Salah satu anak kost sambil menunggu pesanan mie rebus rasa empal gentong memulai bahasan lelucon gastronominya :Â
"Kita-kita anak rantau cuma bisa icip-icip rasa-rasa masakan nusantara dari mie instan, nyicip rasa empal gentong, sop buntut, mie aceh, balado, kari ayam, sambal ijo dengan harga terjangkau tapi ga terjangkau kalau udah ada tambah topping macem-macem improvisasi kreatif abang warkop tambah telor mata sapi, tambah kornet, tambah sosis, tambah ayam goreng serundeng sekalian aja jadi mie rames"Â
Sontak abang warkop menimpali dengan candaan setara untuk mengimbanginya :Â
Anak kost justru harus makan banyak proteinnya biar siap menghadapi kenyataan nanti subuh fakta kehidupan semua noh..., mie instan rasa nusantara ga menjamin kuat jasmani soalnya toppingnya pada gaib, makanya kerja sama dengan warteg sebelah jadi menu-menu mengenyangkan. Masalah terjangkau atau ga nya itu urusan birokrasi para petinggi negeri agraris.Â
Semua pelanggan warkop yang menikmati sahur di warkop dan warteg tertawa dengan narasi celetukan kritik sosial dari abang warkop yang terus melayani pesanan rasa-rasa mie kuah (rebus) dan mie goreng yang dipesan beda-beda dari anak-kost yang sahur.Â
Lelucon Gastronomi Dini HariÂ
Kritik sosial selalu datang dari keresahan kenyataan, dari tempat terendah dan terbawah yang jarang dijangkau oleh para pengambil keputusan dan kebijakan, bahkan definisi gastronomi secara singkatnya adalah makanan dan budaya, luput oleh kenyataan bahwa Indonesia masih berada dalam ketimpangan rasa, kerinduan akan menikmati masakan nusantara yang kaya bumbu di daerah rantau tidak semanis narasi-narasi gastronomi yang didengungkan, ledekan demi ledekan terus terlontar karena ketidakterjangkauan merasakan cita rasa dari komoditas-komoditas pangan lokal terbaik di negeri ini.Â
Tapi ini kan warkop ? jelas yang dijual tidak lebih dari mie instan dan aneka minuman sasetan yang siap seduh termasuk kopi saset. Menu-menu makanan ultra (pabrikan) yang jika disantap setiap hari dengan intensitas tinggi akan memiliki risiko kerusakan alat cerna.Â
Mengapa anak rantau jarang mendapatkan gizi lengkap ? Jawabannya ada pada anggaran kebutuhan hidup yang tidak cukup dari upah-upah rendah pekerjaannya, bahkan anak-kost juga dominasi mahasiswa yang masih mengandalkan kiriman perbekalan dan tambahan uang dari orang tuanya di kampung. Sehingga jika anak kost berkumpul menikmati menu-menu yang tersedia akan banyak mengkritik cita rasa yang tidak memuaskan namun tetap ceria karena keakraban sosial dan saling berbagi menjadi kekuatan kompak di perantauan, justru dari kekurangan dan keterbatasan inilah banyak humor-humor spontan yang membuat susasana gembira seperti :Â
- Indonesia nih dikelilingi lautan, ikannya pasti banyak, kenapa cuma ada ikan cue lagi ikan cue lagi kalau ga bumbu kuning, kering balado sekali-kali ikan paus napa.
- Dimangkuk kacang dipiring kacang, cuma beda bumbu doang, sungguh terlalu.Â
- Ga ada menu-menu khas kerajaan nih mpok ? (pale lu kerajaan, nih sate ayam ditusuk pake keris empu gandring nih).
- Teh tarik nih curiga bahan bakunya dari tanah sengketa banyak ditarik-tarik haknya.Â
- Kopi-kopi apa yang mengecewakan mahasiswa ? kopikir mahasiswa banyak duit, duit receh kembalian belanjaan.Â
- Nih telur asin kenapa pake stempel sih ? udah kaya SKL (Surat Keterangan Lulus) semua harus serba di acc.Â
- Ya ampun ini rendang dari kapan hari, masih aja ga laku ? giliran terong balado habis-habis mulu, menandakan apa guys ?Â
- Kata siapa mie rebus ga boleh pake nasi ? selama belum ada yang langsung mati berarti ga sebahaya itu kan ya ?Â
- Woy cuy ? kemana ? ke bengkel dulu sini ! bengkel perut warteg mpok neng, beli 1 gratis 2 ya kan mpok ? (suka-suka lu, gua tagih di alam barzah !)Â
Humor-humor tersebut akan selalu terkenang dalam transformasi diri pada kehidupan yang membaik dimulai dari kemampuan dan kecukupan sumber daya, namun pengalaman sahur di warkop ketika menjadi anak-kost akan selalu terkenang dan berkesan sebagai pengingat bahwa setiap roda-roda kehidupan terus berputar, memasuki fase keterbatasan dan kesulitan, turut merasakan kondisi sulit namun banyak yang seperjuangan, lawakan abang warkop dan mpok warteg yang apa adanya dan selalu bisa menyajikan menu-menu terjangkau agar bisa dinikmati anak-anak kost perantau setidaknya menjadi evaluasi diri agar tidak takabur dan tidak lupa bahwa pengalaman empiris pernah merasakan perjuangan hidup akan membawa setiap manusia menjadi lebih dewasa dan lebih peka setiap kondisi ekonomi-sosial orang-orang itu beragam.Â
Gastronomi jalanan lebih terbuka pada fakta cita rasa yang terbatas bahwa tidak semua masakan nusantara selalu tersaji dengan perayaan simbolis kebudayaan dengan megah, nyatanya cita rasa nusantara diwakili oleh sebungkus mie instan yang jauh lebih peka menyajikan alternatif pemuas daya kecap.Â
Apa momen berkesanmu di warkop sebagai anak-kost yang pernah nongkrong demi sahur di bulan ramadan ?Â