Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perlunya Kaderisasi Anak Muda untuk Kelompok Wanita Tani (KWT)

15 Januari 2023   09:03 Diperbarui: 15 Januari 2023   11:40 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokumentasi pribadi 

Kelompok Wanita Tani (KWT) adalah kumpulan wanita-wanita yang memiliki potensi untuk bercocok tanam dan menyediakan ketersediaan bahan pangan untuk skala mikro. 

Namun betapa terkejutnya ketika melihat data sosial ekonomi bahwa kebanyakan anggotanya rata-rata adalah wanita berusia 40-65 tahun yang produktif dan aktif. Ke mana para pemudinya? 

Ini juga menjadi bahan evaluasi karena ada beberapa hal yang ternyata cukup berpengaruh pada semangat organisasi atau komunitas. 

Beberapa kendala yang dialami pemudi yang enggan bergabung menjadi Kelompok Wanita Tani (KWT): 

Tidak ada bayarannya 

Betapa pergeseran kebutuhan sudah sangat berubah, tidak ada lagi gotong royong atau kerja sama sukarela untuk kegiatan pertanian sederhana, di Tasikmalaya sendiri alasannya karena kegiatan bercocok tanam dan bertani bareng warga tidak ada upahnya. Jelas, sudah urgensi upah ini yang lebih diminati untuk menopang kebutuhan pemudi. 

Tidak Keren dan Tidak Instagramable 

Entahlah, ini tanggung jawab siapa yang harus sosialisasi dan edukasi, karena jumlah penyuluh pertanian pun semakin tidak terlihat dan jarang berkunjung, jadi Komunitas Wanita Tani (KWT) melakukannya dengan pengalaman turun-temurun serta berdiskusi dengan sesama anggotanya. 

Masalah tidak keren, karena apanya yang mau keren, fasilitas seadanya, benih pun hasil dari menyisihkan dari beberapa komoditas yang membusuk dan dikeringkan, cara mereka sederhana untuk melawan kemalasan dan mahalnya harga-harga pangan terutama makanan sehat yang satu ikatnya sudah menyentuk Rp. 10.000. 

Memang tidak ada publikasi sama sekali karena literasi digital dan sentuhan dengan gawai pun tidak secanggih anak muda, bukankah harusnya anak muda yang memviralkan kegiatan mereka agar banyak dilihat publik di ruang maya sekedar menginformasikan adanya kegiatan bercocok tanam dari suatu kelompok untuk ketersediaan pangan skala kecil? 

Tidak instagramable, rasanya seperti diperbudak oleh syarat-syarat tampilan media sosial, memang estetika itu penting namun tidak terlalu berpengaruh jika tidak bermanfaat sama sekali dan tidak membawa perubahan sama sekali pada arah yang lebih baik. 

Tidak Ada Waktu 

Betapa mahal sekali waktu senggang anak muda masa kini, setelah bekerja dengan jam kerja yang tiada hentinya, maka waktu istirahat adalah waktu yang sangat berkualitas untuk sekadar jeda dari ingar-bingarnya dunia dan sejenak menyepi untuk menyegarkan pikiran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun