Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ideologi Itu dari Hati

4 Januari 2024   14:12 Diperbarui: 4 Januari 2024   14:36 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

            Aku bertanya kepada rekan-rekanku saat mahasiswa dahulu, apa itu ideologi? Mereka bilang ya macam-macam, ada Pancasila, ada Komunisme, ada Demokrasi, ada Liberalisme, Monarkisme, ada Fasisme, dan banyak sekali macam-macam lainnya. Lalu kulanjutkan pertanyaanku, lalu apa ideologi kalian? Kali ini banyak yang memilih menjawab dengan aman. Kata mereka 'ya Pancasila lah, kan kita hidup di negara Indonesia'. Meskipun banyak juga yang menjawab 'bebas dong, kan kita santai bre, ga usah muluk-muluk, ideologi mah cuma bakal bikin pusing dan nyusahin hidup loe doang'. Dari kesemua jawaban itu ada jawaban terakhir yang disepakati, yakni 'yang penting hidup loe baik-baik aja, bahagia, toh rejeki gak akan ke mana juga kok, asal bisa makan sama tidur enak terus dapet duit banyak mah ideologi udah gak begitu penting lagi'.

            Saya hanya mengangguk-angguk saja mendengarnya, jawaban yang meluncur begitu saja dari para mahasiswa yang masih bebas untuk melakukan sesuatu, berbuat sekehendak hatinya, tanpa mempertimbangkan banyak hal. Meskipun di sisi yang lain mereka juga merupakan manusia yang kritis akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitulah kebanyakan mahasiswa, di saat-saat yang genting dan sensitif baru bergerak maju ke depan, sedikit lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat biasa.

Baca juga: Perempuan Mulia

            Berbeda halnya jika pertanyaan di atas saya tanyakan ke rekan-rekan kantor yang bekerja sebagai Abdi Negara. Rata-rata dari mereka pasti menjawab 'so pasti Pancasila bro, gak mungkin yang lain laa' atau 'NKRI harga mati' meskipun mereka juga tak benar-benar mengerti apa maksudnya. Tapi jawaban-jawaban itu adalah jawaban yang saya tanyakan kembali kepada mereka yang dahulu pernah menjadi mahasiswa. Kini, jawaban itu telah berubah, entah karena mereka ikut-ikutan tren, takut didengar pejabat dan penguasa, atau hanya sekedar mencari aman saja. Tak bisa dibantah memang jawaban-jawaban itu memang paling cocok pada situasi dimana mereka bekerja saat ini.

            Lalu pernahkah ada yang bertanya apa ideologi yang sedang kuikuti? Apakah aku hanya mengikuti orang-orang kebanyakan? Atau aku mengikuti sebuah konsep yang telah diajarkan sebelumnya lewat bangku sekolah, di rumah, atau di lingkungan tempat aku tinggal? Atau dari buku yang memberikanku pencerahan sehingga aku menjalani keseharianku seperti sekarang ini? Bangun pagi memikirkan tagihan, siang memikirkan penghematan, dan mau tidur pun tak bisa lupa akan hutang.

            Apakah yang kulakukan dalam keseharianku benar-benar berasal dari pikiran dan hatiku sendiri atau ia banyak dipengaruhi oleh keadaan di luar diriku? Yang akhirnya hanya akan memperbudakku, menjadikan aku tak lagi menjadi manusia merdeka. Selalu bergantung kepada hal-hal yang tak penting, pikiranku bahkan tak bisa bebas berkelana, memikirkan bagaimana aku seharusnya.

           

Baca juga: Pesan Kehidupan

            Rata-rata dari manusia memang diperbudak oleh kebutuhannya sendiri, yang sayangnya sangat bergantung kepada gaya hidup. Gaya hidup di era modern ini terlalu banyak menuntut manusianya, jika, hanya jika pikiran dan hatinya terjebak di buruknya ilusi hidup di era modern. Alat komunikasi misalnya, menjadi sesuatu yang wajib, bahkan dengan merk tertentu yang harus menjadi miliknya. Beberapa yang menjadi korban bahkan menjual sesuatu yang berharga yang menjadi miliknya hanya demi 'gaya hidup' itu tadi. Bahkan yang terparah, manusia-manusia yang gagal berpikir itu menjual ginjalnya sendiri sehingga menyisakan hidupnya penuh penderitaan hanya demi memenuhi 'gaya hidup'. Nah, ideologi apa lalu yang dianutnya?

            Kebanyakan orang sebenarnya tak jauh berbeda kisahnya dengan mereka yang mengorbankan berbagai hal demi apa yang mereka inginkan dan harapkan. Namun yang perlu dicermati adalah berapa nilai yang akan mereka dapatkan dengan mengorbankan sesuatu yang sebenarnya tak ternilai harganya? Buat apa coba kalau harus cuci darah setiap hari hanya demi mendapatkan i-phone jenis terbaru? Mungkin mereka malah harus menjualnya demi membayar kebutuhan akan kesehatannya yang terus memburuk dari hari ke hari.

            Kedua, batasan sampai mana mereka akan berkorban juga akan berbeda-beda. Seseorang mungkin akan dengan cepat menjual organ tubuhnya sendiri, tapi di lain tempat ada pula yang tanpa ragu menumbalkan orang lain termasuk keluarganya sendiri. Rata-rata dari mereka melakukannya sekalgi lagi hanya demi 'gaya hidup' yang selalu menuntut tersedianya harta yang berlimpah. Boleh dibilang mereka belum selevel para elite pemerintah dunia, yang mengorbankan orang-orang tak bersalah untuk menguasai dunia.

            Ideologi apa kalau begitu yang dianut orang-orang itu? Yang bisa segera melihat dengan jelas tentu langsung menjawab Hawa Nafsu. Karena hawa nafsu menjadi yang paling mereka agung-agungkan sedangkan hawa nafsu tersebut keadaannya sedang tertipu. Tertipu oleh keadaan di sekitarnya, oleh uang mainan, oleh keindahan sementara, tertipu oleh 'gaya hidup' yang menjadi tren dan sesuatu yang wajar atau bahkan mungkin dinilai menurut pandangan sosial 'wah' jika dipenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun