"Tidak, ya Abu, aku lapar sekali sekarang..."
      Kubiarkan beberapa tetes air mata keluar dari kedua mataku lagi, sebelum aku mengusapnya. Kuhela nafasku sendiri untuk sekian kalinya, kali ini aku berusaha yakin dan menjawab putriku sepenuh hari.
      "Baik Nak, jika memang itu kehendakmu..."
      Aku memgang dua sisi kepalanya dan menghadapkan kedua matanya kepadaku.
      "Kau tahu konsekuensinya kan?"
      Ufaira sesaat kemudian tersenyum, mungkin senang kalau Ayahnya ini mengiyakan permintaannya yang sederhana, yang sebenarnya adalah salah satu kebutuhannya yang utama.
      "Kita akan makan gandum di Surga, bersama Ummi dan juga teman-temanku mungkin..."
      Air mata itu kini membanjiriku.
      "Ya Abu, jangan menangis, bukankah kau selalu berkata bahwa kita yang benar? Dan mereka yang salah? Jangan pernah takut kecuali kepada Allah!"
      Jawaban itu terdengar ceria, yang sedikit mengejutkanku. Aku pun memeluknya erat saat itu, sebelum kami memutuskan untuk mencoba mengambil tepung gandum yang biasanya disediakan di tenda-tenda bantuan di dekat bukit.
      Dan disinilah aku berada sekarang, memegang dua hal, di sebelah kananku telapak Ufaira yang mungil dan di sebelah kiriku setengah karung gandum. Ufaira terlihat melangkah bersemangat, ia bahkan sesekali menyanyikan sholawat. Matanya kini hampir tak terlihat lesu, meskipun tubuh mungilnya yang kurus masih terasa janggal. Padahal dulu ia terlihat sangat aktif dan berisi, sama seperti teman-temannya yang lain ketika bermain di sela-sela menghafal Al-Quran. Aku sendiri sudah hampir merasa lega karena bisa mengambil bantuan dan menjauh sekitar 300 meter untuk kembali ke tenda-tenda kami di bawah bukit. Lalu suara-suara ledakan itu menghentikan langkahku dan Ufaira.