Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

'Harta Karun' Nusantara yang Terlupakan

5 Oktober 2025   14:08 Diperbarui: 5 Oktober 2025   14:08 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sirna Ilang Kertaning Bumi adalah sebuah sengkalan yang dikaitkan dengan tahun runtuhnya Majapahit. Sirna berarti lenyap, Ilang berarti hilang, Kertaning berarti kemakmuran atau hasil dari sebuah pencapaian, Bumi memiliki artian yang sama maknanya dengan bumi jawa dan nusantara meskipun digunakan sebagai 'simbol yang melambangkan sebuah peristiwa besar' supaya terkesan lebih indah didengar. Ketika disusun secara harfiah akan membentuk angka 0041 yang ketika dibalik menjadi Tahun 1400 Saka. Nah, ternyata ada yang mengartikan lebih jauh lagi, yakni lenyapnya seluruh simbol kemakmuran kerajaan paling besar se-Nusantara, termasuk di dalamnya adalah istana-istana yang megah, bangunan-bangunan bersejarah yang besar, serta hal-hal lainnya yang bisa jadi terkubur di dalam tanah. Pernahkah ada yang bertanya, kerajaan sebesar Majapahit mengapa tidak bisa kita lihat lagi bukti kemegahannya?

Zaman keemasan Nusantara dimana hampir seluruh wilayahnya tunduk pada satu kekuasaan, bahkan sampai ke sebagian wilayah Filipina, Malaysia, Brunei, hingga Thailand, merupakan zaman dimana Majapahit berkuasa. Upeti selalu rutin dibayarkan ke Pemerintah Pusat yang berada di tanah Jawa, yang jumlahnya pastilah tidak sedikit. Dari sini kita perlu melihat bagaimana budaya masyarakat Jawa dan nusantara zaman dahulu, apakah mereka suka membuat bangunan yang besar dan megah? Hal ini akan membantu menjawab bagaimana tradisi kerajaan di Jawa dan Nusantara pada zaman dahulu, dan jawabannya adalah iya. Selain Candi Borobudur yang bisa menunjukkan kemegahan budaya masa lalu, Kompleks Candi Muaro Jambi yang disinyalir berasal dari zaman keemasan kerajaan Sriwijaya juga dapat menjadi buktinya.

Berdasarkan analisis para ahli, Kompleks Candi Muaro Jambi adalah pusat pendidikan tertua di Asia Tenggara. Keberadaannya sebagai institusi pendidikan lebih awal dibanding universitas tertua di Eropa, yakni Universitas Bologna di Italia, yang berdiri pada tahun 1088 Masehi. Universitas Muaro Jambi juga sezaman dengan Universitas Nalanda di India (abad ke-5 hingga ke-12 Masehi), yang dikenal sebagai pusat pembelajaran ilmu pengetahuan sekuler dan ajaran Buddha. Bahkan, di kompleks Candi Nalanda yang terletak di Bihar, India, terdapat sebuah bangunan yang merupakan sumbangan dari Raja Sriwijaya Balaputra Dewa. Lalu di mana bukti-bukti kemegahan Majapahit?

Sirna Ilang Kertaning Bumi, sengkalan ini diartikan oleh sebagian budayawan sebagai 'kode' bahwa 'harta karun' itu sengaja dilenyapkan dari atas muka bumi. Lebih jauh, lenyapnya segala bentuk kemegahan itu diartikan oleh mereka bahwa 'harta karun' itu terkubur di dalam bumi pertiwi. Entah berapa banyak dari kita yang sekilas membaca berita-berita penemuan 'sekedar' koin emas dan perhiasan di zaman Mataram atau bahkan Majapahit. Penemuan-penemuan itu meski masih diklasifikasikan sebagai hal yang 'sepele' menunjukkan bahwa masih ada 'harta karun' yang lebih besar yang bisa ditemukan di bawah sana, termasuk diantaranya adalah bukti kemegahan di zaman Majapahit. Situs Gunung Padang lalu menjadi kunci untuk membuktikan teori ini.     

Situs Gunung Padang yang berlokasi di Cianjur, Jawa Barat, terdiri dari empat 'lapisan budaya' yang berarti menunjukkan empat lapis peradaban yang berbeda pula. Hal ini berarti masing-masing lapisan itu dibuat atau dihasilkan dari peradaban dan budaya yang berbeda-beda. Lapisan pertama yang berada di permukaan sampai dengan kedalaman 2 meter menunjukkan budaya pada masa sekitar 500 Tahun Sebelum Masehi. Lapisan kedua merupakan hasil kebudayaan yang lebih tua, yang menurut peneliti bisa sampai 5.900 Tahun Sebelum Masehi. Lapisan ketiga dan keempat tentu lebih tua lagi, yang kata peneliti, merupakan hasil kebudayaan dan peradaban pada 10.000 Tahun Sebelum Masehi atau bahkan lebih lama lagi. Nah, hal ini membuktikan bahwa peradaban-peradaban di Nusantara memang terkubur di dalam bumi, dan hal ini terjadi sejak lama, dibuktikan dari lapisan yang ada di Gunung Padang.

Apa yang dilakukan Kekaisaran Qin, dinasti yang pertama kali berhasil menyatukan Tiongkok bisa saja menjadi alternatif yang menjelaskan kenapa terjadi demikian? Dinastinya menghancurkan dan mengubur berbagai prasasti, buku-buku, hingga cendekiawan, sehingga tidak ada lagi yang tersisa dari masa lalu. Sejarah kemudian harus dimulai dari dirinya, dinastinya, di sinilah peradaban yang sesungguhnya itu berawal. Keegoisan tersebut mungkin ditujukan supaya tidak ada lagi yang memunculkan ideologi dari masa lalu yang bisa memecah belah Cina di masa depan. Namun sayang, kejayaan peradaban di masa sebelumnya jadi tidak pernah bisa ditelisik lebih jauh lagi. Apalagi jika para peneliti ingin menyelidiki era sebelum banjir besar yang penuh dengan peradaban dan hasil budaya yang lebih mengagumkan, seperti halnya piramida Mesir.

Hilangnya seluruh kemegahan Majapahit diteorikan lenyap tertelan oleh bumi, yang itu dilakukan dengan sengaja. Motifnya mungkin tidak sama dengan apa yang dilakukan dinasti Qin di Cina, beberapa budayawan menilai bahwa dikuburkannya kemegahan hasil kebudayaan Majapahit dilakukan untuk melindunginya. Datangnya penjajah dari tanah Eropa ke bumi Nusantara yang terjadi bertahap dan ketidaksiapan generasi muda Nusantara untuk menerima 'kekayaan budaya' itu ditengarai menjadi penyebabnya. Datangnya Islam ke tanah Jawa dan seluruh penjuru Nusantara kemudian mempersatukannya ke dalam peradaban Islam, yang harus mendapat tekanan berat dari 'kebudayaan barat' yang berasal dari penjajah. Para penjajah ini juga dikhawatirkan akan menjarah, memeperjualbelikan dan merusak seluruh kemegahan dari peradaban Majapahit, oleh karena itu generasi yang ada pada saat itu bersepakat terhadap Sirna Ilang Kertaning Bumi, yang dalam hal ini diartikan sebagai tindakan untuk menyelamatkan.

Dua hal yang perlu untuk dijaga waktu itu, pertama Islam yang masih 'muda' dan belum mengakar kuat di masyarakat dan kedatangan penjajah dari luar. Namun demikian, Islam yang masih 'muda' itu lama kelamaan pasti akan menumbuhkan akar yang kuat dan menjadi matang, siap untuk menerima berbagai hal tanpa harus menanggalkan kemurniannya. Sayangnya, 'budaya barat' yang datang dari penjajah justru lebih mendominasi, terutama di tingkat pemerintah dan pejabat, apalagi ideologi sekuler yang kemudian menyingkirkan agama dari kekuasaan. Padahal sejak zaman Sriwijaya hingga Majapahit agama menjadi landasan kekuasaan itu sendiri. Identitas manusia-manusia Nusantara berakar kuat pada keyakinannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.   

Hasil kekalahan pertempuran budaya itu kemudian disusul dengan kemerdekaan yang menghasilkan nama baru, yakni 'Indonesia', yang lebih dekat kepada budaya penjajahnya, bukan dari identitas aslinya di masa lalu. 80 tahun sudah berlalu, kondisi ekonomi yang 'mengikuti' sistem moneter ala barat semakin membuat negeri ini terperosok dalam. Itu tidak disebabkan oleh satu hal yang terisolasi, akan tetapi juga berhubungan erat dengan bentuk politik, yang kemudian membentuk struktur dan bentuk sosial serta budayanya, yang sekali lagi mengikuti 'para penjajahnya'. Sampai detik ini Indonesia belum bisa mengejawantahkan identitas aslinya lagi ke permukaan.

Sudahkah lalu kita merasa merdeka setelah selama ini kita mengira telah 'bebas' dari penjajahan? Bagaimana lalu dengan ideologi kita? Bagaimana dengan kondisi sosial budaya kita? Apakah sudah menunjukkan identitas aslinya ataukah masih terus mengekor terus ekonomi dan politik ala barat? Padahal tak jauh di bawah sana masih tersimpan 'harta karun' yang bisa membawa kembali identitas asli Bangsa Nusantara. Hal, yang jika berada di tangan para pemimpin besar, seperti Hitler misalnya, bisa dipergunakan sebagai narasi bersama untuk kebaikan bangsa. Tujuannya tentu membawa kembali Nusantara ke puncak kejayaannya, seperti dahulu kala.     

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun