Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Tentang Menjadi Bawahan: Antara Realitas, Loyalitas, dan Ruang Bertumbuh

15 Mei 2025   05:00 Diperbarui: 15 Mei 2025   04:41 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia kerja, tidak semua orang bercita-cita menjadi pemimpin. Namun, hampir semua orang, pada suatu titik dalam karirnya, akan menjadi bawahan. “Bawahan” pun kerap kali diucapkan dengan nada minor. Bawahan seakan-akan menjadi pihak “yang lebih diam”, “yang lebih mengalah”, atau bahkan “yang harus tahu diri”. Padahal, menjadi bawahan adalah satu posisi strategis yang tidak kalah penting dalam pergerakan dan pertumbuhan suatu organisasi.

Akan ada masa dalam hidup ‘bawahan’ saat ia merasa sangat kecewa pada tempatnya bekerja. Ada orang yang kecewa karena gajinya, ada pula yang kecewa karena beban kerjanya. Namun, tidak banyak yang kecewa karena harapan-harapannya tidak pernah kesampaian selama bekerja di kantor tersebut. Hal ini membuat semua kerja keras dan loyalitas—yang awalnya terlihat dihargai—namun semua berakhir dalam kekosongan. Dalam kehampaan. Layaknya sebuah hubungan yang berada dalam situasi “cinta yang bertepuk sebelah tangan”. Organisasi berjalan seperti mesin tua yang sudah hafal rutenya, atasan hanya terfokus pada kursi dan jabatannya—semua seakan tidak butuh bensin tambahan berupa inisiatif bawahan.

Masyarakat Indonesia memang sangat menjunjung tinggi nilai hormat kepada yang lebih tua ataupun lebih tinggi secara struktural. Namun, dalam dunia kerja—terutama dalam birokrasi ataupun sektor publik—seringkali hal itu menjelma menjadi kekakuan yang menumpuk. Di Indonesia, menjadi bawahan kerap dianggap sebagai posisi yang “menunggu perintah”. Dalam banyak organisasi di Indonesia, lazim ditemukan relasi antara atasan dan bawahan yang masih dipengaruhi hubungan hierarkis. Atasan dianggap sebagai  figur yang tidak hanya berkuasa dalam keputusan kerja, tetapi juga memegang otoritas moral dan sosial.

Pertanyaannya sekarang adalah: benarkah menjadi bawahan berarti harus tunduk tanpa suara? Bagaimana kita seharusnya mengelola ekspektasi terhadap organisasi dan atasan agar tidak terjebak dalam kekecewaan yang diam-diam menggerogoti motivasi?

Saat penulis memulai pekerjaan di sebuah kantor, seorang staff senior langsung menegaskan katanya “kamu di sini tidak perlu pintar, tidak perlu banyak ngomong. Mending kayak saya aja. Hidup santai.” Di hari pertama saja, saya langsung “dihajar” dengan realita yang ada. Berbeda dengan pengalaman seorang teman di kantor lain dimana dia diingatkan “Kalau di sini, etika harus dijaga. Jangan kebanyakan bicara. Ikuti saja pimpinanmu.” Kawan saya itu ditegur bukan karena pendapatnya salah, tapi karena di-‘cap’ terlalu vokal di hadapan pejabat senior.

Budaya kerja di Indonesia pun kental dipengaruhi oleh struktur sosial yang menghormati hierarki. Penelitian Hofstede (2010) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki skor Power Distance yang tinggi. Power distance ini diartikan sebagai hubungan atasan-bawahan cenderung vertikal dan formal. Hal ini menggambarkan bahwa menjadi masyarakat Indonesia sering terbiasa dengan jarak kekuasaan: atasan bicara, bawahan mendengar. Akibatnya, banyak pekerja merasa sungkan atau bahkan takut menyampaikan kritik atau inisiatif.

Dalam konteks organisasi, hal ini berdampak pada relasi yang kurang egaliter. Masih banyak karyawan yang enggan menyampaikan masukan karena khawatir dianggap lancang. Padahal, organisasi justru dituntut menjadi lebih partisipatif, kolaboratif, dan terbuka pada inisiatif dari semua lini. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidak semua organisasi—dan tidak semua atasan—siap dengan dinamika ini. Hal ini pun berujung pada dilema bagi bawahan: ingin berkembang, tapi takut menyuarakan diri. Ingin berkontribusi, tetapi merasa tidak punya tempat.

Dalam relasi keseharian antara atasan-bawahan, mungkin sering ditemukan pernyataan “di sini kami menghargai kerja keras dan memberi ruang untuk berkembang,” atau “kantor kita ini mengedepankan meritokrasi, siapa yang layak, dia akan didorong untuk promosi.” Pernyataan-pernyataan ini dapat membentuk ekspektasi besar dalam benak karyawan. Si bawahan pun bekerja keras, loyal, maupun rela lembur tanpa kompensasi tambahan. Namun, berjalannya waktu, Sang bawahan pun mulai merasa kecewa—bukan karena upah semata, tapi karena janji yang ia pandang tidak ditepati oleh atasan, oleh organisasi. Atasan pun hanya mengutamakan kepentingannya. Organisasi hanya mementingkan berjalannya sistem tanpa memedulikan orang-orang yang mengawal berjalannya sistem tersebut.

Dalam banyak kasus, kekecewaan itu bukan selalu karena organisasi bersikap tidak adil. Kadang-kadang, yang keliru justru adalah ekspektasi awal yang dibentuk  oleh karyawan. Kita seringkali membayangkan organisasi sebagai tempat ideal yang akan memenuhi semua kebutuhan kita: ruang belajar, pemimpin inspiratif, sistem yang adil. Saat realita tidak seindah harapan, yang muncul hanya rasa dikhianati.

Di sinilah pentingnya mengelola ekspektasi. Menjadi bawahan bukan berarti pasrah. Tapi juga bukan berarti menuntut segala hal berjalan seperti yang kita bayangkan. Harus disadari bahwa organisasi adalah sistem yang kompleks. Atasan pun manusia biasa—terkadang sibuk, terkadang juga tidak tahu bahwa timnya sedang butuh bimbingan. Maka, yang dibutuhkan adalah sikap proaktif namun realistis bawahan: tahu kapan harus bersuara, kapan harus diam, dan kapan menyusun strategi personal untuk  bertumbuh—dengan atau tanpa dukungan penuh dari atasan.

Konsep servant leadership dan transformational leadership muncul dalam kepemimpinan modern. Konsep ini menekankan bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang mampu membangun tim, mendengarkan aspirasi, dan memberdayakan anggota. Namun, kepemimpinan semacam ini tidak bisa tumbuh sepihak. Dibutuhkan bawahan yang berani bersuara dengan tetap menjaga etika komunikasi. Juga dibutuhkan atasan yang mau menerima dan mendengar suara bawahan.

Dalam konteks Indonesia, komunikasi tidak langsung (high context culture) lebih disukai dalam penyampaian ide ataupun kritik. Memperbaiki situasi ini dibutuhkan pendekatan yang tepat, waktu yang bijak, dan sensitivitas sosial agar suara bawahan tetap didengar tanpa dianggap sebagai ancaman. Penelitian Graen & Uhl-Bien (1995) tentang leader-member exchange (LMX) menegaskan bahwa kualitas hubungan antara atasan dan bawahan menjadi salah satu prediktor utama keberhasilan tim. Hubungan yang sehat terjadi ketika ada saling percaya, saling mendukung, dan keterbukaan komunikasi—bukan dominasi satu arah.

Menjadi bawahan bukan hanya tentang melaksanakan tugas. Menjadi bawahan juga menjadi individu yang terus bertumbuh. Menjadi bawahan juga tentang membaca organisasi, membangun relasi kerja yang sehat, dan merawat semangat kontribusi. Ada kalanya sistem apresiasi tidak mendukung, atasan tidak peka, dan peluang perkembangan karir terasa buntu. Tapi, dalam kondisi seperti itu, kita bisa memilih: terus diam, atau mencari cara lain untuk  berkembang—bahkan jika itu berarti mencari tempat baru yang lebih sejalan dengan nilai kita. Menjadi bawahan yang bertumbuh bukan soal jabatan. Tapi tentang cara kita menyikapi realitas dengan bijak dan tetap produktif bagi diri kita sendiri.

Tidak semua atasan akan jadi mentor inspiratif. Tidak semua organisasi mampu memenuhi janji implisit. Juga tidak semua ruang kerja memberi tempat yang layak untuk suara bawahan. Tapi, semua itu bukanlah alasan untuk berhenti bertumbuh.

Hubungan kerja—seperti halnya hubungan antar manusia—selalu melibatkan ekspektasi, kekecewaan, negosiasi, dan penerimaan. Yang terpenting adalah bagaimana kita membangun kontrak psikologis internal: janji pada diri sendiri bahwa kita tetap bertumbuh dan berkembang, tetap belajar, dan tetap menjaga profesionalisme, apapun kondisi eskternalnya. Karena pada dasarnya, kondisi internal inilah yang dapat kita kelola secara sadar dan dalam kendali penuh kita.

Pada akhirnya, menjadi bawahan bukan soal siapa yang berada di atas kita, tetapi bagaimana kita berdiri tegak di tempat kita sekarang—dengan kepala dingin, mata terbuka, dan semangat yang tetap menyala.

Referensi:

  • Bernard Bass, From transactional to transformational leadership: Learning to share the vision, Organizational Dynamics, 18(3), 1990, 19–31.
  • George B. Graen & Mary Uhl-Bien, Relationship-based approach to leadership: Development of leader–member exchange (LMX) theory of leadership over 25 years. The Leadership Quarterly, 6(2), 1995, pp. 219–247.
  • Geert Hofstede, Gert Jan Hofstede, Michael Minkov, 2010, Cultures and Organizations: Software of the Mind. McGraw-Hill.
  • Robert K. Greenleaf, 2002, Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness. Paulist Press.
  • Denise M. Rousseau, Psychological and implied contracts in organizations. Employee Responsibilities and Rights Journal, 2(2), 1989, 121–139.
  • Gary Yukl, 2013, Leadership in Organizations (8th ed.), Pearson Education.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun