Mohon tunggu...
Reni Sulistiyaningsih
Reni Sulistiyaningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Indonesia

Saya merupakah mahasiswa Sastra Belanda di Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Kolonialisme Dalam Karya Sastrawan berdarah Indonesia-Belanda: "De Prinses van Het Eiland" generasi 1 dan "Nathan Sid" generasi 2

31 Mei 2025   11:55 Diperbarui: 6 Juni 2025   23:29 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Melalui sastra, kita dapat melihat kembali momen-momen dan sejarah penting dalam kehidupan manusia. Dua novel yang menarik untuk dikaji secara mendalam adalah “De Prinses van Het Eiland” karya Maria Dermoût dan “Nathan Sid” karya Adriaan van Dis. Ditulis oleh dua generasi yang berbeda, masing-masing novel menghadirkan perspektif berbeda tentang pengalaman kolonial dan pascakolonial. Kedua karya ini tidak hanya sekedar bercerita, tetapi juga mengungkap lapisan-lapisan trauma, identitas, dan pencarian makna yang terus bergema hingga generasi berikutnya.

Sinopsis
De Prinses van Het Eiland
“De Prinses van Het Eiland” menceritakan kisah tentang sebuah kehidupan keluarga yang tinggal di sebuah pulau kecil di sebelah timur Pulau Sumatera, dekat dengan Samudra Hindia. Dua anak perempuan yang paling disayangi oleh keluarga itu disebut "De Prinses van Het Eiland", yang berarti "Puteri Pulau" oleh penduduk setempat. Kedua gadis kecil itu pindah ke rumah neneknya di Eropa setelah kedua orangtuanya meninggal. Kedua Puteri Pulau itu masih memiliki kenangan di tanah kelahiran mereka, pulau kecil dengan kehidupan yang tenang di pantai dan deruan ombak.
Nathan Sid
Buku “Nathan Sid” karya Adriaan van Dis menceritakan tentang Nathan, seorang anak laki-laki berdarah campuran Indo-Belanda yang tumbuh di Belanda pascakolonial. Nathan hidup dalam keluarga repatriat bersama tiga saudari tiri, ibu dan ayah yang keras dan penuh amarah. Ayahnya merupakan mantan tentara KNIL yang memendam trauma perang. Cerita ini menggambarkan pencarian identitas Nathan di tengah benturan budaya Belanda dan warisan Hindia Belanda, serta konflik dan kekerasan yang terjadi dalam keluarganya. Nathan juga berjuang menghadapi alergi dan masalah kesehatan yang membuatnya harus menjalani diet ketat dan latihan fisik disiplin. Cerita ini diwarnai dengan puisi-puisi yang menghidupkan masa lalu Indische keluarga tersebut.

Pencarian Identitas dalam Bayang-bayang Sejarah
“De Prinses van Het Eiland” membuka narasinya dengan kisah pelarian seorang kepala biara Portugis dan perwira laut Inggris yang melanggar sumpah mereka demi cinta. Pola tersebut kemudian diwariskan kepada anak mereka, sang tokoh utama yang tak pernah disebutkan namanya, kabur dari rumah ketika berusia 15 tahun. Tema pelarian dan pencarian identitas ini menjadi benang merah yang mengikat seluruh cerita, menggarisbawahi bagaimana manusia terus mencari tempat yang tepat dalam hidup, meskipun seringkali tersesat di antara identitas lama dan baru.

Sementara itu, “Nathan Sid” turut menghadirkan tema pencarian identitas namun dengan dimensi yang berbeda. Nathan, sang tokoh utama keturunan Indonesia-Belanda yang lahir dan besar di Belanda. Ia terperangkap di antara dua dunia budaya: warisan Indo-Belanda dari keluarganya dan kehidupan masyarakat Belanda tempat ia tinggal. Benturan dua budaya berbeda ini menimbulkan kebingungan dalam diri Nathan mengenai identitasnya. Ketidakpernahannya mengalami kehidupan kolonial secara langsung justru membuat dirinya merasa terasing. Nathan merasa kesepian mendalam karena tidak sepenuhnya diterima dalam lingkungan Belanda.

Potret Kehidupan Kolonial dan Dampaknya
Kedua novel ini memberikan potret yang kontras tentang kehidupan kolonial. “De Prinses van Het Eiland” menampilkan sisi kemewahan kolonialisme melalui tokoh-tokoh seperti kakek Nonce dan Roosye yang menjadi pegawai pemerintah kolonial. Eksploitasi sumber daya seperti lada dan kopra, serta ketegangan sosial antara pendatang dan penduduk pribumi, digambarkan dengan jelas. Tokoh utama yang menikah dengan janda bangsawan Belanda hidup dikelilingi kemewahan yang bertolak belakang dengan penderitaan masyarakat terjajah.

“Nathan Sid” mengeksplorasi sisi lain dari kolonialisme, dampak jangka panjangnya terhadap keluarga repatriat. Keluarga Nathan hidup dalam kemiskinan dan penurunan status sosial yang signifikan setelah kembali ke Belanda. Meskipun secara hukum mereka adalah warga Belanda, mereka ditempatkan di perumahan darurat dan diperlakukan bagai pengungsi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka juga tidak sepenuhnya diterima dalam masyarakat Belanda, menciptakan paradoks identitas yang menyakitkan.

Trauma yang Melintas Generasi
Salah satu tema paling menarik dari Novel “Nathan Sid” adalah penggambaran trauma kolonial lintas generasi. Trauma yang dialami ayah Nathan, mantan tentara KNIL, ditransmisikan secara tidak langsung kepada Nathan melalui berbagai medium: cerita keluarga, benda-benda kolonial seperti keris dan batik, simbol material berupa gambar dan lagu, hingga pola asuh otoriter yang keras. Barang-barang warisan kolonial menjadi jembatan yang menghubungkan Nathan dengan masa lalu traumatik ayahnya, membuktikan bahwa trauma kolonial tidak berhenti pada satu generasi.

Keluarga sebagai Ruang Konflik dan Kehilangan
Kedua novel ini juga mengeksplorasi dinamika keluarga yang kompleks. “De Prinses van Het Eiland” menampilkan ikatan keluarga yang penuh ketegangan, jarak, dan kehilangan. Hubungan dingin antara kakek (tokoh utama) dan ayah Nonce serta Roosye (Boy) tercermin dalam keputusan mengirim Boy dan istrinya ke pulau. Kematian Boy di usia muda meninggalkan luka mendalam bagi seluruh keluarga. Anaknya, Nonce dan Roosye, kemudian dibesarkan di Belanda oleh kakek neneknya. Mereka berjuang menghadapi kesepian sambil menjaga ingatan tentang orang tua dan tanah kelahirannya.

Dalam “Nathan Sid”, keluarga justru menjadi sumber konflik dan kekerasan. Setiap anggota keluarga berjuang menghadapi masa lalu kelam dengan caranya masing-masing, namun konflik seringkali meledak dalam bentuk kekerasan fisik dan emosional. Keluarga, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang, malah menjadi arena pertempuran internal yang tak berkesudahan.

Refleksi atas Warisan Kolonial
Kedua novel ini menawarkan perspektif yang berbeda tentang warisan kolonialisme. “De Prinses van Het Eiland” cenderung fokus pada kehidupan kolonial itu sendiri dan dampak langsungnya terhadap keluarga, sementara “Nathan Sid” mengeksplorasi bagaimana trauma kolonial terus hidup dan berkembang dalam generasi yang tidak pernah mengalami kolonialisme secara langsung.

Dari kedua karya ini, kita dapat memahami bagaimana kolonialisme bukan hanya sebuah peristiwa dalam sejarah yang telah lama berlalu, tetapi juga menjadi warisan yang terus membentuk identitas, hubungan keluarga, dan cara pandang generasi berikutnya. Pencarian identitas, trauma antargenerasi, dan dinamika keluarga yang kompleks menjadi tema-tema universal yang relevan hingga kini, mengingatkan kita bahwa dampak dari kolonialisme masih terus bergema dalam kehidupan kontemporer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun