"Tapi aku lapar, ya Abu...," ujarnya polos dan jujur.
      "Aku, tidak bisa menunggu sampai besok..."
Aku menghela nafas, memerhatikan tubuhnya yang semakin kurus, matanya menunjukkan kesungguhan atas apa yang dimintanya barusan.
      "Tapi... Kau tahu kan kalau tidak pasti kita akan mendapatkan makanan? Dan yang lebih mengerikan lagi, bisa jadi mereka menembaki aku nanti jika aku nekad mengambil tepung ke sana!"
      Matanya kembali menatapku, yang kali ini tidak sanggup untuk kuhadapi.
      "Bukankah kita harus berikhtiar, ya Abu?"
      "Ya ampun Nak, tunggulah sampai besok, InsyaaAllah pamanmu akan beramai-ramai ke sana dengan yang lain. Mereka akan datang mengambil bantuan berombongan nanti."
      Wajahnya semakin sedih.
      "Aku tidak mungkin bisa tidur nyenyak malam ini, perutku lapar sekali..."
      Aku lagi-lagi menghela nafas, "jadi kau mau aku ke sana mengambil tepung gandum, lalu ditembaki para penjajah itu? Kau tega sekali! Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi dan aku tidak bisa kembali ke sisimu Ufaira? Siapa yang menjagamu nanti? Ibumu sudah tidak ada!"
      Sejenak suasana hening, tapi mata itu tidak berhenti menatapku, malah kini semakin dekat. Ufaira berdiri lalu berjalan pelan ke arahku, ia merentangkan kedua tangannya dan berusaha meraih leherku. Aku pun jongkok, dan ia lalu memelukku sambil berkata, "bersamaku kalau begitu, ya Abu... Kita ke sana berdua..."
      Aku seakan tak percaya dengan apa yang kudengar barusan, tapi beberapa saat kemudian tanpa kusadari air mata menetes dari kedua mataku yang menghangat. "Astagfirullahaladzim... Tak bisakah kau bersabar, putriku tersayang? Sehari saja?" tanyaku lirih.