Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Butuh Harmoni, Bukan Sekadar Kompetitif

8 September 2021   19:44 Diperbarui: 8 September 2021   19:49 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  

Banyak media menyinggung soal merebaknya intoleransi di Indonesia dalam dua puluh tahun terakhir ini. Termasuk dalam sorotan, adalah soal keberagaman atau kebinekaan mulai bermasalah di institusi pendidikan Indonesia sejak 2007.

Sekadar mengingatkan, sekolah-sekolah negeri dan swasta di Indonesia sekitar 25-30 puluh tahun lalu identik dengan murid yang heterogen. Banyak ditemui orang tua muslim menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah Katolik, atau anak-anak muslim berbaur dengan teman-temannya tanpa memandang perbedaan agama diantara mereka.

Pada masa itu juga, pendidikan moral Pancasila berjalan tanpa hambatan berarti. Tidak itu saja, mereka paham bahwa bangsa kita kaya akan budaya sehingga banyak perbedaan dalam masyarakat kita; perbedaan etnis, keyakinan (agama), bahasa dan lain sebagainya. Berbagai perbedaan itu mereka terima sebagai hal yang lumrah.

Namun sekarang kondisinya sangat berbeda. Dunia pendidikan sekarang jauh lebih homogen. Nyaris tak ada lagi orang tua muslim yang menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah non muslim. Pertama karena banyak bermunculan sekolah islam reguler bahkan bertaraf internasional . Kedua, ada pergeseran pandangan soal keragaman di Indonesia.

Homogenitas pendidikan mulai terlihat pasca reformasi. Tidak saja sekolah modern muslim bermunculan, namun juga pengajaran yang disampaikan kepada siswa; beberapa materi pengajaran tetap, tapi beberapa materi bergeser.


Hal ini bukan saja karena rezim yang berganti tapi juga karena reformasi membuat banyak hal berubah. Beberapa orangtua sempat bercerita kepada saya dan sebagian ke media sosial bahwa sebagian sekolah sekarang mengajarkan bahwa agama di Indonesia bukan enam agama, tetapi satu. Di benak anak-anak agama mayoritas lah yang seharusnya ada, sehingga cara berfikir dan bertindak menjadi homogen, bahkan sempit.

Seorang anak misalnya tidak lagi punya kesempatan untuk mengenal dan memahami bagian bangsa yang berbeda karena lingkungannya tidak mengenalkan itu padanya. Homogenitas menjadi bagian darinya dan mungkin akan susah untuk diubah. Padahal homogenitas ( dalam berbangsa) memiliki sisi negatif. Selain keterbatasan referensi juga keterbatasan pengalaman sehingga akan mempengaruhi rasa empati kita.

Homogenitas yang seperti itu lebih dekat dengan intoleransi (karena aneka keterbatasan itu tadi) Jika ini dibiarkan maka sang individu akan menjadikan dirinya sangat terbatas, tidak empati dan akhirnya tidak strategis.

Padahal ke depan, selain soal kompetitif, kita berhadapan dengan dunia yang membutuhkan daya strategi dan harmoni. Karena itu, pahami bangsa kita dengan segala heterogennitasnya. Hanya dengan cara itu kita akan lebih survive.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun