Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ...karena menulis adalah berbagi hidup...

Akun ini pengganti sementara dari akun lama di https://www.kompasiana.com/berajasenja# Kalau akun lama berhasil dibetulkan maka saya akan kembali ke akun lama tersebut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Sekadar Etika

24 Juni 2019   15:39 Diperbarui: 24 Juni 2019   15:52 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melalui hari-hari bersama para orang muda, khususnya mahasiswa memang bukan hal yang selalu mudah atau menyenangkan. Diantara hari-hari itu pasti akan terselip masa-masa kecewa, sedih, bingung bahkan marah yang seringkali harus ditahan.

Kenapa ditahan?

Sebab, jika kita menghantarkan marah begitu saja kepada mereka, seringkali malah tidak tertangkap alasan kenapa kita marah dan sebaiknya bagaimana yang harus dilakukan supaya lebih baik. Padahal seringkali apa yang membuat saya emosi itu adalah harl kecil sehari-hari, seperti tidak meletakkan barang kembali ke tempatnya.

Saat saya masih kecil, ibu adalah orang yang paling cerewet kalau tahu saya menggunakan alat yang juga dipakai anggota keluarga lain, tidak dikembalikan lagi ke tempatnya. Bukan sekali dua juga ibu mencontohkan dengan ia sendiri yang mengembalikan. Tapi, saya kembali melakukan seolah tidak ada masalah. Cerewetnya itu bukan cuma waktu itu saja. Bisa terus berulangkali ia lakukan. Sampai sempat sebal kalau sudah mendengar ibu bernyanyi.

"Kan nanti kalau kamu butuh lagi nggak usah bingung, dimana tempatnya," begitu alasan ibu.

Benar juga sih... Ketika saya tidak memperdulikan kecerewetan  tersebut dan satu saat membutuhkan barang itu lagi, saya sendiri yang kebingungan. Sudah begini, ibu akan komentar, "Nggak nurut sih kemarin... Sekarang kamu yang malah merasakan sendiri dampaknya." Sejak saat itu, tiap kali ibu bernanyi  soal hal satu itu, saya akan segera melakukannya. Tidak ditunda.

Setelah dewasa dan menghadapi sekian banyak anak muda yang juga memperlakukan hal yang pernah saya lakukan di masa lalu itu, ganti saya yang cerewet. Saatnya pula, ganti saya yang disebelin karena cerewet sekali mengingatkan mereka.

Kali ini memang harus cerewet, bukan saja demi barang yang dipinjam, tetapi karena kebanyakan barang itu milik bersama, mereka dan teman-teman lain. Tidak lucu kalau harus membeli terus hanya karena barang-barang itu seringkali hilang sebab lupa dikembalikan.

Sayangnya, mendampingi mahasiswa atau anak muda sementara mereka dari banyak latar belakang keluarga yang berbeda, tidaklah mudah. Karakteristik masing-masing anak telah terbentuk sekian belas tahun dari keluarga yang tidak saya ketahui bagaimana pola mendidiknya.

Maka, demi kepentingan bersama, jika memang emosi karen hal kecil ini berulangkali dilakukan harus saya keluarkan, sesekali saya sengaja biarkan kelaur. Tentu di waktu yang tepat juga. Tidak cuma cerewet, tapi juga ancaman kecil supaya mereka tidak berbuat lagi, ada atau tidak ada saya yang selalu mengingatkan. Sekaligus juga menunjukkan langsung akibatnya bila mereka tidak peduli atas apa yang saya bilang. Mereka kebingungan sendiri sebab tidak tahu harus bagaimana karena alat yang dibutuhkan tidak ada di tempat, misalnya.

Demikian juga jika mereka hendak menggunakan alat itu, biasanya tanpa harus ada aturan tertulis, saya selalu ingatkan buat bilang. Bilang kepada yang mengurus atau yang punya. Bukan saja supaya tidak ada pihak yang kehilangan, tetapi juga alasan etika.

Yes. Etika hal-hal seperti ini sudah makin menipis keberadaannya.

Dengan alasan nanti saja bilangnya atau bahkan menganggap tidak masalah mengambil barang yang dianggapnya milik bersama itu, seringkali etika semacam itu terlewati.

Dengan tidak mengembalikan ke tempatnya saja bisa merepotkan orang lain, apalagi ini, mengambil yang bukan menjadi miliknya. Orang bisa saja langsung bilang itu pencurian, namun saya tidak jarang mendapati hal ini asalannya sebab karena memang sudah terbiasa menganggap banyak hal sepele dan atau bisa dimaklum.

Padahal, bila semua hal diminta dimaklumi, maka orang akan semakin kabur dengan batasan boleh atau tidak boleh, benar atau salah atas sesuatu. Kondisi ini yang kadang makin absurd terbaca terlebih atas segala kejadian yang akhir-akhir ini memang menderas dalam segala berita.

Jadi, pada akhirnya mempedulikan hal-hal kecil di sekitar kita yang berhubungan dengan orang lain sebenarnya bukan hanya sekadar etika. Ini soal bagaimana kita bisa memperlakukan hidup kita sendiri dan orang lain. Sebab, jika hal itu sudah merasuki pada kesadaran kehidupan kita, mungkin saya dan ibu yang terkenal cerewet itu tidak perlu sampai sedemikiannya bernyanyi, membuat malas kuping yang mendengarkan. (anj 19)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun