Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dilema Industri Makanan Menghadapi Produk Tak Terjual

7 Desember 2020   16:00 Diperbarui: 7 Desember 2020   22:30 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Igor Ovsyannykov dari Pexels

Bagi sebagian kalangan, membuang makanan dianggap hal yang tabu. Membuang makanan dianggap sebagai bentuk tidak mensyukuri setiap rejeki yang telah diterima seseorang. Untuk itu para orang tua selalu mengajarkan untuk mengambil makanan secukupnya supaya tidak ada yang terbuang pada akhirnya.

Dalam kenyataanya, konsep dan budaya yang sangat baik ini tidak bisa diterapkan secara sederhana dalam semua keadaan. Mungkin bisa bagi lingkungan keluarga dimana makanan diolah dan disajikan menyesuaikan dengan jumlah dan kebutuhan asupan semua anggota keluarga.

Tetapi bagaimana jika budaya ini diterapkan dalam industri food manufacturing (produksi makanan) ataupun industri penjualan makanan? Apakah budaya untuk meminimalisir food waste (limbah makanan) bisa diterapkan? Kalaupun jika bisa akankah diterapkan dengan mudah?

Dalam industri makanan, baik itu proses produksi maupun penjualan, baik itu skala besar (pabrik) maupun skala lebih kecil (toko, kafe, sampai warung makan), manajemen produksi merupakan hal yang sulit, apalagi jika tujuannya untuk meminimalisir food waste.

Bagaimana tidak, mereka tidak mungkin bisa mengetahui secara pasti berapa orang yang akan membeli atau mengkonsumsi produk yang mereka keluarkan dalam satu waktu tertentu. Berbeda dengan konsumsi keluarga yang jelas berapa anggota keluarga.

Masalah itu akan lebih berat apabila produk makanan yang dimaksud berupa produk olahan yang membutuhkan proses panjang dalam produksi yang tidak memungkinkan diproduksi secara dadakan sekaligus daya tahan makanan bersangkutan yang berumur pendek.

Sebut saja sebagai contohnya industri bakery atau roti atau kue, baik skala besar maupun kecil. Beberapa waktu yang lalu, sempat ada sebuah video yang cukup viral menunjukkan bagaimana pegawai sebuah kedai atau toko donat membuang produk setelah toko tutup.

Ketika kita melihat sekilas sungguhlah miris. Apalagi jika kita membandingkan dengan bagaimana banyak orang diluar sana yang masih kesulitan untuk bisa mengkonsumsi makanan dengan porsi dan gizi yang cukup setiap harinya. Bisa jadi muncul perasaan ingin mengecam pegawai bersangkutan ataupun tokonya.

Tetapi apabila kita mau untuk melihat dan menyelidik lebih dalam, kita akan menemukan fakta yang berbeda. Donat, atau kue basah sejenis tidak mungkin diproduksi langsung ketika customer datang membeli, sehingga harus dipersiapkan terlebih dulu dalam jumlah atau porsi tertentu.

Makanan seperti donat ini memiliki ketahanan yang sangat singkat, sehingga sangat cepat untuk memasuki masa kadaluarsa atau tidak layak konsumsi. Padahal tidak pasti produk yang telah diproduksi akan habis terjual. Jatuhnya produk sisa yang memasuki masa tak layak konsumsi hanya akan menjadi sampah. Inilah keadaan kenapa video tadi muncul.

Menariknya ada yang mencoba mempertanyakan kenapa sebelum produk makanan itu masuk masa kadaluarsa, makanan itu tak diberikan saja kepada orang-orang yang membutuhkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun