Aku memegang perutku, tepung gandum terlepas dari tangan kiriku. Aku pun hanya punya satu pikiran, dengan sedikit tenaga yang kupunya kupeluk Ufaira dan kutaruh ia dibawah punggungku. Selama beberapa detik aku merasa ada satu peluru yang mengenai punggung kananku, tapi tidak berhasil menembusnya. Ada yang aneh, aku merasakan cairan hangat di telapak tanganku yang memegang pundak Ufaira. Kedua mataku yang terpejam sesaat tadi ketika bunyi pelatuk-pelatuk itu beriringan memecah keheningan, pelan-pelan kubuka.
      Kulihat Ufaira sudah tidak bernafas, darah keluar dari dadanya yang sebelah kiri. Peluru itu pastilah tepat menembus jantungnyanya. Kurasakan darah mengalir di belakang punggungnya. Aku tertegun melihat putri kesayanganku dan kurasakan mata ini menghangat sebelum bunyi beberapa kali letusan senjata itu kembali terdengar. Badanku sudah tidak kuat, "ya Allah, Laa illa ha Illallah... Muhammadarrasulullah..." Aku membatin, sebelum ajalku benar-benar datang, sambil memeluk Ufaira, Allah pasti akan membalas seluruhnya, dan menghukum Zionis biadab itu nanti, di dunia dan di akhirat.
       Akhirnya gambaran itu pun muncul, entah aku berkhayal atau mungkin sudah bermimpi di tidurku yang terakhir, Ufaira dan ibunya tersenyum kepadaku, keduanya menggenggam gandum di tempat yang sangat indah...
     Â
   Â
   Â
       Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI