Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kesehatan, Prioritas Utama di Atas Menabung (Ekonomi)

22 Juli 2025   13:18 Diperbarui: 22 Juli 2025   21:07 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan lebih utama ketimbang menabung. Ilustrasi freepik.com

Saya ingin berbagai pengalaman hidup semenjak mulai bekerja hingga sekarang, yang seperti kebanyakan orang yang hidupnya pas-pasan, pastilah rajin menabung. 

Lulus dari prodi elektronika dan instrumentasi UGM tahun 2010 (ijazah asli tentunya, peace ^-^) saya kemudian mulai bekerja sebagai pegawai di perusahaan gula yang tidak banyak iklannya sejak dulu, yakni Sugar Group Company. 

Lokasinya berada di Lampung tapi sangat jauh dari wilayah kotanya dan di sini hanya ada kebun tebu yang sangat luas dan 3 pabrik gula besar. 

Ada jalan utama yang panjangnya sekitar 80 km di mana di kanan dan kiri kita hanya bisa melihat kebun tebu saja. Gaji di sini pada awalnya tidaklah begitu besar, mungkin sekitar 10 gram emas kurang lebih jika dinilai dengan harga tukar pada saat itu, tapi kita pasti dapat kenaikan gaji berkala yang tentu lebih cepat dan besar dibandingkan dengan PNS. 

Sayangnya sistemnya masih kontrak yang bisa diperpanjang atau diputus yang akan diperbarui setiap 6 bulan atau 1 tahun sekali (saya lupa tepatnya).

Nah, tentu selama bekerja kita pasti berpikir satu hal yang sama, yakni menabung. Saya sendiri bisa menyisihkan lebih dari 75 persen uang gaji saya kala itu untuk ditabung setiap bulannya dalam jangka waktu dua tahun penuh. 

Yah, pertama karena memang lokasinya yang jauh dari kota sehingga tidak banyak yang bisa kita belanjakan setiap harinya kesuali untuk makan. 

Tempat tinggal dan berbagai fasilitas terutama untuk olahraga (renang, basket, badminton) sudah tersedia, jadi ya tinggal menikmati saja kehidupan asal bisa beradaptasi dengan suasana kerja yang 'cukup disiplin', karena saya akhirnya dipindah ke bagian pabriknya setelah 6 bulan berada di bagian audit.

Namun sayangnya selama menikmati suasana yang jauh dari kota (kadang sabtu minggu lebih sepi lagi karena orang-orang pergi ke kota), saya lupa ada yang lebih penting daripada menabung. 

Tentu saja di akhir pekan kita pasti lebih memilih untuk rebahan dan tidur-tiduran menikmati hari yang tenang didampingi HP satu sekedar menghadap layar kaca. 

Tetapi lama kelamaan kalau tidak dilatih untuk berolahraga, tubuh ini ternyata akan mudah sekali merasa lelah dan gampang terserang penyakit. 

Sering rasanya dulu itu terkena radang tenggorokan (karena asap dan debu di pabrik yang menjadi teman sehari-hari). Bahkan kadang saya suka keterlaluan kalau berhemat, yakni suka men-skip makan siang, padahal kalau warung makan di sana pasti ada dan harganya wajar.

Kadang saya suka meng-gopek buah-buahan yang tumbuh di sekitar housing untuk camilan makan siang secara gratis. Ada jambu air dan mangga di pekarangannya, ada juga rambutan di housing sebelah, jadi boleh dibilang ada banyak pilihan untuk sekedar mengisi perut di waktu siang. 

Bagi saya itu tidak menjadi masalah, karena meski sudah pernah bekerja juga sebagai tentor sewaktu masih kuliah, uang yang didapat sewaktu menjadi pegawai pabrik jauh lebih besar. Sementara angan-angan yang masih muda kala itu melihat rumah dan kendaraan yang bagus, yang diharapkan dapat menjadi milik sendiri di masa depan.

Kalau berbicara dengan data, apa ysng saya lakukan dulu ternyata juga dilakukan oleh banyak orang. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Edenred Japan Co. pada Desember 2024 terhadap 600 pekerja berusia 20--50 tahun menunjukkan bahwa 29,5% responden pernah melewatkan makan siang di hari kerja demi menghemat. 

Dari mereka, 15,3% bahkan melewatkan makan siang 4 kali seminggu atau lebih. Alasan utamanya adalah kekhawatiran terhadap kenaikan harga pangan---sekitar 60% responden merasa "terlalu mahal" untuk makan seperti biasa. 

Sementara itu, survei terpisah oleh Guardian melaporkan bahwa hampir 70% pekerja Jepang menahan diri untuk tidak membeli makanan favorit mereka demi menekan biaya makan siang. 

Alasan yang sebenarnya tidak terlalu berbeda, menekan biaya, tentu untuk menabung bukan? Kecuali kalau memang terpaksa, tapi di Jepang masak iya? 

Tak hanya kerugian pada tenaga kerja yang tidak maksimal dalam bekerja (dari perspektif perusahaan), akan tetapi juga potensi bahaya di masa depan bagi sang pegawai sendiri.

Jadwal pekerjaan yang harus benar-benar disiplin dan cukup menguras tenaga (terutama jika ada trouble di pabrik) mengharuskan saya memiliki stamina dan kondisi tubuh yang selalu fit. 

Itulah yang luput dari perhatian kala itu. Ada kalanya saya ketawa sendiri ketika mengingat rasanya demam berhari-hari dengan radang tenggorokan yang tak kunjung sembuh. Bahkan setelah saya menjaga diri dengan berolahraga sekalipun, saya tetap harus membeli makanan ekstra. 

Meski skipping lunch bisa dilakukan, akan tetapi itu seharusnya disesuaikan juga dengan kebutuhan pekerjaan dan energi yang diperlukan untuk berkegiatan sehari-hari. 

Hal yang kemudian, setelah pindah dari pabrik gula menjadi ASN di BMKG saya sadari sepenuhnya. Ada hal utama yang lebih penting daripada menabung, yang tak lain dan tak bukan adalah kesehatan.

Bahkan orang-orang yang menghasilkan begitu banyak uang sekalipun pada akhirnya bisa jadi akan menghabiskan uangnya itu untuk memperbaiki kesehatannya. Mereka yang semasa hidup berjibaku dengan polusi pasti akan menghabiskan sebagian tabungannya untuk menghadapi masalah paru-paru di waktu tuanya nanti. 

Begitu pula mereka yang selalu begadang setiap hari pasti akan menghabiskan uangnya nanti untuk berbagai masalah kesehatan di waktu tuanya. 

Belum lagi mereka yang memiliki kebiasaan makan tidak terjadwal dan rutin (kecuali puasa) pasti akan menghadapi berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan pencernaan nanti di waktu tubuhnya tak muda lagi.   

Oleh karena itu saat ini saya selalu berusaha memproritaskan kesehatan. Membeli makanan yang lebih baik dan lebih banyak gizinya, meskipun sedikit lebih mahal, berarti berinvestasi untuk kesehatan di masa depan. 

Rajin berolahraga, meski minimal dengan berjalan kaki pulang pergi stasiun kereta setiap berangkat kerja, saya rasakan lebih sehat ketimbang naik kendaraan pribadi setiap bekerja. 

Tubuh juga terasa menjadi lebih stabil karena terus bergerak, apalagi jika jadwal tidur juga teratur (di sini saya agak kurang beruntung karena mendapat gangguan tidur semenjak tahun 2016). Apalagi setelah memiliki anak, pasti waktu tidur kita bersama keluarga juga lebih teratur.

Alhamdulillah pola hidup sehat ini sudah diterapkan semenjak anak saya berusia dua tahun, dan kami sekeluarga merasakan dampak positifnya. 

Istri saya termasuk yang paling disiplin dalam mengingatkan untuk selalu memprioritaskan kesehatan ketimbang ekonomi. Dulu mungkin kami sama-sama memimpikan hidup yang diinginkan banyak orang dan menabung dengan target bulanan tertentu, selalu menghitung berapa pengeluaran dan pemasukan, tapi sekarang prioritas utama adalah kesehatan. Tak ada gunanya menurut saya menimbun harta tetapi rusak kesehatan. 

Banyak hal-hal di luar sana yang secara sederhana dapat kita peroleh tanpa harus mengorbankan kesehatan sendiri, dan bahkan tidak akan bisa kita nikmati jika tidak sehat. 

Sekadar berjalan di taman yang indah serta lapangan yang hijau dengan udara yang segar dilatarbelakangi kicau burung-burung, tidak akan bisa dinikmati saat demam dan meriang, bahkan dengan menggenggam segepok uang sekalipun kan?     

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun