Mohon tunggu...
Raina Widy
Raina Widy Mohon Tunggu... Guru -

Terbuka dengan perbedaan pendapat rainawidy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Kekerasan (KDRT)

16 April 2018   11:34 Diperbarui: 16 April 2018   16:31 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
themuslimtimes.info

Suatu ketika di bus trans, seorang ibu dengan wajah memar dan lebam, terlihat linglung. Badannya kurus, tak terurus, bajunya compang camping dan membawa buntalan yang kutebak adalah beberapa helai baju.

Pandangan matanya kosong dan mulutnya seolah-olah terkunci. Halte yang dia tuju baru saja terlewati. Setelah menyadarinya, dia langsung berdiri. Untung pak supir sabar, kembali memberhentikan bus.
"Habis dipukul suaminya mungkin," begitu komentar yang kudengar dan komentar lain dari penumpang yang iba. 

Selang beberapa waktu, seorang teman menceritakan temannya yang lain bahwa temannya ini tengah berada dalam kondisi memperihatinkan. Berharap mendapat hutang untuk dijadikan modal. Usut punya usut, dia baru saja menjadi ibu muda melalui operasi caesar yang sakitnya masih menetap walaupun sudah berhari-hari berlalu. Suaminya tidak bekerja. Entah dengan alasan apa. Jika diingatkan, pukulan tak pelak mampir di tubuh ringkihnya.

Mertuanya seakan tak peduli. Tidak mau mencampuri urusan rumah tangga mereka, begitu alasannya. Orangtua kandungnya pun lepas tangan karena sangat kecewa dengan menantu yang tidak mau mencari mencari nafkah. Betapa temen saya ini turut sedih dengan apa yang terjadi pada temannya itu. Dia memaki suami temennya ini tapi menganjurkan untuk bersabar.
"Aduh kamu kalo ngasih saran yang realistis lah. Masa' disuruh sabar??" Saya yang jadi geram.

Dua kisah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti ini masih banyak dijumpai dalam masyarakat kita. Korban yang paling banyak adalah perempuan walaupun ada pula  kasus yang menimpa kaum laki-laki. Kekerasan yang terjadi pada laki-laki biasanya lebih banyak pada kekerasan psikis dan verbal.

Masa depan anak, malu, takut, bingung, dan perasaan lain yang hanya mereka sendiri rasakan menjadi alasan kuat mengapa korban KDRT lebih banyak menyembunyikan perilaku kekerasan yang mereka terima. Sedangkan keluarga dan masyarakat, beralasan tidak ingin ikut campur. Padahal kita tahu bahwa membiarkan begitu saja kekerasan terjadi akan berakhir fatal. Tidak ingin mencampuri tapi berbisik-bisik keras di belakangnya. 

Perilaku KDRT yang tidak diselesaikan dalam kurun waktu yang lama tentu saja menumpuk perasaan marah, dendam, dan sakit hati. Menarik energi negatif begitu besar. Hanya menunggu waktu saja untuk meledak.

Seorang istri yang sudah belasan tahun menerima perilaku kasar sekaligus diselingkuhi, tidak segan-segan menusukkan pisau ke perut suaminya. Sesampainya di rumah sakit ternyata suami ibu tersebut masih hidup, entah darimana pisau yang ia dapat, tanpa pikir panjang lagi kembali ibu tadi menusukkan pisau ke tubuh suaminya yang sekarat itu. Tewas. (https://m.detik.com)

Pada kasus KDRT lainnya, istri yang menjadi korban kekerasan menjadi cacat seumur hidup, gangguan kejiwaan, hingga kematian. Anak-anak yang terus menerus melihat kekerasan yang terjadi pada orang tuanya terutama ibunya, tidak segan-segan, melampiaskan dendam pada ayahnya sebagai pelaku kekerasan. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa anak-anak yang tumbuh dalam rumah yang 'tidak sehat' akan pula menurunkan perilaku buruk tersebut. 

Saya memang belum mempunyai pengalaman dalam berumah tangga tapi saya pikir sabar dalam menerima takdir itu berbeda dengan sabar saja menerima kekerasan yang dilakukan. Saya juga bukan ingin menganjurkan agar menantang ribut disertai cekcok mulut atau berpisah. Saya hanya ingin menekankan, apa jadinya jika dipukul terus-menerus?

Itu artinya KDRT masih menjadi masalah sosial yang serius. Perlu semua pihak untuk bersama-sama peduli. Peduli berbeda dengan kepo dan ikut campur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun