Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ulos dan Mangulosi pada Masyarakat Batak Toba (Sebuah telaah Filosofis Kekayaan Kebudayaan Masyarakat)

18 Oktober 2021   09:41 Diperbarui: 18 Oktober 2021   09:47 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemberkatan Perkawinan (Dok.Pri)

1. Pengantar

         Setiap kebudayaan memiliki berbagai kegiatan adat, tradisi, ataupun karya seni yang mengekspresikan kebudayaan itu sendiri. Melalui berbagai sarana ekspresi itu, masing-masing kebudayaan menyalurkan nilai-nilai tradisional yang dianut oleh kebudayaan itu. Nilai-nilai itu merupakan kepribadian dari kebudayaan itu sendiri yang khas dan berbeda dengan kebudayaan lainnnya. 

Dalam masyarakat Batak, Ulos merupakan salah satu perwujudan dari pengekspresian nilai yang dianut oleh masyarakatnya sendiri. Mangulosi merupakan salah satu bagian acara yang ada di hampir semua kegiatan kebudayaan (acara adat). Mangulosi terdapat dalam adat perkawinan, adat orang meninggal, dan berbagai acara adat lainnya. Acara adat Batak tidak pernah lepas dari mangulosi[1].

         Suatu sarana ekspresi yang tidak terlepaskan dari berbagai acara adat tentulah mengandung nilai-nilai filosofis yang sangat melekat dengan kebudayaan yang dimaksudkan. Nilai-nilai itu pastilah sangat kaya dan urgen.

         Penulis akan mengkaji nilai-nilai yang diekspresikan lewat ulos dan mangulosi pada masyarakat Batak Toba. Demi keterfokusan, penulis membatasi pembatasan mengenai ulos. Penulis hanya akan sedikit membahas tentang berbagai variasi ulos, dan penjabaran penggunaan dalam kegiatan/pesta adat.

2. Ulos dan Mangulosi

        Menurut Kamus Budaya Batak Toba karya M. A. Marbun, ulos merupakan kain adat yang ditenun dalam masyarakat Batak. Ulos juga berarti kain yang digunakan untuk melindungi dan menghangatkan tubuh. Sedangkan mangulosi adalah menyelimuti atau memberikan dan menyerahkan kain Ulos dalam acara adat.

         Asal-usul kata ulos menurut para leluhur orang Batak berasal dari sebuah cerita kuno. Pada dahulu kala dikatakan ada seorang anak yang merasa kedinginan hingga menggigil dan mengerang sambil mengeluarkan suara mirip huruf 'u' panjang, "Uuuu...". Lalu melihat anaknya menggigil, ibu dari anak itu mengambil selembar kain tenunan dan menyelimuti anak itu. 

Setelah menerima kain itu sang anak berkata, "Las" yang berarti panas/hangat. Namun karena ucapan bersambung antara erangan menggigil dan seruan hangat tadi maka terdengar seperti "Uuuu... Las". Maka kain yang dipakai untuk mengahagatkan tubuh itu disebut ulos.

          Menurut pandangan masyarakat Batak ada tiga hal yang mendasar agar seorang dapat hidup yaitu, darah, nafas dan panas. Darah dan nafas merupakan anugerah yang diterima langsung dari Allah pada tubuh manusia sendiri, sedangkan panas tidak. Panas diperoleh manusia dari lingkungan dan alam sekitarnya. 

Pada siang hari matahari merupakan sumber panas yang dibutuhkan oleh semua mahluk hidup termasuk manusia sendiri. Sedangkan pada malam hati tidak terdapat matahari. Sementara itu para leluhur Batak merupakan penghuni dataran tinggi sehingga memiliki suhu yang relatif lebih dingin, khususnya pada malam hari. Karena itu orang Batak harus mengusahakan agar tubuhnya tidak kekurangan panas.

         Dalam pandangan adat Batak, sumber panas pun ada tiga yaitu, matahari, api dan ulos (sebagian sumber menyatakan empat, ditambah dengan  bambu duri yang ditanam mengelilingi kampung batak) . Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa matahari hanya terdapat pada siang hari. 

Sementara itu api dipandang sebagai sumber panas yang kurang stabil dan dapat melukai dan membawa bahaya. Meski demikian api diakui sungguh sangat berguna juga. Ulos dianggap berbeda dengan kedua sumber panas itu. 

Ulos dipandang  sebagai sumber panas yang paling stabil karena tidak tergantung pada waktu (siang atau malam) juga tidak membawa bahaya dan melukai. Selain itu ulos memberi panas yang menentramkan perasaan (yang dimaksudkan ialah kehangatan)[2]. Panas dari ulos memiliki unsur kebahagiaan, dan tidak pernah meyiksa dan meyakiti. 

          Dalam masyarakat Batak tidak terdapat perbedaan jelas antara panas dan hangat. Dalam bahasa Batak Toba keduanya mengunakan kata 'Las'. Namun arti 'Las' sendiri tidak hanya berkaitan dengan suhu. 'Las' juga berarti senang, bahagia, dan tentram ('Las Roha'). Bagi masyarakat Batak bukan hanya tubuh yang membutuhkan kehangatan. 

Bahkan tondi atau roh/jiwa lebih membutuhkan kehangatan agar dapat hidup sebagai manusia yang penuh. Kehangatan tondi diperoleh melalui relasi yang baik dengan para kerabat, para sahabat dan kenalan[3]. Inilah yang mendasari falsafah kekerabatan masyarakat Batak yang dikenal dengan istilah dalihan na tolu (Tiga tungku/pilar).

          Ulos yang dahulu dikenal sebagai sumber kehangatan, kini telah menjadi salah satu unsur yang sangat fundamental dalam acara adat. Karena itu dapat dikatakan bahwa ulos yang dikenal pada awalnya dan ulos pada jaman sekarang jelas berbeda dengan ulos sekarang. 

Selain itu meskipun ditinjau pada acara-acara adat, ulos jaman sekarang dan ulos terdahulu juga telah banyak mengalami perrubahan. Perubahan pada ulos ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan manusia juga. Kemajuan teknologi, ketersediaan bahan-bahan kimia sintesis tentu sangat mempengaruhi perkembangan ulos jaman kini.

Memberi Makan (Dok.Pri)
Memberi Makan (Dok.Pri)
3 Ulasan Fisik Ulos

         Benang merupakan bahan utama yang digunakan untuk membuat ulos. Benang yang digunakan berasal dari tanaman kapas. Kapas yang telah menjadi benang itu kemudian diberi warna. Pada masa lampau, proses mewarnai benang dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan alamiah. Contoh bahan alamiah tersebut,  adalah daun nila, akar tumbuhan, atau rumput-rumputan. 

Namun sering dengan perkembangan zaman proses tradisional seperti itu telah langka dan jarang sekali dilakukan. Saat ini proses mewarnai benang secara modern dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan pewarna buatan/ sintetis. 

Penggunaan bahan sintesis ini memberi manfaat seperti pemakaian warna menjadi bervariasi, waktu pembuatannya lebih efektif dan singkat serta daya tahan warna tergolong lebih tahan lama, sekalipun demikian pada dasarnya pewarnaan benang secara tradisional memmiliki kualitas warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan sintetis.

        Ditinjau dari fisiknya, ulos memiliki tiga bagian penting yang memiliki makna dan nilai masing-masing. Ketiga bagian penting itu adalah hapal, Sitoru Rombu, dan Ganjang. Hapal berarti ketebalan ulos. Kain yang tebal akan memberikan kehangatan bagi yang memakainya. Demikian pula  Hapal bermakna bahwa ulos memberikan kehangatan kepada pemakainya. 

Sitoru Rombung berarti jumlah rambut-rambut yang berada di ujung ulos. Jumlah rambut-rambut itu mewakili banyaknya ramhat yang diterima atau rahmat yang mau diberikan melalui ulos. 

Dalam perkawinan misalnya, rambut-rambut pada ujung ulos mewakili doa dari pemberi ulos agar mempelai mempunyai banyak keturunan (dalam filosofis orang batak dikenal "banyak anak banyak rejeki"). Ganjang berarti panjang ulos. Dengan ganjang mau diungkapkan doa agar dipenerima ulos memperoleh umur yang panjang.

4. Nilai-Nilai filosofis Ulos dan Mangulosi 

        Mangulosi merupakan salah satu cara mengekspresikan kehangatan kekerabatan. Pemberian ulos atau mangulosi merupakan wujud kasih sayang. Hal ini tertuang dari falsafah Batak yang berbunyi, "ijuk pangihot ni hodong, ulos penghit ni holong" yang artinya 'ijuk pengikat pelepah pada batang, dan ulos pengikat kasih sayang antara sesama'. Maka ulos merupakan lambang dari keharmonisan, kesatauan dan keeratan relasi dengan orang lain[4].

        Selain itu ulos juga merupakan lambang sekaligus pengungkapan rasa empati dan seperasaan dengan kerabat. Saat seorang mengalami kejadian buruk dan kesusahan, ulos dijadikan tanda turut berbelasungkawa dan turut merasakan kesusahan. Saat dalam kebahagiaan, ulos juga dipakai sebagai tanda turut merasakan kebahagiaan. 

Ikatan perasaan juga ditunjukkan keinginan agar orang yang dikasihi memperoleh hal-hal yang baik, Demikianlah ulos juga dijadikan lambang doa, berkat, dan dukungan kepada orang lain. Hal ini misalnya terdapat dalam acara pernikahan dimana ulos diberikan kepada pengantin sebagai bentuk doa dan dukungan oleh para kerabat.

        Pemberian ulos juga dapat berarti memberi perlindungan. Dalam hal ini, kehangatan ulos dianggap berasal dari pemberi ulos. Maka saat ulos diberikan, itu berarti juga memberikan kehangatan untuk mereka yang diulosi. Dan kehangatan yang diberikan merupakan lambang perlindungan. Ulos juga dipakai dalam ritus keagamaan. Parmalim sebagai agama tradisional Batak menggunakan ulos sebagai pakaian untuk beribadat. 

Ulos dianggap membantu seseorang dapat sampai pada hal yang ilahi[5]. Saat agama parmalim semakin jarang ditemukan oleh masuknya agama-agama besar sepet kristen, ulos juga tetap dipakai. Corak ulos dipakai dalam pakaian-pakaian liturgi dan beberapa kain-kain liturgi lainnya. 

        Dalam perkembangan, makna ulos dan mangulosi sebagai sumber kehangatan tubuh perlahan berkurang dan bahkan ditingalkan. Mangulosi bukan lagi dimaksudkan untuk menghangatkan tubuh melainkan lebih mewakili makna menghangatkan tondi si penerima. Kata kehangatan sendiri dalam falsafah Batak menunjuk kepada keadaan dimana seseorang berada dalam kemakmuran, ketentram, kesuksesan dan berlimpah berkat dalam hidupnya. Karena itu dengan mangulosi, seseorang mendoakan, merestui dan memohonkan kemakmuran, ketenteraman, kesuksesan dan limpahan rahmat bagi orang yang diulosi. Dengan doa restu serta berkat itu maka kehidupan seseorang akan menjadi lebih baik.

         Selain dalam kaitan seorang manusia Batak dengan kerabat dan  orang lain, ulos juga memiliki nilai spiritual dan magis tersendiri dalam dirinya. Karena itu sesungguhnya sejak dalam proses pembuatan, ulos sudahlah merupakan hal yang sakral. Pada jaman dahulu seorang penenun ulos harus memperhatikan dengan benar soal ukuran, desain dan waran ulos yang akan dibuat. 

Selain itu selama pembuatan ulos, seorang penenun harus menjalani pantang dan puasa. Seperti halnya mahluk hidup dan alam, ulos juga memiliki tondi[6]. Setiap ulos melekat dengan nilai dan unsaur spiritual sesuai dengan jenis dan karakternya masaing-masing (akan dibahas di bagian selanjutnya, "jenis dan karakter ulos"). Karena itu pemberian ulos dalam acara adat haruslah sesuai dengan sahala (roh) yang ingin diberikan dengan ulos itu.

5. Beberapa Jenis dan Karakter Ulos

          Dalam masyarakat Batak terdapat beragam jenis ulos. Pembagian ulos sendiri dapat ditinjau dari berragam kriteria. Ulos dapat digolongkan berdasarkan fungsinya, kelas (tingkatan) ulos, nilai ekonomis dan lain sebagainya. Meski demikian penggolongan itu umumnya saling mempengaruhi dan berhubungan satu sama lain. Menurut fungsi dan penggunaanya, ulos dalam masyarakat batak toba setidaknya ada empat puluh lima jenis. Sebagian besar jenis ulos itu telah jarang ditemukan dan digunakan, misalnya ulos Jugia Saolo Pipot, Sirampat, Jungkit dan banyak lagi. 

Dalam suatu acara adat, pihak-pihak yang mangulosi akan memberi jenis ulos yang berbeda satu sama lain. Perbedaan jenis ulos yang diberikan ini bukanlah tanpa suatu dasar. Strata sosial dalam masyarakat tidak menjadi penentu jenis ulos yang diberikan seseorang. Perbedaan ulos yang diberikan setiap pihak dalam suatu acara adat ditentukan oleh posisi dan kedudukannya dalam acara adat tersebut. 

Misalnya dalam suatu pesta pernikahan, seorang yang berkedudukan sebagai tulang (paman) akan memberikan jenis ulos yang berbeda dengan orang lain yang berkedudukan lain. Oleh sebab itu seorang yang sama, akan memberi jenis ulos yang berbeda pada setiap pesta yang dihadirinya.

        Berikut penulis menguraikan beberapa karakter ulos ditinjau dari tingkatan ulos dalam pandangan masyarakat Batak.

  1. Ulos Ragi hidup: Ulos ini merupakan ulos yang memiliki derajat paling tinggi dibanding ulos lainnya. Dipandang secara fisik, ulos ini merupakan ulos yang memiliki tingkat kerumitan yang  tinggi, dan menggunakan bahan-bahan berupa benang-benang berkualitas baik. Jika dipandang, maka akan terlihat hidup-hidup dan lebih indah. Karen itu pula maka secara ekonomis, nilai jual ulos ini sangat tinggi. Dalam acara adat, ulos ini dipakai sebagi ulos pargomgoman yaitu ulos yang diberikan oleh orang tua dari pengantin perempuan kepada ibu dari pengantin laki-laki dalam adat pernikahan. Pemberian ulos ini sebagai wujud doa agar ibu dari pengantin laki-laki dapat membimbing, menemani, dan melindungi menantunya yang akan tinggal bersamanya. Sebab dalam tradisi Batak, sepasang pengantin yang baru menikah akan tinggal bersama orangtua dari pihak laki-laki. Selain itu ulos ini juga dipakai sebagai ulos tondi yaitu ulos yang diberika orang tua kepada putrinya yang sedang menikah. Pemberian ulos ini sebagai bentuk doa agar kelak wanita itu dapat melahirkan, dan membesarkan ank-anaknya. Ulos ini juga dapat diapai sebagai ulos parlinggoman yaitu ulos yang diberikan kepada seorang pemimpin masyarakat. Dalam hal ini biasanya digunakan ulos yang berwarna gelap yang melambangkan keteduhan (linggom) yang hendaknya dapat diberikanntya kepada masyarakat yang dipimpinnya.
  2. Ulos Ragi Hotang: Kata Hotang berasal dari rotan, sebuah tanaman berduri yang elastis dan sulit untuk dipatahkan. Ulos ini juga sebenarnya termasuk kedalam ulos yang berderajat tinggi. Namun tingkat kerumitan dalam pembuatannya tidak seperti Ragi Hidup. Karena itu nilai ekonomisnya juga tentu juga lebih rendah. Dalam penggunaanya, ulos ini diberikan kepada orang yang dianggap berpengetahuan picik, agar kiranya diberi kebijaksanaan. Ulos ini juga diberikan agar seseorang dapat memberikan hasil yang baik dalam pekerjaannya. Dalam upacara kematian ulos ini juga banyak digunakan, termasuk acara mangongkal holi (pemindahan tulang belulang ke kukuran yang baru). Dalam adat perkawinan, ulos ini dapat digunakan sebagai ulos pasamaot (diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada bapak dari pengantin laki-laki agar kiranya mendapat keuntungan/rahmat dari pernikahan anaknya.
  3. Ulos sibolang: Ulos yang derajat lebih rendah dari dua jenis ulos yang telah diuarikan sebelumnya. Pembuatannya juga lebih sederhana. Awalnya disebut sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa untuk mabulangbulangi, menghormati orang tua penggantin perempuan; untuk mengulosi ayah pengantin lelaki sebagai ulos pansaniot. Dalam suatu pesta perkahwinan, dulu juga terdapat kebiasaan memberikan ulos sibolang oleh orang tua pengantin perempuan kepada menantunya sebagai ulos bela (ulos menantu. Pemberian ulos ini dimaksudkan agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman semarga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua kerabat pihak isteri; dan lemah lembut terhadap keluarganya. Ulos ini juga diberikan kepada seorang wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya, sebagai tanda menghormati jasanya selama menjadi isteri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung; dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda.

         Selain ulos-ulos yang disebutkan diatas ada terdapat beberapa jenis ulos lainya, yaitu: ulos ragi botik, ragi angkola, sirata, silimatuho, holean, sinar labu-labu. Masing-masing ulos memiliki karakter dan fungsi masing-masing.

6. Ulos pada Jaman Kini serta Refleksi Kritis Penulis

         Secara umum pemakaian ulos dalam kegiatan adat masyarakat Batak belum tergantikan. Sebuah pesta adat yang resmi tidak pernah bisa lepas dari ulos dan mangulosi. Penulis menduga alasan hal ini ialah bahwa makna yang diekspresikan ulos dan mangulosi memang belum dapat digantikan oleh barang-barang lain. Selain itu acara adat sangat melekat dan identik dengan acara mangulosi. Jika sebuah acara adat dilaksanakan tanpa ulos maka acara tersebut kemungkinan besar dianggap tidak sah.

        Pada jaman ini, pengenalan akan ulos semakin digalakkan sebagai usaha untuk mempertahankan kekayaan kebudayaan. Corak Ulos sendiri disadari sangat khas dan memiliki keindahan. Kini Ulos dan coraknya yang khas dipakai dalam berbagai karya-karya tekstil lainnya. Namun sayangnya pengenalan akan ulos yang sedemikian bukanlah pengenalan yang benar. Sebab pengenalan yang sedemikian tidak mewakili nilai-nilai yang sesungguhnya ingin diekspresikan lewat ulos. Pengenalan akan ulos yang sedemikian lebih mengarah kepada segi estetika belaka, sementara nilai-nilai filosofisnya ditinggalkan.

        Penurunan pengahayatan akan nilai ulos juga terjadi dalam acara adat sendiri. Ulos kerap dianggap hanya sebagai pemenuhan kewajiban adat. Selain itu ulos juga cenderung dinilai dari segi ekonomi dan keindahan. Karena itu terkadang ada komentar akan ketidaklayakan ulos yang diberikan pada acara-acara adat tertentu.

         Penulis menilai nilai-nilai luhur masyarakat Batak yang diekspresikan lewat ulos itu sendiri kini perlahan luntur dalam praktek kehidupan harian. Nilai luhur berupa kasih sayang dan perhatian kepada sesama dalam kenyataanya juga memang telah mengendur. Perlahan tuntutan pemenuhan kebutuhan sendiri, dan kemandirian yang dihayati dengan kurang tepat menggantikan nilai sosial. Bahkan hubungan keharmonisan dengan para kerabat sebagai salah satu faktor yang menentukan kebahagiaan dan kepenuhan seorang manusia Batak sudah tidak lagi kentara. Seorang manusia Batak tidak lagi dapat berharap banyak pada relasi dengan kerabat. Nilai keharmonisan itu terganjal individualime dan egoisme yang merambat setiap manusia.

         Seperti telah diuraikan sebelumnya, sesungguhnya ulos sebagai salah satu ekspresi kepribadian Batak memiliki nilai-nilai luhur yang sangat baik. Sebagai manusia sosial, keharmoniasan relasi dengan sesama memang layak untuk diperhatikan. Curahan kasih sayang dan perhatian pada sesama yang juga diwakilkan lewat ulos tentulah sangat baik.

        Ulos yang kini dikembangkan menjadi berbagai karya tekstil yang unik dan memiliki nilai seni dan ekonomi yang tinggi seharusnya mampu menjadi benteng agar nilai-nilai luhur tadi dapat dipertahankan dari gerusan jaman, bukan malah menghilangkannya.  Karena itu usaha untuk mempertahankan serta  memperkenalkan ulos kepada dunia, adalah usaha yang sangat baik dan positif. 

Namun penulis berpendapat bahwa hendaknya pengenalan akan ulos tidak hanya menyangkut ulos secara fisik. Pengenalan akan ulos hendaklah juga menyentuh nilai-nilai filosofis yang luhur yang ada pada ulos. Sebab ulos pada hakekatnya bukanlah hanya sebuah kain penghangat tubuh namun juga penghangat jiwa. Ulos bukanlah terutama kain yang memiliki nilai estetika dan ekonomi ataupun suatu instrumen yang wajib ada dalam acara adat, namun lebih merupakan curahan kepribadian dari kebudayaan masyarakat Batak.

7. Kepustakaan/Catatan Kaki

[1] TM. Sihombing, Filsafat Batak: tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 42.

[2] Humalak Simanjuntak SH, Kekristenan dan Adat Budaya Batak dalam Perbincangan, (Jakarta: Kerukunan Masyarakat Batak, 2001) hlm. 37.

[3]TM. Sihombing, Filsafat Batak..., hlm. 44.

[4] Jaulahan Situmorang, Penuntun Adat Praktis. (Pemantangsiantar: (tanpa penerbit), 1965.) hlm. 56.

[5]TM. Sihombing, Filsafat Batak..., hlm. 47.

[6] Jaulahan Situmorang, Penuntun Adat..., hlm. 56.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun