaknya bagi generasi muda, serta strategi apa yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan pembentukan karakter. Bagian selanjutnya dari artikel ini akan membahas lebih rinci mengenai tantangan yang dihadapi Generasi Z dalam era digital, urgensi pendidikan karakter, serta langkah-langkah strategis yang dapat diterapkan untuk membangun generasi yang cakap secara teknologi sekaligus beretika.
1. Karakteristik Generasi Z di Era Digital
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, merupakan kelompok yang tumbuh dalam era digital. Kehidupan mereka sangat terhubung dengan internet, gawai, dan media sosial. Keterampilan teknologi menjadi keunggulan utama generasi ini, sekaligus membedakan mereka dari generasi sebelumnya. Generasi Z dikenal adaptif, kreatif, serta terbuka terhadap keberagaman. Namun, karakteristik ini juga melahirkan kerentanan, seperti kecenderungan individualisme, perilaku konsumtif, dan keterpaparan pada informasi yang belum tentu valid (Ayub & Fuadi, 2024).
2. Tantangan Etis dan Moral Generasi Z
Kemudahan akses informasi sering kali membawa dampak negatif jika tidak diimbangi dengan literasi digital dan kontrol diri. Beberapa tantangan utama yang dihadapi Generasi Z di Indonesia antara lain:
Cyberbullying: Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2024 mencatat ribuan pengaduan terkait kekerasan anak, di mana sebagian besar berasal dari kasus perundungan daring. Fenomena ini menunjukkan masih lemahnya kesadaran etika digital di kalangan remaja.
Hoaks dan disinformasi: Tingginya penggunaan media sosial di Indonesia menjadikan Gen Z rentan terpapar berita palsu yang dapat membentuk sudut pandang bias.
Kecanduan media sosial: Penggunaan platform digital yang berlebihan berdampak pada menurunnya keterampilan sosial, munculnya rasa cemas, bahkan depresi (Mahmud, 2024).