Dunia Serba Cepat, Gaya Hidup Serba Instan
Generasi Z, yang lahir di era digital dan tumbuh bersama media sosial, seringkali dicap sebagai generasi yang "hedonis." Nongkrong di kafe estetik, update outfit of the day, traveling buat konten, sampai rela begadang demi konser atau promo belanja online. Tapi, apakah semua itu benar-benar karena mereka konsumtif? Atau ada hal lain yang lebih dalam?
Hedonisme: Sekadar Tren atau Kebutuhan Eksistensi?
Bagi banyak Gen Z, menikmati hidup bukan cuma soal foya-foya. Ini soal eksistensi.
Media sosial membuat semua orang bisa "melihat" kehidupan orang lain --- dan di situlah muncul dorongan untuk terlihat bahagia, produktif, dan fashionable. Kadang bukan karena ingin pamer, tapi karena ingin diakui.
Bagi sebagian anak muda, memanjakan diri adalah bentuk reward setelah berjuang menghadapi tugas kuliah, tekanan keluarga, atau burnout kerja. Jadi, hedonisme bukan sekadar gaya hidup, tapi cara bertahan dari tekanan mental dan sosial.
Realita: Ketika Self-Care Berubah Jadi Overspending
Masalahnya, batas antara self-care dan hedonism sering kabur.
Awalnya cuma "beli kopi biar semangat", lama-lama jadi "tiap hari harus ngopi biar tenang."
Awalnya "healing ke pantai", tapi berakhir dengan tagihan paylater menumpuk.
Hedonisme modern versi Gen Z kadang terselip dalam kalimat pembenaran seperti "kita hidup cuma sekali" atau "aku butuh healing." Padahal, kalau terlalu sering jadi kebiasaan, bisa bikin dompet tipis dan mental makin stres.
Tekanan Sosial: Semua Harus Terlihat Bahagia
Fenomena "harus bahagia" di media sosial juga jadi pemicu utama.
Gen Z tumbuh di dunia yang menilai segalanya dari likes dan views.
Kalau nggak punya cerita liburan, outfit keren, atau tempat nongkrong baru, bisa-bisa dianggap "kurang gaul." Padahal di balik unggahan estetik itu, banyak juga yang diam-diam berjuang menahan stres, cemas, bahkan lelah secara mental.
Bijak Menikmati Hidup
Menikmati hidup bukan hal salah. Semua orang butuh hiburan dan kesenangan. Tapi penting juga untuk tahu batas.
Hedonisme akan terasa sehat kalau dilakukan dengan kesadaran, bukan pelarian.
Misalnya:
* Beli sesuatu bukan karena ingin pamer, tapi karena benar-benar dibutuhkan.
* Jalan-jalan bukan buat konten, tapi untuk benar-benar beristirahat.
* Nongkrong bukan biar dianggap eksis, tapi untuk memperkuat koneksi sosial yang nyata.
Penutup
Hedonisme di kalangan Gen Z sebenarnya bukan sekadar fenomena konsumtif, tapi cermin dari kebutuhan emosional mereka. Tekanan hidup yang besar, ekspektasi sosial, dan dunia digital yang kompetitif membuat banyak anak muda mencari kenyamanan instan.
Tantangannya bukan untuk menghapus hedonisme, tapi mengubahnya jadi self-love yang lebih sehat dan bermakna.
Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukan di saldo e-wallet atau likes di Instagram, tapi di hati yang tenang dan kepala yang nggak lagi berpacu dengan ekspektasi dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI