Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Ruang Tunggu: Satu Tempat, Banyak Arah

7 Juni 2025   05:00 Diperbarui: 6 Juni 2025   14:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ruang tunggu (sumber: AI-generated picture)

Dalam dunia yang terus bergerak, kita pun menjadi manusia yang akrab dengan perjalanan. Bus, kereta, pesawat—semuanya membawa kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun, sebelum perjalanan itu dimulai, ada momen yang tidak kalah penting: saat menunggu. Di ruang tunggu, kita duduk berdampingan dengan orang-orang yang belum tentu kita kenal. Tiap orang membawa ceritanya sendiri, harapannya sendiri, dan tujuannya sendiri. Kita berbagi ruang, udara, dan pengumuman yang sama—tapi tidak semuanya menuju tempat yang sama. Barangkali, memang hidup seperti ini: satu ruang tunggu, beda tujuan.

 

Seperti halnya di ruang tunggu itu, hidup pun sering mempertemukan ktia dalam kebersamaan sementara. Namun, kesamaan tempat bukanlah berarti kesamaan arah. Ruang tunggu mengingatkan kita bahwa hidup membawa banyak pada titik pertemuan yang serupa. Kita bisa tumbuh di rumah yang sama, di sekolah yang sama, ataupun berkarya di kantor atau usaha yang sama. Namun, setiap orang tetap punya panggilan hidupnya sendiri. Viktor Frankl pun menyebut bahwa setiap individu memiliki “makna personal” yang tidak dapat digeneralisasi terhadap orang lain. Dalam ruang kebebasan tersebut, kita memilih arah kita sendiri. Saat pengumuman “boarding” itu tiba—baik dalam hidup maupun dalam kesempatan yang datang—kita diajak melangkah dengan penuh harapan.

Namun, perjalanan hidup jarang berjalan linier. Selalu ada jeda-jeda yang menjadi bagian penting dalam proses tersebut—ruang antara yang lama dan yang baru. Di terminal, stasiun, maupun bandara, tidak ada yang benar-benar menetap. Semua hanya singgah, sebelum akhirnya menuju tujuannya masing-masing. Inilah yang disebut oleh Victor Turner, seorang Antropolog, sebagai liminal space—ruang antara dua fase, tempat dimana kita belum sepenuhnya “pergi”, tapi juga kita belum sampai. Banyak hal dalam hidup terjadi di Ruang Tunggu: transisi pekerjaan dan bisnis, jeda pasca dukacita, atau hanya sebuah momen kontemplatif setelah lulus kuliah.

Di ruang-ruang inilah, justru kita kerap dihadapkan pada pelajaran yang tidak tertulis. Dalam ruang ini, kita belajar menunggu, belajar menata ulang, dan akhirnya belajar melepaskan. Melepaskan, dalam konteks ini, bukanlah tanda menyerah. Ia justru menandakan keberanian untuk meninggalkan kenyamanan, rasa aman, ataupun kebersamaan semu—demi sesuatu yang belum pasti. Melepaskan di sini merupakan tindakan aktif: sebuah langkah maju meskipun belum tahu apa yang akan menanti.

Namun, dalam proses melepaskan itu, ada satu pelajaran penting yang sering menguji kita: menerima bahwa perjalanan setiap orang berjalan dengan waktunya sendiri. Saat ini, mungkin di antara kita ada yang sedang merasa “tertinggal” dalam hidup. Melalui postingan media sosial, kita dapat melihat teman-teman kita seolah sudah “terbang” lebih dulu—menikah, promosi, sekolah di jenjang lebih tinggi, pindah ke luar negeri, memiliki hidup yang lebih nyaman bagi kita. Di saat yang sama, kita mungkin masih berada di tempat yang sama. Dalam situasi seperti ini, barangkali kita perlu menyadari: “bahwa saya sedang menunggu pesawat yang berbeda.” Carl Rogers, seorang tokoh psikologi humanistik, menekankan pentingnya actualizing tendency—bahwa setiap orang memiliki dorongan batin untuk berkembang menjadi versi dirinya yang paling otentik. Dalam dunia yang sering menilai berdasarkan “boarding pass” sosial—gelar, jabatan, dan pencapaian—kita butuh keberanian dan keteguhan hati untuk meyakini bahwa kita sedang menunggu panggilan pesawat kita sendiri dan kita tahu kemana kita pergi. Dan itu sudah cukup. Kita tidak perlu selalu memilih penerbangan yang sama dengan kebanyakan orang.

Di tengah perjalanan pribadi itu, kita juga diingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang arah kita sendiri, tetapi juga bagaimana kita berbagi ruang dengan orang lain. Tak semua pertemuan perlu diikat oleh kesamaan arah. Ruang-ruang di terminal, stasiun, maupun bandara menghadirkan metafora serupa. Hubungan antarmanusia tidak selalu terhubung secara mendalam. Di ruang tunggu, kita tidak perlu saling bertanya “mau pergi kemana?”—karena yang terpenting adalah kita berada di ruangan itu dengan sopan dan saling menghormati. Kadang, cukup dengan saling menyapa, memberi senyum, atau mungkin berbagi daya dalam powerbank sampai hampir habis. Tidak semua orang ditakdirkan untuk berjalan bersama. Beberapa hanya ditakdirkan untuk saling menemani meski hanya sejenak.

Ruang tunggu juga menyimpan pelajaran lain—tentang waktu dan tentang bagaimana kita menghadapinya. Hal lain yang menarik dari ruang tunggu: kita tidak tahu siapa yang akan dipanggil lebih dulu. Bisa jadi seseorang yang baru masuk ke ruang tunggu malah naik pesawat duluan. Situasi ini mengingatkan akan betapa waktu dan ketidakpastian berjalan di luar kendali kita. Zimbardo dan Boyd, dalam bukunya The Time Paradox, menjelaskan bahwa waktu tidak selalu bisa diprediksi. Hal ini menuntut kita untuk belajar fokus pada apa yang bisa kita kendalikan—kesiapan diri. Kita mungkin bisa melihat jam keberangkatan kita dalam tiket yang kita pegang, tapi kita tidak pernah tahu kapan “panggilan boarding” kehidupan itu datang—entah untuk kesempatan baru, tanggung jawab baru, atau mungkin akhir dari perjalanan itu sendiri. Justru karena itulah, setiap momen di ruang tunggu—dan dalam hidup—layak dijalani dengan penuh kesadaran dan kesiapan.

Di samping belajar menghadapi waktu, ruang tunggu juga mengajarkan kita pelajaran lain—tentang hidup berdampingan dalam perbedaan. Duduk dalam ruang tunggu pun mengajarkan: kebersamaan tidak harus identik dengan keseragaman. Justru dalam keberagaman arah kita bisa belajar saling memahami pilihan tujuan orang lain. Kita tidak harus berada dalam satu pesawat untuk duduk berdampingan dengan damai. Dalam konteks kehidupan sosial, perbedaan arah, pilihan, dan nilai bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk saling belajar. Sama seperti di bandara: tidak perlu tahu semua tujuan penumpang, cukup saling menghargai agar ruang tunggu tetap nyaman.

Pada akhirnya, saat pengumuman boarding memanggil, kita pun berdiri, melangkah menuju gate keberangkatan. Kita mungkin mendahului orang yang masih menunggu giliran mereka untuk dipanggil. Kita pun tidak tahu kemana tujuan mereka. Namun, yang pasti, tiap kita membawa harapan, rencana, meski teriring rasa gugup dalam tiap langkah. Dan itulah hidup: satu ruang tunggu—beda tujuan. Semua sedang menuju sesuatu yang mereka yakini layak diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun