Sebetulnya, pola pencarian pendapat dari orang yang tidak kenal ini bukanlah hal baru. Kita tentu pernah mendengar pepatah "malu bertanya, sesat di jalan." Dulu, mungkin kita dapat bertanya alamat pada orang asing di jalan. Dulu, mungkin pula kita dapat bertukar cerita dengan stranger yang duduk sebelah kita di transportasi publik. Dulu, hal itu lumrah, dan anehnya, bercerita dengan orang tidak mengenal kita memberikan rasa aman. Beban dalam hati pun dapat "mereda" sesaat. Tapi kini, semua itu pindah ke dunia digital. Yang membedakan sekarang adalah bahwa sekarang kita bisa mendapat lebih banyak respons dalam waktu yang lebih cepat.
Pandangan ini relevan dengan weak-ties theory yang diperkenalkan oleh Mark Granovetter. Ia mengungkapkan bahwa hubungan yang lemah, seperti dengan orang asing, seringkali justru lebih efektif dalam menyampaikan informasi baru atau perspektif segar dibandingkan strong-ties seperti dengan keluarga atau sahabat yang sudah terlanjut punya bias atas hidup kita. Dalam konteks ini, Menfess menjadi wujud konkret dari teori tersebut: kita lebih mudah mendapat insight baru dari orang yang tidak mengenal kita karena mereka tidak terjebak dalam sejarah kita.
Meski begitu, keterbukaan terhadap pandangan baru dari orang asing perlu membuat kita waspada akan risikonya. Saat kita terlalu sering bertanya kepada orang asing, kita dapat menjadi "candu validasi". Lama kelamaan, kita dapat berhenti percaya akan keputusan sendiri. Kita dapat menjadi memiliki pandangan bahwa keputusan kita baru "sah" jika sudah diamini oleh banyak orang. Hal ini pun lantas dapat membuat kita terjebak dalam konsep yang disebut decision fatigue---kelelahan dalam membuat keputusan karena terlalu banyak opsi, terlalu banyak suara, terlalu banyak pertimbangan.
Lantas, bagaimana kita dapat berdamai dengan validasi eksternal? Mungkin jawabannya sederhana: menfess bukan jawaban, demikian pula selalu bertanya pada stranger. Menfess hanyalah cermin. Ia memberi kita pandangan alternatif, tapi keputusan tetap ada di tangan kita. Kita dapat bertanya, boleh mendengar, namun lebih baik lagi saat hidup kita sepenuhnya masih dalam kendali kita dan bukan "milik" orang-orang yang ada dalam kolom reply.
Pada akhirnya, tidak ada yang salah dengan Menfess. Terkadang kita hanya butuh teman virtual, walau tidak kenal nama. Namun, jangan sampai kita lupa: keputusan terbaik bagi diri kita seringkali berasal dari yang sebenarnya sudah kita yakini itu benar. Bukan dari yang paling banyak dipilih orang lain ataupun bukan dari yang tidak disepakati oleh mayoritas orang. Di antara balasan ribuan balasan Menfess, semoga kita tetap bisa mendengar suara hati sendiri. Sebab stranger mungkin tetap dapat memberikan saran, tapi yang menjalani tetaplah diri kita sendiri.
Referensi:
- Mark Granovetter, The Strength of Weak Ties, American Journal of Sociology, 78(6), 1973, 1360--1380.
- John Suler, 2004, The Online Disinhibition Effect, CyberPsychology & Behavior, 7(3), 2004, 321--326.
- William Swann, Self-verification: Bringing social reality into harmony with the self, Psychological Perspectives on the Self, 2, 1983, 33--66
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI