Pendahuluan
Hubungan antara filsafat dan pendidikan sangatlah erat dan tak terpisahkan. Filsafat berfungsi sebagai fondasi yang menentukan arah dan tujuan pendidikan, sedangkan pendidikan menjadi sarana untuk menerapkan dan mewariskan gagasan-gagasan filosofis. Semua elemen dalam pendidikan---seperti kurikulum, metode ajar, dan persepsi guru terhadap siswa---selalu bersumber dari suatu pandangan filosofis. Dalam konteks ini, idealisme menjadi salah satu aliran filsafat yang paling mendasar dan berpengaruh.
Bayangkan seorang siswa, Ia selalu meraih peringkat pertama, nilai matematikanya sempurna, dan ia hafal semua rumus fisika di luar kepala. Namun, ketika melihat temannya menyontek saat ujian, ia memilih diam. Di lain waktu, saat harus membuat sebuah karya tulis kreatif, imajinasinya seakan buntu sehingga ini  adalah potret produk pendidikan yang mungkin kita kenal: cerdas secara akademis, namun rapuh dalam integritas dan tumpul dalam kreativitas. Fenomena ini bukanlah hal baru. Di tengah derasnya arus persaingan global yang menuntut penguasaan sains dan teknologi, kita sering kali mengukur keberhasilan pendidikan hanya dari angka-angka di atas kertas atau seberapa cepat seorang lulusan diserap oleh industri.
Kita seolah lupa bertanya: Apa tujuan sejati dari pendidikan? Apakah hanya untuk mencetak pekerja terampil, atau untuk membentuk manusia yang utuh---insan yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga luhur budinya dan kaya jiwanya? Pertanyaan fundamental inilah yang membawa kita untuk menengok kembali sebuah gagasan filsafat kuno yang mungkin terasa usang, namun semakin relevan di era modern: filsafat idealisme. Filsafat ini menawarkan sebuah perspektif bahwa pendidikan bukanlah sekadar proses mengisi kepala, melainkan sebuah upaya menyalakan api dalam jiwa.
Latar Belakang
Dunia pendidikan modern menghadapi sebuah paradoks. Di satu sisi, kita merayakan kemajuan teknologi dan informasi yang luar biasa. Akses terhadap pengetahuan berada di ujung jari, dan tuntutan untuk menguasai keterampilan teknis (hard skills) semakin tinggi. Sekolah-sekolah berlomba-lomba mengadopsi kurikulum berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) untuk memastikan lulusannya kompetitif di pasar kerja. Namun, di sisi lain, kita menyaksikan berbagai krisis yang akarnya justru berada pada aspek non-teknis: krisis karakter, maraknya berita bohong (hoax) yang menguji kemampuan berpikir kritis, hingga meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan pelajar yang tertekan oleh target akademis.
Data dari berbagai survei nasional maupun internasional sering kali menyoroti pentingnya pengembangan keterampilan abad ke-21, yang tidak hanya mencakup literasi digital, tetapi juga berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Ironisnya, praktik di lapangan sering kali masih terjebak pada metode pembelajaran satu arah, hafalan, dan evaluasi yang berorientasi pada hasil ujian semata. Pendidikan seolah direduksi menjadi sebuah "pabrik" yang bertugas mencetak output sesuai standar industri, mengabaikan esensi pendidikan sebagai "taman" untuk menumbuhkan potensi unik setiap individu. Urgensi untuk kembali merenungkan jiwa dan tujuan pendidikan menjadi sangat penting. Jangan sampai kita berhasil menciptakan generasi yang pintar, tetapi kehilangan kemanusiaannya. Di sinilah filsafat idealisme menawarkan oase pemikiran yang menyegarkan.
Pembahasan
Apa Itu Filsafat Idealisme?
Secara sederhana, idealisme adalah aliran filsafat yang meyakini bahwa realitas fundamental adalah sesuatu yang bersifat non-fisik, yaitu ide, gagasan, jiwa, atau spirit. Bagi kaum idealis, dunia materi yang kita sentuh dan lihat ini bukanlah realitas yang sesungguhnya, melainkan hanya bayang-bayang atau manifestasi dari dunia ide yang abadi dan sempurna.