Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Segenggam Gandum di Surga

8 Agustus 2025   15:12 Diperbarui: 8 Agustus 2025   15:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Tapi aku lapar, ya Abu...," ujarnya polos dan jujur.

            "Aku, tidak bisa menunggu sampai besok..."

Aku menghela nafas, memerhatikan tubuhnya yang semakin kurus, matanya menunjukkan kesungguhan atas apa yang dimintanya barusan.

            "Tapi... Kau tahu kan kalau tidak pasti kita akan mendapatkan makanan? Dan yang lebih mengerikan lagi, bisa jadi mereka menembaki aku nanti jika aku nekad mengambil tepung ke sana!"

            Matanya kembali menatapku, yang kali ini tidak sanggup untuk kuhadapi.

            "Bukankah kita harus berikhtiar, ya Abu?"

            "Ya ampun Nak, tunggulah sampai besok, InsyaaAllah pamanmu akan beramai-ramai ke sana dengan yang lain. Mereka akan datang mengambil bantuan berombongan nanti."

            Wajahnya semakin sedih.

            "Aku tidak mungkin bisa tidur nyenyak malam ini, perutku lapar sekali..."
            Aku lagi-lagi menghela nafas, "jadi kau mau aku ke sana mengambil tepung gandum, lalu ditembaki para penjajah itu? Kau tega sekali! Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi dan aku tidak bisa kembali ke sisimu Ufaira? Siapa yang menjagamu nanti? Ibumu sudah tidak ada!"

            Sejenak suasana hening, tapi mata itu tidak berhenti menatapku, malah kini semakin dekat. Ufaira berdiri lalu berjalan pelan ke arahku, ia merentangkan kedua tangannya dan berusaha meraih leherku. Aku pun jongkok, dan ia lalu memelukku sambil berkata, "bersamaku kalau begitu, ya Abu... Kita ke sana berdua..."

            Aku seakan tak percaya dengan apa yang kudengar barusan, tapi beberapa saat kemudian tanpa kusadari air mata menetes dari kedua mataku yang menghangat. "Astagfirullahaladzim... Tak bisakah kau bersabar, putriku tersayang? Sehari saja?" tanyaku lirih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun