Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlukah Regulasi Baru Soal Faham Radikal?

7 Juni 2022   21:34 Diperbarui: 7 Juni 2022   21:51 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 Dalam dua dekade ini kita masih saja berkubang soal terorisme dan ideologi transnasional yang menyebar melalui pertemuan-pertemuan keagamaan eksklusif dan media sosial. Di media sosial itu terdapat narasi-narasi yang provokatif yang dilakukan oleh banyak orang termasuk ulama yang akrab dengan umat.

 

Kita bisa menghitung berapa kali bom dahsyat yang terjadi di awal 2000-an, dimulai dari Bom Bali. Setelah itu ada bom-bom dahsyat lain terjadi tidak saja di Bali, Jakarta dan beberapa kota besar, namun juga di kota-kota kecil seperti Mojokerto ataupun Surakarta.

 Dan kita mungkin tidak bisa menghitung lagi berapa puluh dan mungkin berapa ratus orang yang ditangkap Densus 88 karena terindikasi terkait dengan terorisme. Kita mungkin ingat seorang dosen senior IPB yang disegani, ternyata dia memiliki bom rakitan di rumahnya. Atau seorang pengurus MUI ternyata juga ditangkap oleh Densus 88 karena ditengarai terkait terorisme.  

 

Dampak bom dahsyat membuat seluruh negeri kita mengutuknya. Tak hanya seluruh negeri tapi juga banyak negara di dunia. Kita bisa melihat reaksi global itu pada saat bom Bali , bom Surabaya, Bom Makassar dan beberapa bom lainnya. Situasi tidak aman seperti itu memang sangat merugikan negara kita terlebih menyangkut investasi (perdagangan dalam maupun luar negeri) . Rakyat kecilpun juga akan merasa tidak aman dan tidak nyaman karena situasi tidak aman akan memperngaruhi kegiatan rutin mereka. 

 Yang terakhir terjadi adalah arak-arakan Khilafatul Muslimin yang pimpinannya yang berada di Lampung ditangkap oleh aparat. Meski belum ada protes dari umat, namun peristiwa ini menyadarkan kita bahwa keinginan untuk membentuk negara sesuai syariat Islam yang jelas-jelas bertentangan dengan dasar dan ideologi negara kita seolah tak padam. 

 Di sisi lain, atas nama demokrasi dan Hak Azazi Manusia (HAM), penangkapan-penangkan seperti di atas banyak juga yang diprotes orang. Menurut mereka penangkapan penangkapan orang yang membuat narasi provokasi atau ketika densus 88 menangkap pejabat MUI, tudingan bahwa negara menghambat demokrasi sering jadi momok bagi pencegahan terorisme. 

 Ancaman bom, ideologi radikal di media sosial dan kegiatan masyarakat yang mengarah pada radikalisme seharusnya membawa kita pada regulasi soal ideologi. Negara seperti Singapura dan malausia sudah menerapkan Internal Security Act (ISA) yaitu semacam Undang-undah Keamanan atau keselamatan negara yang cenderung lebih preventif (dan lebih keras) namun bisa menjamin keamanan bagi warga mereka. Itu sebabnya negara Singapura bisa amat tegas saat menolak ustaz Abdul Somad yang ingin berkunjung  ke negara itu karena jejak digitalnya penuh dengan ceramah dan narasi yang berbau sektarian dan radikal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun