Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Segenggam Gandum di Surga

8 Agustus 2025   15:12 Diperbarui: 8 Agustus 2025   15:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gandum. Sumber: freepik.com

                      Hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya, perutku sakit menahan lapar. Bahkan sedari kemarin aku tidak makan apapun dan hanya minum saja. Ada sekedar sup sederhana yang dibuat dari rerumputan liar yang mungkin bisa dijadikan penggangal perut, tapi aku khawatir malah akan membuat tubuh ini sakit nantinya. Begitu pula tubuh anakku yang semakin hari semakin kurus saja, karena tidak makan lama sekali. Duh, aku tidak tahu apa yang harus kulalukan lagi. Ledakan-ledakan itu tidak mau berhenti, meskipun sudah menghancurkan tempat tinggalku dan saudara-saudaraku. Kadang kalau ada yang berhasil membawa jatah tepung gandum dari bantuan yang datang terlambat, aku hanya bisa makan sedikit, sebagian besar kuserahkan kepada anak perempuanku satu-satunya.

            Perang mereka bilang penyebabnya, itulah konsekuensi karena berani melawan manusia-manusia pilihan, yang kuanggap hanyalah kera dan babi. Mereka bahkan tidak menyisakan sepetak tanah pun yang tidak berdebu karena hujaman roket dan peluru tajam yang ngawur membabi-buta. Para pahlawan kami yang pemberani sudah denga gigih berjuang dan melawan penindasan, bertahun-tahun! Bahkan di saat sebagian bangsa kami sendiri bertukar piring dan minuman dengan para penjajah biadab itu! Sayangnya kami dikeroyok dari berbagai penjuru, bahkan oleh mereka yang mengaku sebagai negara super power, yang ternyata tunduk di bawah kaki para penjajah di negeri kami.

            Langkahku berat, tanganku kini menggenggam telapak yang mungil. Anakku, Ufaira, yang telah menuntunku sampai di tempat ini. Tempat orang-orang itu memberi bantuan, biasanya berupa tepung gandum. Aku masih ingat pagi ini wajah Ufaira hampir selalu murung, padahal biasanya ia pergi mencari teman-teman sepermainannya. Wajahnya yang bulat dan rambutnya yang hitam agak sedikit pirang terlihat menjuntai ke bawah karena ia selalu melihat ke tanah. Percakapan tadi pagi masih kuingat dengan jelas.

            "Wahai Ufaira mengapa engkau terlihat sedih dan merenung saja sedari tadi? Bukankah kau biasanya bermain dengan Amani, Hala, Nour, atau Hassan?"

            Ia tidak menjawab, hanya mengambil sepucuk ranting pohon di sebelahnya untuk kemudian digunakannya menggambar sesuatu di atas pasir di bawahnya sambil berjongkok.

            "Carilah mereka dan bermainlah, daripada kau hanya sendiri di sini dan tidak ada teman...," aku berusaha membujuknya.

            Wajahnya masih tersembunyi ketika ia menjawab, "aku sudah tidak melihat mereka semenjak tiga hari yang lalu Abu, Hala juga terakhir kemarin kulihat berjalan ke arah tenda bantuan tapi tak kembali..."

            Aku tertegun, sudah lama sebenarnya tidak mendata satu persatu penghuni di sini, terutama karena kami jarang keluar jauh. Kecuali jika harus mengambil air dan makanan dari tenda bantuan yang berada dekat dengan bukit. Jangan-jangan mereka sudah...

            "Abu, aku lapar..."

            "A...apa? Kau... ya, tentu saja Ufaira, semua di sini lapar. Kita sekeluarga besar di sini, mungkin besok baru kita bisa makan, giliran paman Hanid besok yang akan mengambil makanan dan minuman di tenda bantuan, atau dari reruntuhan di sebelah barat, kurasa kemarin  lalu ada yang berhasil mendapatkan rerumputan dan roti kering di sekitar sana..."

            Wajah Ufaira menatapku, kedua matanya yang jernih seperti menusuk menembus dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun