Hidup kita saat ini bergantung pada sandang, pangan, papan, dan data. Semuanya berbeda tapi seakan semakin saling mendahului untuk dipenuhi. Kita bisa lupa membawa dompet, tapi tidak pernah lupa membawa gawai. Kita bisa menunda makan siang, tapi tidak bisa menunda story yang harus segera tayang. Saat ini, semacam ada urgensi baru: jejak digital kita harus selalu hadir. Kita mungkin berpikir bahwa hidup akan berakhir saat nafas terakhir dihembuskan. Namun hari ini, kematian tidak lagi semata tentang tubuh yang tiada—karena setelahnya diri kita menjadi arsip dan arsip itu hidup lebih lama dari kita. Di dunia maya, ada “kehidupan” kedua: bukan sebagai manusia yang bernafas, tetapi sebagai data yang tidak kunjung padam.
Dunia maya, perlahan tapi pasti, menjadi kuburan digital. Foto-foto kita, tulisan-tulisan kita, tanggapan, komentar, dan bahkan candaan kecil yang pernah kita unggah di suatu hari—semua itu tetap hidup, mengendap dalam sistem, bahkan saat kita sudah tiada. Facebook punya fitur kenangan. Google menyimpan riwayat kita bertahun-tahun. Cloud menyimpang backup tentang siapa kita, bukan hanya apa yang kita punya. Kita tidak mati secara total. Namun, kita berubah wujud: dari tubuh menjadi data, dari suara menjadi jejak, dari kehadiran menjadi arsip.
Barangkali, itulah paradoks terbesar hari ini: kita makin rajin merekam hidup kita sendiri, tanpa sadar bahwa setiap unggahan adalah langkah menuju keabadian. Selfie yang tampak biasa, unggahan makan siang, atau foto perjalanan yang kita bagian hari ini—bisa jadi akan tetap ada bahkan saat kita sudah tiada. Lingel, seorang peneliti media dan komunikasi, menyebut fenomena ini sebagai digital remains—peninggalan digital yang membentuk warisan diri, baik secara sadar maupun tidak. Apa yang dulu hanya ditulis di batu nisan, kini terpahat dalam algoritma—dan ia bisa terus muncul, dibaca, bahkan dikomentari ulang, lama setelah pemiliknya pergi.
Kita tidak sekadar berbagi. Kita mengarsipkan diri sendiri. Media sosial telah menjadi “panggung” dimana kita menata, menyeleksi, dan memamerkan momen-momen yang ingin dikenang—sekaligus menghapus yang tidak. Ini bukan hanya soal identitas hari ini, tetapi juga bagaimana kita ingin dilihat esok hari.
Fenomena ini telah dikaji dalam berbagai studi teknologi dan psikologi modern. Istilah digital afterlife menjadi bagian penting dari diskusi tentang identitas dan duka. Penelitian oleh Brubaker, Hayes, dan Dourish menunjukkan bagaimana media sosial, seperti Facebook, menjadi ruang baru bagi ekspansi kematian—orang-orang terus berinteraksi dengan akun yang sudah tidak hidup, menciptakan semacam kehadiran kedua setelah kematian.
Di sisi emosional, kehadiran digital dapat memberikan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, seolah mereka masih bisa “berkomunikasi” dengan orang yang telah pergi. Namun, di sisi lain, ini juga bisa memperpanjang proses berduka . Gibson, seorang sosiolog budaya , menyebutnya sebagai bentuk techologically mediated mourning—berduka dalam bayang-bayang teknologi, dimana kematian menjadi kabur. Alih-alih melepaskan, kita justru terhubung, terus mengulang, dan terus dihadapkan pada kehadiran yang tidak lagi hidup, namun juga belum benar-benar hilang.
Dalam dunia hukum dan etika, kondisi ini memunculkan pertanyaan besar. Siapa pemilik jejak digital seseorang setelah kematian? Apakah kita berhak menghapusnya? Atau justru kita terjebak dalam ketakutan akan dilupakan sehingga terus membiarkan semua itu tetap online? Viktor Mayer-Schönberger, dalam bukunya Delete: The Virtue of Forgetting in the Digital Age, berargumen bahwa kemampuan untuk melupakan adalah bagian penting dari kebijaksanaan manusia—dan dunia maya yang tidak mengenal lupa adalah ancaman bagi kemanusiaan itu sendiri.
Kini, dengan hadirnya teknologi kecerdasan buatan yang bisa menciptakan “ghostbots”—yakni chatbot yang ditenagai oleh data mendiang untuk terus berinteraksi dengan keluarga yang masih hidup—dunia digital makin menegaskan ambisinya terhadap “keabadian” manusia. Tapi, apakah kita siap untuk hidup selamanya dalam bentuk yang bahkan tidak bisa kita kendalikan?
Sungguh ironis. Di masa lalu, manusia ingin dikenang. Hari ini, kita tidak hanya dikenang, tetapi juga kita tidak pernah benar-benar pergi. Jejak digital kita tetap “hidup” di linimasa teman lama, di hasil pencarian, di notifikasi perangkat. Kita hidup sebagai tautan. Kita diabadikan oleh algoritma.