Mohon tunggu...
Rephael Geovan Nayaka
Rephael Geovan Nayaka Mohon Tunggu... Pelajar di SMA Kolese Kanisius

Seorang pelajar Kolese Kanisius yang gemar melakukan literasi digital

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kemampuan Fokus Manusia Kini Lebih Buruk dari Ikan Mas

8 Mei 2025   22:38 Diperbarui: 8 Mei 2025   22:45 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Penggunaan Aplikasi TikTok (Sumber: Shutterstock)

Studi Microsoft (2015) menunjukkan rata-rata attention span manusia turun dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 8 detik, bahkan lebih pendek dari ikan mas yang 9 detik.

Attention span atau rentang perhatian adalah kemampuan untuk memusatkan fokus pada suatu tugas atau rangsangan dalam jangka waktu tertentu. Setiap orang memiliki rentang perhatian yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh umur, lingkungan, dan energi seseorang. Rentang perhatian yang baik mendukung pembelajaran, produktivitas, dan pengambilan keputusan yang matang. Sementara, rentang perhatian yang pendek dapat menyebabkan gangguan dalam menyelesaikan tugas, menurunnya pemahaman, dan perilaku impulsif akibat seringnya berpindah perhatian.

Rentang perhatian juga memiliki berbagai jenis. Focus attention merupakan kemampuan untuk fokus terhadap suatu pekerjaan tanpa terdistraksi untuk waktu yang lama. Contohnya adalah membaca suatu buku selama 5 jam tanpa membuka internet. Selective attention adalah kemampuan untuk mengabaikan distraksi dalam lingkungan yang sibuk, dan tetap fokus terhadap suatu pekerjaan. Contohnya adalah fokus mengerjakan ujian saat berada di dalam ruangan yang ramai. Divided attention terjadi saat fokus kita terbagi terhadap berbagai kegiatan sekaligus. Contohnya adalah belajar sambil mendengarkan lagu. 

Peran Rentang Perhatian

Kemampuan ini merupakan bagian penting dari kehidupan seorang pelajar. Menurut Minarni (2024) rentang perhatian yang panjang membantu siswa memahami informasi secara mendalam. Fokus yang panjang mendukung kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengevaluasi ide. Kemampuan tersebut juga menghindari siswa dari distraksi dalam menyelesaikan pekerjaan. Fani Setani dan Rasto (2016) menyatakan bahwa fokus yang mendalam dapat melatih soft skill penting bagi siswa, seperti disiplin, kesabaran, dan kerja keras. 

Penelitian telah menunjukan bahwa kemampuan manusia untuk fokus telah menurun drastis seiring perkembangan zaman. Peneliti di Kanada mensurvei 2.000 peserta dan mempelajari aktivitas otak 112 orang lainnya menggunakan elektroensefalogram (EEG). Microsoft menemukan bahwa sejak tahun 2000, rentang perhatian rata-rata menurun dari 12 detik menjadi 8 detik. Dilengkapi oleh Gloria Mark, PHD (2023), salah satu penyebab penurunan ini adalah maraknya short form content di media sosial masa ini.

Short Form Content

Di zaman modern ini, hidup kita dikelilingi oleh media sosial. Menurut Datareportal (2025) sejumlah 63.5% penduduk dunia menggunakan media sosial setiap harinya. Berbagai jenis konten disebarkan melalui aplikasi yang berbeda. Beberapa aplikasi yang paling populer adalah YouTube, Instagram, X, TikTok, dan Facebook. Di antara berbagai jenis konten di media sosial, terdapat short form content yang belakangan menjadi fitur populer di aplikasi-aplikasi  media sosial terbesar. 

Short form content merujuk pada materi digital yang dirancang untuk dikonsumsi dengan cepat dan mudah oleh audiens. Dalam format teks, short form content umumnya didefinisikan sebagai konten yang terdiri dari kurang dari 1.000 kata atau 1.200 kata. Sementara dalam format video, short form content berupa klip singkat dan menarik dengan durasi di bawah 2-3 menit. Format ini dilengkapi oleh mekanisme scrolling. Dalam mekanisme ini, pengguna tidak akan kehabisan konten untuk dikonsumsi. 

Short form content mengalami pertumbuhan popularitas dalam beberapa tahun terakhir. Popularitas ini diawali sebagai sarana pengiklanan yang efektif. Berdasarkan survei Statista Research Development terhadap pemasar video di seluruh dunia yang dirilis pada Desember 2024, 71% responden menyatakan bahwa video pendek adalah format video dengan tingkat pengembalian investasi (ROI) tertinggi. Angka ini melampaui popularitas video panjang pada 22%. Popularitas ini juga muncul di salah satu aplikasi short form content terbesar di dunia. TikTok memiliki 1.12 miliar pengguna aktif per bulan, menurut Sensor Tower pada Q4 2023. 

Dampak Short Form Content Terhadap Kita

Format video pendek tersebut menurunkan rentang fokus manusia dengan membajak otak kita. Menurut NeuroLaunch (2024), short form content dirancang untuk memicu melepas neurotransmitter penghargaan (dopamin) secara intens. Setiap kali pengguna menemukan konten menarik, otak memperoleh dopamin. Mekanisme scrolling mempertajam efek ini dengan memaparkan pengguna terhadap puluhan konten setiap jam. Apabila terdapat konten yang kurang menarik, pengguna dapat beralih video dengan cepat untuk mendapatkan dopamin tersebut kembali. 

Dalam proses tersebut, struktur otak manusia terpengaruhi. Studi menggunakan MRI menunjukan bahwa pengguna TikTok mengalami peningkatan volume materi abu-abu di area Orbitofrontal Cortex (OFC) dan Cerebellum. Area tersebut memiliki hubungan dengan pengambilan keputusan dan regulasi emosi. Hal tersebut ditemani oleh meningkatnya aktivitas di Nucleus Accumbens dan Ventral Striatum. Perubahan tersebut membuat otak lebih sensitif terhadap hormon penghargaan. Hal tersebut memicu perilaku kompulsif, dimana pengguna lebih rentan mengambil risiko (seperti scrolling) untuk dopamin. Ada pula area Posterior Cingulate Cortex dan Dorsolateral Prefrontal Cortex yang mengalami peningkatan aktivitas saraf. Area tersebut terlibat dalam pengaturan perhatian dan kontrol kognitif. Aktivitas saraf tersebut menunjukkan usaha otak untuk melawan distraksi. Tetapi, usaha tersebut menyebabkan kelelahan mental. 

Gambar Anak Sedang Doom-scrolling (Sumber: Shutterstock)
Gambar Anak Sedang Doom-scrolling (Sumber: Shutterstock)

Berbagai perubahan tersebut memiliki dampak negatif bagi seorang pelajar. Kelelahan kognitif dapat mengganggu kemampuan seorang murid untuk belajar. Dr. Bhavit Bansal (2025) mengemukakan bahwa kelelahan kognitif berasal dari jumlah informasi yang membanjiri otak seseorang dalam jangka waktu yang pendek. Hal tersebut dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk menyimpan memori jangka panjang. Akibatnya, pelajar akan kesulitan untuk memahami dan mempertahankan pemahaman terhadap suatu konsep.

Selain itu, pelajar akan mengalami penurunan kontrol impuls. Seseorang dengan kebiasaan scrolling membiasakan mereka terhadap stimulasi instan. Aktivitas yang membutuhkan fokus lama akan terasa berat. Mereka juga akan mengalami gangguan tidur dan emosi. Paparan berlebihan terhadap Posterior Cingulate Cortex memicu insomnia,kecemasan, atau depresi. Penelitian oleh Trendeline Haliti-Sylaja dan  Alisa Sadiku (2024) juga menemukan penurunan kemampuan psikomotorik, seperti waktu reaksi. Kesulitan ini mereka amati pada mahasiswa. Mereka menemukan bahwa mahasiswa dengan paparan short form content tinggi memiliki GPA yang rendah.

Peran Pihak Sekolah

Gambar Pelajar di Sekolah (Sumber: istockphoto.com)
Gambar Pelajar di Sekolah (Sumber: istockphoto.com)

Upaya pengatasan krisis rentang fokus ini dapat didukung oleh lembaga pendidikan. Sekolah-sekolah harus menerapkan sistem untuk membangun kebiasaan digital yang baik bagi para murid. Sekolah dapat memberikan tugas untuk membaca dan merangkum sejumlah artikel pada jangka waktu tertentu. Murid dapat diberi kebebasan terkait topik. Dengan begitu, mereka dapat menemukan kesenangan dalam berkegiatan digital selain scrolling. Hal ini dapat mencegah kebiasaan scrolling pada para murid. 

Untuk mengatasi kebiasaan yang telah terbentuk, sekolah dapat menyediakan semacam program "rehabilitasi." Dalam program ini, para siswa dengan kebiasaan scrolling dapat dibimbing oleh pihak sekolah. Mereka akan diberikan perhatian dan penasehatan khusus terkait penggunaan media sosial. Mereka juga dapat diberikan aktivitas pengisi waktu tertentu sebagai tugas untuk menghindari penggunaan media sosial. Dengan begitu, mereka dapat terlepas dari adiksi secara perlahan.

Perkembangan zaman telah mengubah cara manusia menggunakan perhatian. Manusia sekarang lebih mudah terdistraksi dibandingkan sebelumnya. Maraknya short form content di media sosial telah mengubah struktur otak manusia. Akibatnya, pelajar menjadi lebih impulsif, cepat lelah secara mental, dan sulit memahami pelajaran. Masalah ini tidak boleh diabaikan. Rentang fokus yang baik sangat penting bagi pelajar. Kemampuan untuk fokus membantu siswa belajar lebih dalam, berpikir kritis, dan mengembangkan soft skill. Di tengah gempuran media sosial, kita harus mulai melatih para pelajar untuk fokus kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun