Mohon tunggu...
Retno Endrastuti (IBUN ENOK)
Retno Endrastuti (IBUN ENOK) Mohon Tunggu... Diary of Mind

Menyukai tulisan2 ringan dengan topik psikologi populer, perencanaan kota dan daerah, kuliner, handycraft, gardening, travelling...terutama yang kekinian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah di Balik Kirab Saparan Bekakak

5 September 2023   12:00 Diperbarui: 5 September 2023   12:15 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kirab Saparan Bekakak (Sumber: tribunnews.com)

Sobat Kompasiana, beberapa waktu yang lalu tepatnya hari Jumat, tanggal 1 September 2023 (bulan Sapar dalam kalender Jawa = bulan Arab yang ke-2 Syafar) diselenggarakan upacara adat Saparan Bekakak di Kelurahan Ambarketawang, Kapanewon (Kecamatan) Gamping, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, kebetulan dekat tempat tinggal Ibun Enok. Upacara adat ini setiap tahun diramaikan pula dengan kirab. Biasanya kirab Bekakak diselenggarakan pada pukul 14.00 WIB, sedangkan tradisi penyembelihan bekakak dilakukan pada pukul 16.00 di Gunung Kliling Gamping. Bagaimana kisah di balik budaya Bekakak ini? Mari kita simak bersama.

Tradisi Bekakak tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Keraton Yogyakarta. Awalnya upacara adat ini diadakan atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono I atau dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri Keraton Yogyakarta. Lalu siapakah Kyai dan Nyai Wirosuto tersebut? Kyai Wirosuto dan Nyai Wirosuto adalah pasangan suami istri abdi dalem Pangeran Mangkubumi. Kyai Wirosuto adalah abdi dalem penangsong di keraton yang bertugas memayungi Pangeran Mangkubumi dengan payung kebesaran di setiap beliau berada. Pangeran Mangkubumi bersama para pengikutnya berada di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, termasuk Kyai Wirosuto ini selama berlangsungnya proses pembangunan Keraton Yogyakarta. Ketika Keraton Yogyakarta akhirnya selesai dibangun, raja yang mulai memegang tampuk kekuasaan pada tahun 1755 ini lalu tinggal di istana barunya. Namun, Kyai dan Nyai Wirosuto sekeluarga ini memutuskan untuk tetap tinggal di pesanggrahan Ambarketawang Gamping (keraton lama), tidak ikut pindah ke keraton yang baru (yang sekarang berlokasi di kota Yogyakarta). Pasangan suami istri inilah yang dianggap sebagai nenek moyang atau cikal bakal penduduk Gamping.

Penyelenggaraan tradisi Bekakak ternyata mempunyai tujuan untuk menghormati atau mengenang pasangan Kyai dan Nyai Wirosuto tersebut. Asal muasal upacara adat Saparan Bekakak bermula dari sebuah musibah yang menimpa Kyai dan Nyai Wirosuto. Tepatnya pada Jumat Kliwon di bulan Sapar, Gunung Gamping yang berada dekat dengan pesanggrahan tiba-tiba runtuh. Banyak warga yang menjadi korban tertimbun longsoran batu kapur, tidak terkecuali pasangan Kyai dan Nyai Wirosuto. Sejak peristiwa tersebut entah kenapa Ambarketawang selalu terkena musibah di bulan Sapar yang membawa banyak korban. Akhirnya warga Ambarketawang pun menjadi resah. Mendengar keresahan warganya, Sri Sultan Hamengkubuwono I pun bertapa di Gunung Gamping. Lalu beliau mendapatkan wisik (bisikan batin/ilham) dari Setan Bekasakan, penunggu Gunung Gamping. Dalam wisik teresebut, sang penunggu meminta sultan mengorbankan sepasang pengantin setiap tahunnya sebagai ganti atas batu kapur yang selalu digali di tempat tersebut oleh masyarakat sekitar. Sultan lantas bergegas memerintahkan membuat sesaji sebagaimana yang diminta dalam wisik. Alih-alih mengorbankan pengantin sungguhan, sultan tak habis akal untuk memerintahkan menggantinya dengan boneka berwujud pengantin dari tepung ketan yang diisi gula merah cair. Tak disangka-sangka, tipuan ini ternyata berhasil. Semenjak itulah ritual Saparan Bekakak rutin diselenggarakan setiap tahunnya di Desa Ambarketawang. Masyarakat masih memiliki kepercayaan bahwa upacara ini akan menghindarkan dari musibah dan gangguan dari roh jahat. Itulah kisah asal-usul diselenggarakannya tradisi turun-temurun Saparan Bekakak.

Makna kata bekakak sendiri mempunyai arti korban penyembelihan hewan atau manusia. Uniknya, bekakak pada tradisi ini hanya sebagai simbol saja, tiruan manusia yang diwujudkan dalam boneka pengantin yang terbuat dari tepung ketan diisi gula jawa cair (juruh) dengan posisi duduk bersila. Pembuatan boneka pengantin ini dan membuat juruh dalam persiapan Saparan Bekakak bisa memakan waktu yang lama kurang lebih 8 jam. Pada saat pembuatan tepung beras ketan biasanya diiringi "gejong lesung" atau "klothekan" (membuat bunyi-bunyian) yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan sebagainya. Selesai penumbukan beras ketan, lalu dilakukan pembuatan bekakak, gendruwo, kembang mayang, dan sesaj. Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak, dan satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara.

Bentuk boneka pengantin laki-laki dan perempuan pada umumnya terdiri dari dua pasang (pengantin bergaya Surakarta dan Yogyakarta). Pengantin laki-laki yang bergaya Surakarta dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe, serta mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan pengantin wanita memakai baju kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun, serta wajahnya dipaes, gelungan rambut diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang. Lain lagi dengan pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak).

Boneka Pengantin Bekakak (Sumber: kotajogja.com)
Boneka Pengantin Bekakak (Sumber: kotajogja.com)

Tahapan persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam prosesi yaitu Midodareni, Kirab Saparan Bekakak dan Sugengan Ageng.

1. Midodareni

Meskipun bekakak ini berupa pengantin tiruan, tetapi menurut tradisi perlu juga memakai upacara midodareni. Kata midodareni sendiri berasal dari bahasa Jawa" widodari" yang berarti bidadari. Maknanya bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu kepada pengantin bekakak. Prosesi ini adalah tahap upacara yang berlangsung pada malam hari (Kamis malam) dimulai jam 20.00 WIB sebelum upacara saparan pada hari Jumat-nya. Dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe gombel, semua diberangkatkan ke Balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan dan diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :

1. Barisan pembawa umbul-umbul

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun