Mohon tunggu...
Reni Nuraini
Reni Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hai saya Reni Nuraini seorang mahasiswa IPB University program studi komunikasi digital dan media saya memiliki hobi membaca dan saya menyukai konten yang mengandung komedi dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harmoni Dua Zaman : Ketika Gamelan Bicara Digital

31 Mei 2025   20:48 Diperbarui: 31 Mei 2025   20:55 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah derasnya arus globalisasi, dunia terus bergerak tanpa menunggu siapa pun. Teknologi berkembang, budaya meluas, dan batas-batas geografis semakin memudar. Namun di tengah hiruk-pikuk modernitas, suara gamelan tetap bergema halus, sakral, dan dalam. Ia adalah warisan yang menolak dilupakan.

Gamelan bukan hanya alat musik. Ia adalah identitas. Ia hidup dalam upacara, dalam tarian, dalam doa dan hening. Setiap denting bonang, setiap gema gong, menyimpan nilai, filosofi, dan sejarah panjang. Di balik iramanya, terkandung napas peradaban yang telah ada sejak berabad-abad lalu.

Namun kini, ia menghadapi ujian. Bukan karena kehilangan makna, tapi karena kehilangan ruang. Generasi muda lebih akrab dengan beat elektronik, dengan nada-nada sintetis yang lahir dari komputer, bukan dari logam yang ditempa tangan manusia. 

Musik tradisional seperti gamelan mulai tergeser ke pinggir, dianggap usang, hanya pantas tampil di museum atau acara seremonial. Tapi apakah warisan budaya hanya ditakdirkan untuk dikenang, bukan untuk hidup?

Dalam perubahan zaman, ada yang mencoba bertanya: mungkinkah gamelan dan musik modern bisa berjalan bersama? Mungkinkah harmoni kuno berpadu dengan denyut digital? 

Pertanyaan ini tidak muncul dari keinginan untuk mengganti tradisi, melainkan dari hasrat untuk menghidupkannya kembali di hati generasi yang berbeda.

Dan di sanalah muncul sebuah jalan baru eksperimen yang mempertemukan dua dunia yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.

Awalnya, pertemuan itu kaku. Gamelan dan musik elektronik seperti dua bahasa yang berbeda. Irama mereka bertabrakan, ketukan mereka tidak saling mendengar. Gamelan hadir dengan kehati-hatian dan keheningan; EDM datang dengan ledakan dan ritme cepat. Seperti dua orang asing yang mencoba berbicara, tapi belum menemukan kata yang sama. Namun musik, sejatinya adalah bahasa universal. Ia menembus batas, selama kita mau mendengarkan.

Mereka yang mencoba menyatukan keduanya mulai mengutak-atik suara. Gong dimasukkan sebagai elemen transisi. Bonang diolah menjadi loop pengiring. Kendang dipakai sebagaipenguat ketukan. Suling sunda melayang-layang di atas nada-nada elektronik, menjadi nafas lembut di tengah kepadatan suara digital. Pelan-pelan, lahir harmoni baru. Gamelan tidak kehilangan jiwanya. Ia hanya memakai baju yang berbeda.

Namun seperti semua perubahan, langkah ini tidak selalu diterima. Ada yang marah. Ada yang mencibir. “Gamelan itu sakral, jangan diubah seenaknya,” kata sebagian. “Ini bukan modernisasi, ini pengkhianatan,” ujar yang lain. Di media sosial, banyak yang menganggapnya sebagai bentuk ketidakhormatan pada budaya leluhur.

Kritik datang, terutama dari mereka yang mencintai gamelan dengan cara lama. Tapi bagi sebagian lainnya, ini adalah peluang. Sebuah upaya agar gamelan tidak hanya hidup di panggung-panggung formal, tapi juga di dalam playlist anak muda, di festival musik lintas genre, bahkan di headphone generasi yang tak pernah menyentuh bonang seumur hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun