Mohon tunggu...
Bahasa

Resensi Buku "Lembar Biru Guru Seruni" (2008)

6 Januari 2019   15:39 Diperbarui: 6 Januari 2019   15:59 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang memiliki keahlian di bidang sastra ini telah banyak menciptakan sebuah karya hasil dari pemikiran kerennya, ia pernah menulis cerita yang berjudul: catatan seorang ukhti, menyongsong cahaya allah, derai-derai kamboja, dakwah sekolah di era baru, panggilan rindu dari langit, sebening embun pagi, dan beberapa karya dalam antologi. Kusmarwanti adalah seseorang yang aktif menulis sejak SMA dengan buletin al-khuwarizmi di SMU 3 Padmanaba Yogyakarta dulu, ia juga pernah bergabung sebagai staf pembinaan Balai Jurnalistik Islam (BJI) keluarga alumni jamaah shalahuddin (Kajasha) dan redaktur majalah shalihah yogyakarta dan saat ini sedang bergabung di forum lingkar pena (FLP) daerah Yogyakarta.

Buku ini sangat bermanfaat cocok menjadi buku bacaan untuk menggenjot literasi sekolah bagi anak kelas 4, 5 dan 6 SD karena memiliki bahasa yang sedikit rumit, selain mengajarkan nilai moral buku ini juga dapat melatih simpati kita terhadap sesama manusia. Menambah pengetahuan tentang keberagaman manusia. Buku ini disajikan dengan kemasan kata yang sesuai dengan kehidupan anak-anak dan mudah dimengerti sehingga buku ini bias diterima oleh semua kalangan. 

Buku Lembar Biru Guru Seruni ini menceritakan tentang seorang guru muda bernama ibu Seruni yang baru saja di tempatkan di desa Wanakarang. Sebuah desa yang terletak di kawasan berbukit pedalaman pulau Jawa. Awalnya bu Seruni sangat asing terhadap lingkungan maupun masyarakat sekitar, masyarakat sekitar memilki sifat yang kasar, tidak peduli kesehatan dan memiliki tatapan yang sinis ketika melihat bu Seruni menggunakan kerudung, mereka sangat asing terhadap islam dan pakaian berkerudung seperti bu Seruni.

 Awal mengajar bu Seruni sangat jengkel karena semua murid memiliki karakter yang tidak disiplin lalu ketika bu Seruni tanyakan kepada kepala sekolah "hal apa yang membuat anak memiliki sifat yang tidak disiplin seperti ini?"Lalu pak kepala sekolah pun menjawab "ini sudah menjadi kebiasaan orang-orang terdahulu mereka jadi sangat sulit merubahnya." 

Tidak mudah bagi guru Seruni untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Jalan-jalan yang terjal dan licin di musim hujan, rumah tua yang sangat mengkhawatirkan kondisinya saat hujan deras dan angin bertiup kencang. Ibu Seruni juga pernah menyarankan kepada kepala desa untuk memperbaiki jalan ataupun fasilitas yang kurang di desa tersebut namun pak kepala desa meragukan saran bu Seruni dengan alasan warga di desa Wanakarang memiliki karakter yang tidak peduli terhadap lingkungan, namun dengan dukungan salah satu staf pengajar di sekolah sederhana itu bu Seruni yakin terhadap misinya untuk merubah hal yang menjadi permasalaahn di desa Wanakarang. Pada akhirnya misinya berhasil dan dalam pembangunan  jalan tersebut semua warga terlibat di dalamnya, menggunakan sistem gotong royong yang mempercepat proses pembanguna jalan.

Sekolah yang tidak terawat genteng yang bocor, lantai yang penuh dengan tanah ketika musim hujan dan pojokan kelas penuh dengan sarang tikus. Belum lagi murid-muridnya yang bandel dan sulit di atur karena faktor kebudayaan dan turun temurun serta perangai buruk penduduk yang jauh dari tuntunan agama. 


Anak-anak merasa asing ketika melihat bu Seruni sholat dhuha. Mereka yang awalnya keras dan sangat tidak nurut lama kelamaan mereka patuh dan menjadi anak yang baik. Bu Seruni selain menjadi guru di desa Wanakarang, beliau juga menjadi guru ngaji di desa itu. Siswa-siswi sangat berantusisas dengan pendidikan pengenalan agama lebih dalam. Dengan adanya gotong royong untuk pembangunan jalam tersebut antar warga menjadi akrab dan bersosialisasi dengan baik apalagi di tambah dengan peristiwa jatuhnya bu Seruni di jalan akinbat terpleset, warga sangat simpati menolong bu Seruni.

Beberapa bulan waktu berjalan bu Seruni mulai mencintai desa Wanakarang beserta seluruh masyarakatnya namun ia harus segera bergegas meninggalkan desa tersebut karena ia ingin di nikahkan dengan seorang lelaki yang ingin melanjutkan S3 keluar negeri. Wargapun bersedih mendengarkan berita seperti itu. 

Anak muridnya bercucuran air mata untuk mengakhiri perpisahannya dengan semua warga dan perangkat desa. Bu seruni juga sangat bersedih karena ia sudah sangat cinta terhadap desa yang dulunya ia tidak nyaman dengan apapun yang ada di dalamnya. Hari itu menjadi hari tangis bagi desa Wanakarang. 

Bu Seruni meninggalkan meinggalkan desa Winakarang bersama dengan calon adik iparnya menggunakan mobil, namun ini bukan menjadi akhir dari kisah sedih bu Seruni, ibu Seruni tidak jadi menikah karena calon suaminya meninggal 2 minggu setelah ia balik dari desa Wanakarang.

Pada buku ini terdapat kelebihan yaitu dilihat dari segi sampul memiliki warna yang bagus disertai gambar yang bagus pula dan judul yang menarik sehingga membuat pembaca tertarik untuk melihat dan membacanya terutama pada kalangan anak-anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun