Mohon tunggu...
Reni Soengkunie
Reni Soengkunie Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang baca buku. Tukang nonton film. Tukang review

Instagram/Twitter @Renisoengkunie Email: reni.soengkunie@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Memiliki Sahabat Pena di Masa Lalu Merupakan Sebuah Kemewahan

15 September 2020   14:11 Diperbarui: 15 September 2020   21:25 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu saat POS Indonesia masih dalam puncak kejayaannya dan internet belum terkoneksi dengan kehidupan generasi muda, maka berkirim surat merupakan sebuah pilihan paling mutakhir untuk berkomunikasi jarak jauh.

Meski dulu telepon umum sudah ada, tapi tidak semua orang memiliki telepon di rumahnya. Sehingga surat menyurat masih menjadi andalan masyarakat.

Walaupun kita tahu kelemahan berkabar dengan surat itu tentu tidak seakurat saat kita bertelepon. Karena bisa jadi kita memberi kabar hari ini, lantas si penerima akan mendapatkan kabar tersebut bisa tiga hari atau seminggu kemudian.

Kalau kabarnya tidak penting dan mendesak mungkin tak masalah ya, tapi kalau info yang dikabarkan tersebut penting tentu bakal menjadi cerita basi sebelum sampai ke tujuan.

Jika anak muda zaman sekarang berhubungan satu sama lain menggunakan aplikasi chat untuk berbincang, maka di zaman dulu anak mudanya berhubungan menggunakan surat. 

Meski sebenarnya pemborosan kertas, namun pada kenyataannya orang jadi rajin menulis dengan tangan. Sehingga kita bisa tahu tulisan tangan seseorang tersebut dan sudah pasti hal ini tak bisa dilakukan dengan cara copy-paste.

Generasi terdahulu pasti tahu yang namanya sahabat pena. Meski namanya sahabat pena tapi bukan berarti kita bersahabat dengan pena loh ya!

Sahabat pena yang dimaksud di sini adalah sebuah persahabatan yang dijalin lewat tulisan pena. Biasanya orang mendapatkan alamat sahabat pena tersebut dari sebuah majalah atau tabloid.

Di sana akan ada orang yang menulis biodata dan alamat lengkapnya, sehingga kita bisa mengirimi mereka sebuah surat untuk kenalan lebih jauh lagi serta bertukar cerita layaknya sahabat di dunia nyata.

Saya sendiri punya satu sahabat pena saat masih duduk di bangku SMP dulu. Sahabat pena saya kebetulan seorang lelaki yang usianya sama dengan saya. Sebenarnya alasan utama saya memilih untuk mengirimkan surat itu bukan karena dia lelaki, tapi saya tertarik dengan daerah asal sahabat pena saya ini.

Sebuah daerah yang sama sekali belum pernah terbayang di pikiran saya, seperti apa daerah tersebut. Yang pasti rumah sahabat pena saya ini sangat jauh dari rumah saya.

Akhirnya saya mengirimkan sebuah surat perkenalan. Dua minggu setelahnya ada sebuah surat balasan untuk saya yang ditaruh di ruang TU. Kebetulan saya memberikan alamat sekolah agar lebih cepat sampai.

Sungguh, bahagia sekali rasanya mendapatkan surat di masa itu. Teman-teman sekelas saya pun pada kepo dengan surat tersebut. Alhasil saya membaca surat tersebut bersama beberapa teman saya.

Surat pertama yang saya dapatnya panjangnya itu dua lembar kertas folio dan ditulis bolak-balik. Jika ditulis di Microsoft Word mungkin kurang lebih 4-5 halaman dengan size 12, margin 4-3-3-3, dan spasi 1.5.

Meski dia seorang lelaki namun tulisannya begitu rapi dan bagus. Beda dengan tulisan tangan saya yang kayak cekeran ayam. Hmmm

Sahabat pena saya merupakan orang asli Batak Karo dan dia seorang nasrani. Meski kami beda suku dan agama, tapi nyatanya hubungan pertemanan kami baik-baik saja.

Dia banyak bercerita pada saya tentang keluarganya, kegiatan di sekolahnya, tentang daerahnya, tentang sukunya, bahkan dia juga menjelaskan pada saya tentang nama baptisnya. Lewat sahabat pena saya ini, saya jadi punya gambaran tentang daerah di Indonesia yang bernama Karo.

Perlu dipahami, di masa itu belum ada internet. Saya tak bisa mengakses tentang dunia luar seperti saat ini. Sehingga ranah pertemanan saya pun terbatas. Namun dengan adanya sahabat pena ini, wawasan saya semakin bertambah.

Saya juga bisa belajar tentang sebuah perbedaan dan keberagaman. Soalnya di tempat tinggal saya itu hampir rata-rata semua bersuku Jawa dan semua kebanyakan beragama Islam. Tentu mendapat teman baru dari daerah yang jauh di pulau seberang sana merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya.

Saya dan sahabat pena saya masih terus berkirim surat. Meski kami belum pernah bertemu satu sama lain, namun entah kenapa lewat sebuah tulisan demi tulisan tersebut kami seolah menjadi teman yang akrab.

Saya seolah tahu bagaimana lingkungan tempat tinggalnya, saudara-saudaranya, keadaan di sekolahnya, dan juga cita-cita serta impiannya. Hingga akhirnya waktu terus bergulir dan teknologi masuk tanpa bisa dihindari.

Setelah masuk SMA, surat yang saya kirim ataupun surat dari dia semakin jarang. Mungkin karena kami sama-sama sibuk menjadi siswa baru atau mungkin juga karena handphone sudah mulai masuk dalam kehidupan kami.

Akhirnya karena sibuk dengan urusan sekolah, kami tak lagi berhubungan. Pak Pos yang selalu ditunggu tak lagi mengantarkan sepucuk surat untuk saya. Dan saya mulai berhenti menulis sebuah surat.

Sepuluh tahun kemudian, saat saya membuka lemari yang berisikan buku-buku, saya menemukan tumpukan surat yang dikirim oleh sahabat pena saya. Seolah bernostalgia dengan masa lalu, saya membaca satu per satu surat tersebut.

Surat-surat usang itu seolah menjadi harta karun yang bisa dengan mudah membuat saya tertawa ketika membacanya ulang. Iseng-iseng saya menuliskan nama sahabat pena saya itu di media sosial. Akhirnya saya menemukannya setelah sekian tahun.

Dia mengenali saya dan kami berbincang-bincang sejenak lewat DM. Hingga kini kami masih tetap berteman di media sosial. Me-like, komen, dan melihat story layaknya teman lainnya. Namun rasanya berbeda, ketika saya membaca tulisannya di DM atau di kolom komentar dengan tulisan-tulisannya di surat.

Kadang saya begitu rindu ingin menulis surat pada seseorang dan saya kangen merasakan perasaan bahagia saat menerima sebuah surat. 

Sebuah ritual wajib ketika menerima surat: mengelus-elus amplop, mencium bau lem yang ditempelkan di perangko, membuka amplop pelan-pelan, ketawa cekikikan sendiri saat memegang surat, lalu ngomong sendiri saat membaca suratnya.

Ah, menyenangkan sekali saat-saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun