Mohon tunggu...
Veronica Rompies
Veronica Rompies Mohon Tunggu... Wiraswasta - hobi ngomong, omongannya ditulis. haha.

Lulus tahun 1998 dari Universitas Darma Persada, Jakarta jurusan Sastra Inggris D3. Memulai bisnis furniture sejak tahun 2000 di Jepara, hingga saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kartini Kecil yang Terjajah, Sebuah Fiksi yang Bukan Fiktif

17 April 2018   15:49 Diperbarui: 17 April 2018   17:48 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang peringatan Hari Kartini, seperti juga di kota-kota lain di Indonesia, sekolah-sekolah di Jepara, sebagai kota kelahiran Kartini pun juga menjadwalkan pawai keliling bagi murid-muridnya.  Kayla, usia 10 tahun, kelas 4 SD begitu bersemangat dengan pawai yang baru pertama kalinya akan ia ikuti.

16 April, 18:00

Kayla: "Mah, tanggal 21 ada pawai pake kebaya, pake sanggul.  Nanti Mama cariin bajunya ya...."

17 April - 18 April

Mbak Salon 1:  "Maaf Mba, adanya tinggal yang ini kebayanya, dan untuk sanggul sama make-up nya juga sudah full-booked.  Coba di salon lain, ya."

Mbak Salon 2:  "Wah, maaf, sudah habis semua yang ukuran kecil, ini adanya besar-besar, gimana?  Apa mau sanggul dan make-up nya saja?"

Mbak Salon 3:  "Ga bisa Mba, sudah habis."

Mbak Salon 4:  "OK Mba, masih ada 3 nih kebaya kecilnya, kalau ada yang cocok sih bisa.  Sanggul dan make-up jam 4 pagi harus sudah di sini, ya.  Soalnya banyak yang antri, takutnya gak bisa selesai semua minta jam 6:30 sudah selesai."

Lega rasanya, akhirnya masih ada salon yang menerima jasa sanggul dan make up serta menyewakan kebaya untuk putrinya.

20 April, 19:00

Yanti: "Kayla, bobok sekarang ya, jangan kemalaman nanti harus bangun jam 3 pagi, ya."

21 April

03:45

Yanti:  "Kay, ayo cepat ditunggu di mobil kok malah ketiduran lagi... dah sarapannya ga usah dihabiskan... ayo cepat."  Yanti menarik tangan anaknya, Kayla mengikuti langkah cepat ibunya dengan mulut terisi mie instant goreng.

04:08

Mbak Salon 4: "Ini nomor antriannya, Mba, nomer 22.  Tunggu dulu ya, nanti dipanggil"

Yanti dan Kayla masuk ke dalam salon yang penuh dengan Ibu-ibu lain dan anak-anaknya.  Empat orang sibuk menyanggul rambut 4 orang anak, dan 5 orang lainnya sibuk mendandani 5 wajah-wajah kecil yang mengantuk.  Terlihat satu kursi besar kosong di pojokan, segera ia menggandeng tangan Kayla dan menyuruhnya duduk di situ, sementara ia duduk di lantai sambil bersandar pada kursi besar yang empuk itu.

05:50

Mbak Salon 4:  "Nomer dua duaaaa... nomer dua duaaa... ayo sanggulan.... nomer dua duaaa...."

Suara cempreng Mbak Salon terdengar mencolok di antara suara merdu  para malaikat yang melantunkan lagu nina bobo di kepala Yanti.  Segera ia menjawab panggilan dan membangunkan Kayla untuk segera disanggul.  

06:15

Yanti mulai mengambil foto Kayla dari berbagai posisi, saat Kayla telah di make up namun belum selesai dengan sanggulnya.  Tak lama kemudian Yanti sibuk memilih foto, mengedit, dan posting foto - foto tersebut di facebook, dengan caption yang mirip bahasa Inggris.  "May Little Kartini is have Make Up in the Salon" 

06:40

Kayla keluar dari balik tirai setelah berganti baju.  Kebaya kuning dengan mote dan bunga bunga, kain jarik coklat tua, sanggul yang bergelung tinggi di atas kepala dan hiasan kembang goyang.  Cantik sekali, hingga Ibunya pun pangling.  Selop bludru dengan tinggi hak 5 cm membuat kain yang dipakainya jatuh bagus sekali di kaki Kayla.

"Diem di situ dulu, Kay. Tengok sini.  Senyum.  Jangan begitu, kepalanya diangkat sedikit.  Ya, bagus.  Melirik ke sini, Nak...."  Yanti sibuk mengambil foto, dan Kayla dengan senang hati tersenyum mengikuti arahan gaya dari Ibunya.  

Sejenak kemudian Yanti menggandeng tangan Kayla menuju parkiran mobil.  Satu tangannya memegang handphone, mengganti foto profile facebooknya.  Dan membuat story di Instagram dengan caption yang juga mirip bahasa Inggris, "May Kartini is very very Beautifull like Mom"

07:05

Pemandangan di sekolah Kayla hari itu sungguh tidak biasa.  Murid-murid tampak cantik dan gagah.  Semua berdandan.  Yang laki-laki juga tidak ketinggalan.  Mereka memakai aneka kostum, dan wajahnya diberi coretan kumis serta jenggot seperti orang dewasa.  Yanti dan Kayla sama bersemangatnya.  Kayla masuk ke dalam sekolah, sementara Yanti menunggu di luar gerbang bersama Ibu-ibu lain yang menghantar anak-anaknya.

Sekolah Kayla terletak dekat Alun-Alun kota Jepara.  Hari ini ada banyak sekolah-sekolah lain yang semuanya datang ke Alun-alun untuk berpentas beberapa menit di depan Bupati dan Jajaran Pejabat Kabupaten.  Pentas seni singkat untuk memeriahkan peringatan Hari Kartini dan membawa nama baik Sekolah jika menang, karena pentas akan di nilai.

Jalanan di depan sekolah ramai sekali.  Barisan anak-anak dari sekolah lain parkir kendaraan di dekat sekolah Kayla, lalu berjalan menuju alun-alun, sehingga menyediakan tontonan menarik untuk Yanti dan Ibu-Ibu lain yang menunggu di epan gerbang sekolah.

"Duuh, itu lho, cantik banget yang pake kostum Ratu Kalinyamat itu lho.  Tahun depan Delia tak dandani ngono, ah.... ayunee...."  Ucap Mama Delia, ibu teman Kayla.

"Mahal itu, Mba.  Sak paket bisa habis 500 ribu, lho dandane..." Yanti menanggapi.

"Halah, ga popo tho, Jeng. Setahun sekali, kita tinggal menikmati hasil perjuangan Ibu Kartini, mosok ngeluarin uang 500 ribu setahun untuk menghargai Ibu Kartini sek keberatan."  Mama Delia menjawab Yanti dengan suara lantang penuh semangat perjuangan.

"Bener itu, Mba.  Kartini dulu boro-boro mau dandan ayu, pakai high heels, ngecat rambut.  Dia dipingit di kamar dari kecil sampai mau menikah.  Wajar kalau kita sekarang menghargai dengan dandan yang cantik, mahal gak apa, demi anak-anak kita kenal dan menghargai Ibu Kartini"  Retno, ikut menjawab senada dengan Mama Delia.

"OK-OK, tahun depan Kayla tak dandani Ratu Shima kalau gitu."  Yanti menjawab tidak mau kalah.

07:49

Pengeras suara dari dalam sekolah terdengar, namun tidak jelas apa yang dikatakan, suaranya tenggelam di antara bunyi kendaraan dan suara dengung banyak orang yang berbicara di jalan.

Tiba-tiba gerbang sekolah terbuka.  Barisan puluhan anak yang berdandan cantik perlahan-lahan keluar dari dalam gerbang.  Beberapa guru pendamping mengatur mereka di samping barisan.  Petugas security mengatur arus kendaraan dan orang berjalan, agar barisan dari dalam sekolah bisa mendapat ruang untuk berjalan ke alun-alun.  Semua berwajah ceria, penuh semangat dengan percaya diri penuh, karena sadar akan kecantikan dan gagahnya mereka.  

Sedikit rasa gatal karena bahan baju kebaya yang berenda-renda, beratnya sanggul dan bulu mata, tidak mampu menghapus senyum bahagia mahluk-mahluk cantik itu.  Kain jarik panjang dengan ruang terbatas untuk melangkah membuat kaki-kaki kecil yang bersandal tinggi sedikit kesulitan berjalan, namun mereka tetap senang.

Ibu-ibu penunggu bersama-sama dengan rombongan dan guru mengikuti barisan anak-anak cantik dan gagah yang akan mementaskan pertunjukan singkat di pendopo kabupaten.  Basa-basi saling memuji anak masing-masing.  

08:03

Rombongan tiba di Alun-alun.  Alun-alun yang biasanya terlihat dominan warna hijau rumput, kini tampak aneka warna.  Hiasan rambut, anting-anting, kalung, serta manik-manik pada kebaya berkilauan di bawah sinar matahari yang mulai panas.  Rumput hijau nyaris tak terlihat lagi karena penuhnya anak-anak dari berbagai sekolah dasar berbaris mengantri untuk masuk ke halaman pendopo kabupaten.  

08:15

Ibu-ibu penghantar mulai kepanasan, dan beralih ke pinggir untuk mencari bayangan tempat berteduh dari sinar matahari yang semakin terik.  Beberapa grup ibu-ibu terlihat di sepanjang sisi alun-alun, sementara anak-anak tetap berbaris menunggu giliran nomer urutnya dipanggil untuk pentas singkat.

Guru pendamping menyemangati anak-anak yang juga mulai kepanasan.  

"Ayo, kita latihan lagi.  Grup pianika, perhatikan ya... satu... dua... tiga...."  Ucap salah satu guru pendamping mengatur barisan anak-anak kelas 6 yang meniupkan lagu daerah pada pianikanya.  

Di barisan dari sekolah lain pun sama.  Mereka mengisi waktu menunggu dengan berlatih.  Ada yang menari, bermain suling, bernyanyi atau sekedar gerak tubuh dan yel-yel.  Usaha para guru pendamping membuahkan hasil.  Walaupun panas, anak-anak terlihat bersemangat kembali.

9:00

Air mineral dalam botol bekal pembagian dari sekolah mengguyur tenggorokan Kayla.  Hangat rasanya, tidak sesuai apa yang ia harapkan, namun demikian sisa air dalam botol itu tetap ia habiskan.  Lalu botol kosong itu dilempar begitu saja di antara kaki teman-teman dan puluhan sampah bekas bungkus makan dan minuman yang berserakan.

Kayla bosan, lelah, mengantuk, kehausan, dan kepanasan.  Renda dan manik-manik kebaya yang menempel pada tubuhnya kini mulai terasa gatal.  Butir-butir keringat pada keningnya, meleleh tertahan pada alisnya yang hitam tebal oleh pinsil alis.  Saat semakin banyak butiran keringat meleleh dari kening, maka alis tebal dan hitam itu pun tak dapat lagi menahan alirannya, maka jatuhlah ke mata.

Aliran keringat yang membawa serbuk bedak, pinsil alis, eye shadow dan lem bulu mata, mengalir melewati ujung matanya.  Mata Kayla terasa perih.  Hati-hati ia mencoba mengeringkan matanya dengan tissue yang sudah kumal.  Perihnya berkurang, namun tetap mengganggu.  Tumit dan betisnya terasa kaku.  Senyumnya telah hilang, berganti cemberut dan kerutan pada keningnya tanda ketidaknyamanan.

Sementara dua baris di belakangnya, beberapa anak laki-laki duduk di rumput, mencoba berlindung pada bayangan anak yang berbaris di depannya.  Tertawa-tawa mereka meledek dan merasa menang karena bisa lebih nyaman daripada anak-anak perempuan berkain jarik panjang yang tidak bisa sebebas mereka duduk di rumput.

Namun kemenangan mereka tidak berlangsung lama, saat salah satu guru mendapati mereka ada yang duduk, bahkan tidur di rumput di antara bayangan teman-temannya yang berdiri.

"Astagfirullah Al'azim Mario, Erwin, Agung...! Ayo berdiri, kok malah glesoran di rumput... ayo siap-siap, kita sebentar lagi masuk....!  Bersihkan baju kalian!"

"Masya Alloh Ali, Efendi, jangan lari-larian, lihat itu kumis sama jenggotmu blepotan luntur semua kena keringat.  Aduh, ayo kembali ke dalam barisan!"

"Bu Guru, itu lho Trisnik ngompol Bu...., kainnya basah semua...." Suara Rosikin lantang langsung diikuti tawa anak-anak lainnya dan cibiran.  

Trisnik anak baru masuk sekitar 1 minggu, pindahan dari kota lain.  Sepertinya ia takut untuk minta izin dan tidak mengerti harus pergi kemana untuk buang air di tengah Alun-alun seperti itu, sehingga ia menahan walau dirasa ingin buang air.  Kini kainnya terasa lengket, kedua kakinya pun begitu, ingin rasanya ia masuk ke dalam bumi dan menutupi seluruh tubuh dan wajahnya dengan selimut rumput yang penuh sampah di kakinya.  Namun yang bisa ia lakukan hanya tertunduk malu sambil menahan air mata.

9:32

Pengeras suara dari dalam halaman pendopo Kabupaten akhirnya memanggil nomer urut SD mereka untuk bersiap-siap masuk ke dalam halaman pendopo.  Seketika semangat Kayla dan teman-temannya timbul lagi.    Mereka berjalan teratur masuk ke dalam gerbang, dan mengantri lagi di dalam.  Kini mereka bisa melihat teman-teman dari sekolah lain yang sedang mementaskan kreatifitas mereka di depan Bupati dan jajaran pejabat kabupaten.  Mereka bertepuk tangan saat tampilan selesai, lalu barisan itu berjalan keluar halaman pendopo kabupaten untuk karnaval berkeliling kota menurut alur yang sudah ditentukan panitia.

Yanti dan beberapa Ibu-Ibu lain yang mendengar pengumuman itu, segera beranjak dari tempatnya berteduh dan berlari kecil untuk mengejar barisan anak-anak yang akan tampil.  Semua siap dengan gadget  mereka untuk merekam tarian anak-anak.

9:45

"SD NN, Jepara Kota, silahkan maju"  Suara MC wanita yang bersuara merdu mempersilahkan Kayla dan rombongannya maju.  Dalam 4 menit mereka menyelesaikan tarian yang diiringi musik pianika dan nyanyian yang bersahut-sahutan.  Pak Bupati dan Jejeran Pejabat Kabupaten yang rata-rata laki-laki tersenyum dan bertepuk tangan, beberapa lainnya mengacungkan jempol mereka ke arah Kayla dan teman-temannya.  

Kemudian suara MC yang merdu terdengar lagi untuk mempersilahkan mereka keluar dan antrian selanjutnya untuk tampil.  Para guru mengambil posisi mengatur barisan, dan menunjukan apresiasi mereka terhadap team Kayla dan teman-temannya.

"Kalian hebat, kompak banget tadi tampilnya.  Pak Bupati sampai geleng-geleng kepala lho tadi waktu tepuk tangan.   Insya Allah sekolah kita menang, ya...."

"Iya Bu, kayanya kita bisa menang lho Bu... tadi saya perhatikan mereka kaya'e seneng banget lihat tampilan SD kita"  Yanti mencolek guru pendamping yang lalu mengangguk setuju.

"Mah, Maaaah....," bisik Kayla pada Yanti.  "Aku boleh copot sandal, nggak?  Kaki aku sakit, kayanya luka...."

"Wah, jangan dulu Kay.  Ini masih ada penilaian.  Nanti saja kalau sudah jauh dari pendopo"  Jawab Yanti cepat.

"Jangan dulu, Kayla.  Sampai di perempatan depan sana itu masih ada penilaian Karnaval.  Jalan yang bagus, senyum ya.  Sedikit lagi kok"  Bu Mamiek guru olah raga ikut meyakinkan.

10:15

"Tinggal satu belokan lagi... kita kembali sampai di sekolah.  Ayo semangat.  Ini masih ada penilaian lho.  Ayo mainkan, lagu Ibu Kita Kartini.  Satu... duaa... tigaa...."

Lalu tim pianika mulai meniupkan pianikanya, dan anak-anak dengan wajah cemberut pun mulai bernyanyi sambil berjalan sedikit terpincang-pincang.  Kayla masih belum mendapat izin mencopot selop tinggi yang membuat kedua jari kelingkingnya lecet.  Kain jarik Trisnik sudah tidak basah lagi, setidaknya ia sudah tidak merasakan basah.  Namun lengket di paha hingga telapak kakinya sangat mengganggu.  Ia pun harus lebih berhati-hati karena selain lengket sandalnya pun terasa licin.

Kumis palsu serta jenggot Ali dan Efendi sudah hampir sepenuhnya hilang, berpindah di lengan baju mereka, dan sebagian di hidung.   Tidak ada lagi tawa ceria.  Semua peserta dalam barisan menampilkan wajah lelah.

10:28

Rombongan tiba di sekolah.   Gerbang sekolah terbuka lebar, anak-anak langsung terduduk di ubin teras sekolah.  Kayla melepas sandalnya, sambil memijat-mijat kelingking yang kulitnya sedikit mengelupas.   Yanti membelikan sebotol es teh dingin yang langsung diminum Kayla dengan rakus.  Sementara Bu Mamiek membagikan plastik berisi kue dan air mineral dalam gelas, Bu Fatimah berbicara sambil berdiri dan mengelap keringatnya sendiri, bersama celoteh Ibu-Ibu orang tua murid.  

"Insya Allah sekolah kita bisa menang, tadi anak-anak tampil bagus sekali.  Benar-benar bisa membuat sekolah kita bangga, ya Bu...."

"Tahun depan dibikin ada kereta dorongnya, Bu.  Nanti Delia biar jadi Ratu Kalinyamat"

"Oh gitu, ya.... sekalian harusnya ada 3 Putri Jepara, malah lengkap...."

"Iya, Kayla siap jadi Ratu Shima, Bu..."

"Lha, Melly juga siap kok... Melly malah cocok, mukanya tirus....Kay jadi Kartini saja"

"Ya, siapa saja yang penting konsepnya bagus, kita bisa menang tiap tahun...."

"Siap Bu, kita bikin yang baguslah, semangat pokok'e...."

"Wah, gitu dong... semangat perjuangan Kartini jangan sampai padam..."

"Hahaha... iya dong, kita perempuan Jepara harus ambil bagian nguri-nguri perjuangan Kartini"

...

...

Ibu-ibu orang tua murid dan para guru masih asik berbicara tentang rencana meraih kemenangan untuk sekolah tercinta, sementara Kayla dan teman-teman duduk di lantai bersandar pada dinding kelas, kelelahan, merasakan sakit pada seluruh tubuh dari kaki hingga kepala mereka.  Wajahnya terasa berat oleh tebalnya foundation yang mulai meleleh.

Seperti teman-temannya yang lain, ia tidak peduli dengan kemenangan yang diraih sekolah, nama baik atau kebanggaan sekolah, baginya ia sudah sangat bersyukur bisa melepas selop dan mengelap keringat tanpa harus hati-hati bedaknya berantakan, minum es teh dingin dalam botol, dan makan kue bolu.

Dalam kepalanya masih terngiang lagu Ibu Kita Kartini.

Ibu kita Kartini

Putri sejati

Putri Indonesia

Harum namanya

Ibu kita Kartini

Pendekar bangsa

Pendekar kaumnya

Untuk merdeka

Wahai ibu kita Kartini

Putri yang mulia

Sungguh besar cita-citanya

Bagi Indonesia

"Kay, capek banget ya...." Delia menghampiri Kayla, duduk di lantai dan ikut bersandar ke dinding.

"He'eh. Pol capeknya. Kaki ku luka, Del...."  Jawab Kayla.

"Iya aku juga, nih... lihat deh."  Delia menunjukan sisi kakinya yang juga lecet.

"Kamu kebayang gak, dulu Ibu Kartini seperti apa ya berjuangnya pas ngelawan musuh emansipasi."

"Ih, ih, pasti susah banget deh.  Kita aja baru sebentar aja jadi Ibu Kartini gini uda teler, apa lagi kalau setiap hari kaya dia, ya?"

Lalu keduanya terdiam.  Masing-masing asik dengan fikirannya sendiri tentang Ibu Kartini.  Kayla bergidik membayangkan menjadi Ibu Kartini, yaitu memakai Kebaya berbahan gatal, sanggul dan make-up tebal setiap hari.  Delia pun meringis ngeri membayangkan betis dan kaki Ibu Kartini yang setiap hari pasti kram dan lecet karena dipaksa memakai selop dengan hak tinggi.  Benar-benar perjuangan yang berat.

Dan Kartini pun menangis dalam kuburnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun