Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Tentang Olahraga Kekinian: Saat Keringat Butuh Terlihat

13 Juli 2025   05:00 Diperbarui: 13 Juli 2025   05:03 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lanskap ini, keringat pun harus tampil cantik. Ia tidak lagi sekadar hasil kerja tubuh, tapi juga menjadi bagian dari produksi konten. Sudut foto diatur sedemikian rupa. Pose dipilih agar tetap  bugar meski sebenarnya kelelahan. Kamera menjadi alat seleksi sosial: mana momen yang layak dipertontonkan dan mana yang hanya perlu disimpan di "gallery" ponsel. Dalam dunia yang dikurasi, bahkan kelelahan pun harus tampil menarik. Karena yang tidak sempat difoto, seolah tidak pernah benar-benar terjadi.

 

Tubuh pun kini tidak hanya menjadi alat penggerak atau penghasil keringat. Ia pun menjadi lahan simbolik yang perlu terus dikurasi. Niat awal yang mungkin hanya untuk sekadar hidup sehat pun dapat tergeser saat olahraga berubah fungsi menjadi panggung pertunjukan. Keringat yang seharusnya membawa kelegaan dan kesegaran, pun sekarang dapat menjadi acuan perbandingan. Tidak jarang, rasa puas setelah berolahraga pun tergantikan oleh pertanyaan: "Poseku tadi sudah layak gak ya untuk diposting?"

 

Menariknya, Padel ini bukan hanya populer karena seru atau menyehatkan. Ia juga membawa citra tertentu. Tarif sewanya tidak murah, perlengkapannya estetik, dan lokasinya pun sering berada di kawasan strategis dan elit. Ini mengingatkan pada konsep conspicuous consumption yang diperkenalkan oleh Thorstein Veblen. Konsep ini menekankan pada perilaku konsumsi yang bertujuan untuk menunjukkan status sosial. Dalam hal ini, tubuh menjadi "display" dari modal sosial: sehat, estetik, dan berkelas. Olahraga bukan lagi soal kemampuan atau kebutuhan fisik, tapi tentang bagaimana olahraga tesebut dapat mengangkat atau mempertahankan posisi sosial kita dalam struktur yang diam-diam tetap hirarkis. Maka tidak heran, padel dapat menjadi paspor kultural baru---yang menentukan siapa yang layak masuk dalam percakapan dan siapa yang hanya bisa menonton dari kejauhan.

 

Fenomena olahraga kekinian seperti ini bukanlah yang pertama kali. Sejak era pandemi, kita telah menyaksikan tren olahraga yang silih berganti. Mulai dari sepeda lipat Brompton, kelas PoundFit, komunitas lari, Pilates, hingga kini Padel. Setiap tren dan jenis olahraga membentuk narasinya masing-masing. Ada yang dipandang sebagai pelarian dari pandemi, ada yang dipandang sebagai pelampiasan pencitraan, ada pula yang murni keseruan dan kolektivitas yang menyenangkan. Namun demikian, fenomenanya memiliki benang merahnya: olahraga di era digital bukan lagi sekadar aktivitas fisik, melainkan bagian dari narrative building. Aktivitas tubuh kini bersinggungan dengan identitas, gaya hidup, dan rasa ingin diakui.

 

Pertanyaannya sekarang: apakah keinginan untuk terlihat saat berolahraga adalah sesuatu yang salah? Tidak selalu. Keinginan emosional tersebut pun valid. Hal ini kembali pada nature manusia sebagai mahkluk sosial yang memang ingin terkoneksi dan ingin diakui. Validasi sosial pun menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Terlebih di era digital ini, validasi itu tidak hanya dicari dalam percakapan langsung, tapi juga lewat likes, views, ataupun komentar positif. Namun, yang perlu diwaspadai adalah ketika orientasi berolahraga bergeser terlalu jauh dari kesehatan tubuh itu sendiri. Saat tubuh tidak lagi menjadi ruang pemulihan kesehatan, tapi menjadi ladang konten. Karena sejatinya, tubuh adalah rumah---tempat kita kembali saat semua sorak sorai digital telah usai.

 

Barangkali kita dapat berhenti sejenak. Merenungkan kembali---bukan untuk menyalahkan tren, melainkan untuk senantiasa mengamati. Apakah kita berolahraga karena ingin sehat, ingin merasakan senang, atau hanya sekadar karena takut ketinggalan? Apakah kita masih merasakan tubuh kita benar-benar bergerak atau kita justru sibuk memastikan angle kamera sesuai keinginan dan memastikan hasil tangkapan kamera tidak blur? Olahraga seharusnya tetap menjadi ruang pulang bagi tubuh. Tempat dimana kita dapat mendengar nafas kita sendiri, bukan hanya suara notifikasi. Tempat dimana keringat jatuh bukan karena ingin ditonton, tapi menjadi ukuran bahwa tubuh sedang bekerja untuk hidup yang lebih baik. Karena mungkin yang kita butuhkan adalah keheningan yang menyembuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun