Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ...karena menulis adalah berbagi hidup...

Akun ini pengganti sementara dari akun lama di https://www.kompasiana.com/berajasenja# Kalau akun lama berhasil dibetulkan maka saya akan kembali ke akun lama tersebut

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Logat Itu Berkat

4 Juli 2019   17:36 Diperbarui: 4 Juli 2019   18:29 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
archives.portalsatu.com

Seorang teman baik yang sudah lama tinggal di Amerika, mengirimkan kartu undangan pernikahannya. Rada kaget sebab nama calon mempelainya ternyata Indonesia sekali. Lalu, saya pun memastikan soal nama calon suaminya itu.

"Pasti nggak nyangka ya kalau suamiku orang Indonesia asli?" komentarnya. "Tahu nggak padahal kalau di Amerika itu, dia pasti bisa langsung ditebak asalnya dari Indonesia. Bukan dari Hongkong, Singapura atau Taiwan gitu deh... Padahal dia lebih lama dariku tinggal di Amerika."

"O ya? Wah, kenapa?"

"Soalnya katanya Inggrisnya beda. Lebih jelas."

"Wah, saya baru tahu..."

Ketika acara resepsi mereka, saya sempatkan  sengaja datang. Keduanya terlihat bahagia bersama sekian banyak tamu. Maklum, selain keduanya memiliki relasi banyak, kebetulan juga dua-duanya dari keluarga pengusaha terkenal. Tempat resepsi di hotel bintang lima itu sangat penuh dengan tamu yang datang.

Oleh karena saya harus kembali ke Bandung, saya  segera mencari kedua mempelai untuk pamit. Kebetulan mereka sedang ada di bawah panggung sehabis berganti pakaian. Sang istri yang mungkin masih ada di belakang panggung, rada lama terlihat kembali ke sebelah suaminya yang sudah siap. Maka saya pun berpamitan kepada suaminya saja.

"Maaf ya, Pak... Saya harus kembali ke Bandung. Mau pamit. Tolong sampaikan pamit saya kepada istrimu," ujar saya.

Sang Suami tersenyum lebar lalu berkati, "Ndak apa Mbak Anjar. Nanti ta sampeken salam sampeyan..."

Seorang teman yang menemani spontan tidak bisa menahan tawa. Sementara saya rada terbelalak. Medoknya itu membuat saya dan teman jadi kaget dan spontan tertawa. Untung yang dimaksud tidak merasa tersinggung.

Beberapa hari setelah resepsi, saya ceritakan hal tersebut kepada teman saya yang adalah istrinya. Dia pun tertawa dan merasa memang itulah kelebihan sang suami.

"Kalau di Amerika dia bisa langsung dikenali sebagai orang Indonesia. Kalau di Indonesia pasti dia akan bisa langsung dikenali sebagai orang Jawa."

Tidak jauh beda dari suami si teman, teman-teman saya semasa kuliah juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka kebanyakan memang dari daerah Jawa. Karena logat dan cara bicaranya itu kadang kami bisa tahu dari Jawa mana mereka berasal.

Karena kedekatan serta niat bercanda, sering kali kami menyebut mereka dengan singkatan "Glodok" alias "Gerombolan Medok" atau "Rojali" alias "Rombongan Jawa Lieur (pusing)".

Herannya, meski di Bandung mereka juga tertular "teh", "euy", "tea" dan beberapa ungkapan bahasa Sunda lainnya, medoknya itu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Tetap melekat.

Demikian juga kalau seorang dari daerah Sumatera pindah ke daerah lainnya. Tidak serta merta bisa menghilangkan logat aslinya. Bahkan ketika ia sudah lama di daerah perantauannya logat itu akan tetap terbawa. Sehalus apa pun. Beberapa daerah yang secara suara logat gampang diingat pasti akan lebih susah lagi "menyembunyikan" meski mungkin fasih juga berbahasa daerah peratanuannya kini. Contohnya, teman-teman "Rojali" dan "Glodok" saya itu. Apalagi di tempat bermukimnya sekarang masih terjalin hubungan dengan orang-orang lain satu daerah di tempat itu, pasti bahasa dan logatnya akan segera terpancing.

Barusan saya kedatangan seorang tamu dari Roma. Dia sudah empat tahun tidak pulang ke Indonesia. Maka ini adalah mudiknya yang pertama.

Dalam bayangan saya, dia akan berdialeg atau aksen orang Itali seperti ada teman saya yang lain. Tapi, begitu kami bertemu tadi saya kaget banget sebab yang saya dengar tetap logat aslinya. Orang Sunda asli. Kami jadi tertawa-tawa soal ini.

"Nggak akan beda saya mah, Mbak... Di Roma kan numpang belajar aja. Logat mah tetep sama atuh..." Katanya seraya tertawa-tawa melihat saya tidak menyangka. Katanya lagi, di sana pun logat itu tidak bisa dia hilangkan begitu saja meski dalam kondisi berada diantara teman-teman sekampus atau orang asli Itali.

Berbarengan dengan itu juga, saya kembali melihat Pak Jokowi yang sedang diwawancara wartawan CNN  dengan menggunakan Bahasa Inggris. Orang banyak mungkin akan ngenyek (mengejek) logat beliau dan dianggap tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Tapi, si wartawan nampak mengerti dan enjoy saja dengan logat Jawanya Bapak Presiden satu itu.

Jadi, saya pikir, tetaplah bangga dan tidak malu menunjukkan pada logat asli yang dimiliki bangsa ini justru menambah keunikan sekaligus mengenalkan pada dunia luar tentang siapa Indonesia itu sebenarnya. (anj 19)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun