Sebagai salah satu pengguna aktif X (dulu Twitter), ada sebuah fenomena yang sering menjadi perhatian saya. Ia bernama Menfess. Bayangkan: seseorang mengirim pertanyaan atau curhatan secara anonim kepada sebuah akun, lalu akun tersebut mempublikasikannya secara otomatis dan terbuka kepada pengikut akun tersebut. Dari sana, ratusan atau bahkan ribuan orang---yang tidak pernah mengenal si penanya---akan memberi pendapat, saran, validasi, bahkan komentar pedas. Hal ini menurut saya unik. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa kita seringkali lebih percaya pada jawaban dari orang asing, ketimbang mencari terlebih dahulu secara mandiri, atau mendengar kata hati sendiri, ataupun bertanya langsung pada orang-orang terdekat. Lalu muncul pertanyaan berikutnya: kenapa bisa begitu? Apakah memang kita lebih percaya stranger dibandingkan diri sendiri? Apakah memang ada yang sedang kita cari lewat kolom balasan Menfess ini?
Sekelumit pertanyaan itu sebenarnya terjawab dengan sifat dasar media sosial X (dulu Twitter) itu sendiri, yakni kecepatan interaksi. Kita hidup di era serba instan, dimana kecepatan menjadi semacam "mata uang" baru. Bahkan mungkin terkadang, saat kita sedang gelisah atau ragu hati, kita ingin jawaban yang secepat mungkin. Kita ingin solusi atas kekhawatiran kita saat ini juga. Mengirim direct message (DM) ke akun Menfess lalu mendapatkan beragam balasan dalam hitungan menit atau bahkan detik tentu dipandang lebih praktis ketimbang harus menelusuri sendiri atau menunggu balasan chat dari teman atau keluarga. Namun, kecepatan saja tidak cukup untuk membuat orang nyaman berbagi. Ada satu unsur lain yang membuat Menfess terasa aman untuk membuka pertanyaan atau curhatan yang mungkin sulit disampaikan di dunia nyata: anonimitas.
Unsur anonimitas dalam penyampaian pertanyaan pun dipandang membuat si pengirim pertanyaan merasa lebih aman di medium Menfess. Saat ada pertanyaan yang dipandang "tabu" dalam masyarakat, identitas yang tersembunyi ini memberi ruang bagi tetap "berbicara". Kita pun tidak perlu takut dihakimi karena orang-orang ini bahkan tidak tahu siapa kita. Bahkan, dibandingkan fenomena second account, menfess terasa lebih "netral": tidak membawa jejak digital pribadi, tidak memuat riwayat interaksi, dan sepenuhnya dapat fokus pada isi pertanyaan, bukan siapa yang bertanya. Dan justru di ruang yang anonim dan netral inilah, kejujuran seringkali lebih mudah muncul. Orang dapat merasa bebas berkata apa adanya, tanpa takut menyinggung atau merusak hubungan.
Di era yang penuh validasi, kita dapat merasa lebih "jujur" karena masukan ataupun pandangan datang dari orang asing. Mereka tidak punya kepentingan. Mereka tidak berkewajiban menjaga perasaan kita. Orang-orang ini juga tidak sedang menjaga hubungan baik dengan penanya. Bagi mereka, cukup menanggapi informasi atau jawaban seperlunya lalu beranjak. Hal ini pun memang akan menimbulkan "bias" karena fenomena ini menyebabkan banyak orang lebih percaya strangers dalam kolom menfess ketimbang nasihat orang-orang terdekat.
Dalam konteks Menfess ini, dunia digital mengubah cara kita berbicara dan merespons. Fenomena Menfess ini selaras dengan istilah Online Disinhibition Effect yang diperkenalkan oleh John Suler. Suler menjelaskan bahwa kecenderungan orang untuk lebih terbuka, berani, bahkan jujur saat berinteraksi secara daring, khususnya ketika identitas mereka tidak terungkap. Dalam ruang seperti Menfess, tidak hanya penanya yang dilindungi, para pemberi jawaban pun dapat merasa bebas menyampaikan apa saja tanpa takut konsekuensi sosial di dunia nyata secara langsung kepada penanya.
Memahami bahwa orang dapat lebih lepas bicara secara anonim hanyalah satu sisi cerita. Ada pertanyaan yang lebih dalam: kenapa kita lebih percaya pada orang asing ketimbang diri sendiri? Memang, Menfess ini dapat dipandang sebagai ruang diskusi kolektif. Orang dapat bertanya untuk mendapatkan sudut pandang baru. Namun tidak jarang, kita mungkin sebenarnya sudah jawabannya yang kita mau, tapi kita hanya butuh orang lain berkata: "iya, kamu benar."
Kecenderungan untuk mencari suara yang sejalan dengan apa yang sudah kita yakini ini ternyata punya dasar. Konsep validasi ini dikenal sebagai self-verification theory yang diperkenalkan oleh Swann. Ia berpendapat bahwa manusia cendering mencari konfirmasi eksternal atas keyakinan dirinya, bahkan saat keyakinan itu negatif sekalipun. Kecenderungan ini membuat diri kita lebih nyaman. Konfirmasi eksternal ini pun dapat membuat "keberadaan" kita lebih stabil. Saat kita ragu, kita cukup butuh orang berkata "iya" agar kita merasa lebih yakin.
Pencarian validasi eksternal ini pun memiliki sisi gelapnya. Saat kita terlalu sering mengandalkan validasi eksternal, lama-kelamaan kita pun dapat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap intuisi diri. Kita dapat semakin meragukan insting "hewani" kita. Kita akan mulai berpikir bahwa keputusan diri sendiri tidak akan pernah cukup, kecuali sudah disetujui ratusan akun random di kolom reply. Pertanyaan dari hal ini adalah apakah ini merupakan bentuk krisis percaya diri kolektif dalam masyarakat kita yang lahir dari media sosial?
Lalu, apakah jawaban stranger lebih netral ketimbang keluarga atau teman terdekat? Kita memang membutuhan jawaban objektif. Kebutuhan ini pun terkadang datang dari jawaban orang yang tidak mengenal kita. Keluarga kita dan teman kita mungkin akan "bias". Teman kita cenderung membela kita karena mereka mengenal kita. Keluarga kita pun memberikan saran berdasarkan nilai mereka, bukan berdasarkan kebutuhan kita. Sementara stranger? Mereka tidak tahu latar belakang kita seingga jawabannya dapat sepenuhnya berasal dari rasionalitas maupun pengalaman pribadi mereka.
Di sinilah yang membuat Menfess menjadi ruang digital yang aneh tapi netral. Sebuah tempat ini kita tidak mencari kedekatan emosional, melainkan pandangan baru. Dan orang-orang yang "singgah" pun biasanya tidak terlalu peduli apakah relasi dengan penanya lanjut atau tidak. Mereka cukup menyampaikan pendapat dan pandangan lalu kembali menjalani kehidupan maya mereka. Hal ini pun turut memberikan pertanyaan lain: seberapa besar kita membutuhkan objektivitas ketimbang kasih sayang? Karena memang keputusan hidup idealnya diambil berdasarkan logika sekaligus perasaan. Jawaban dari Menfess ini bukan hanya tentang benar atau salah, tapi tentang bagaimana meredakan kegelisahan kita.