Situasi ini cukup relevan dengan istilah yang diperkenalkan Arlie Hochschild dalam bukunya The Managed Heart sebagai emotional labor. Emosi ini dilakukan seseorang untuk menjaga kenyamanan orang lain—seperti yang dapat diperhatikan terhadap seorang Pramugari—yang seringkali tidak diimbangi dengan dukungan emosional balik. Bagi anak perempuan tertua, emotional labor ini tidak hanya berlapis-lapis, tapi juga berlangsung menahun. Dalam banyak rumah tangga, anak perempuan tertua adalah “penjaga api keluarga” yang tidak pernah boleh padam. Ia boleh bersedih, tapi tidak boleh hancur. Ia boleh kecewa, tapi tidak boleh marah.
Semua pengalaman itu membentuk mereka menjadi perempuan dewasa yang luar biasa tangguh. Mereka terbiasa mengatur, menjaga, dan menyelamatkan situasi. Tapi, ketangguhan itu sering berdiri di atas trauma yang dibungkus rapi: ketidakmampuan berkata tidak, rasa bersalah saat beristirahat, dan ketakutan membuat orang lain kecewa. Nancy Chodorow dalam The Reproduction of Mothering menjelaskan bahwa pola ini adalah hasil reproduksi sosial peran gender, dimana perempuan—terutama anak perempuan sulung—dibentuk sejak dini untuk menjadi pengasuh dan penjaga stabilitas emosional keluarga. Sayangnya, dunia tidak selalu memberi kompensasi pada yang kuat. Banyak anak perempuan tertua merasa tidak punya ruang untuk menjadi lemah. Mereka terbiasa menjadi pendengar, tapi tidak tahu rasanya didengarkan. Mereka kuat, tetapi kesepian.
Tulisan ini adalah “pelukan” untukmu para anak perempuan tertua—yang pernah tumbuh dalam tuntutan yang terlalu dini, yang pernah merasa sendiri meski di tengah keluarga, yang pernah diam-diam ingin “berhenti menjadi kakak”.
“kamu juga anak. Bukan ibu kedua bagi orang tuamu.”
“kamu punya hak untuk lelah, bersedih, bahkan gagal.”
“kamu tidak harus selalu kuat, tidak harus selalu benar”
“kamu boleh hidup untuk dirimu sendiri”
Perubahan tidak harus datang dari sistem. Perubahan bisa mulai dari rumah. Orang tua bisa mulai bertanya: Apakah beban anak sulung perempuan saya sudah melampaui usianya? Anak-anak bisa belajar saling menghargai peran tanpa membebani yang tertua. Masyarakat bisa juga berhenti mengagungkan “anak yang berkorban” sebagai standar moral yang dibebankan secara sepihak.
Anak perempuan pertama mungkin tidak pernah meminta posisi itu. Tapi, dia menjalaninya dengan cinta. Mungkin kini saatnya cintanya itu dikembalikan dalam bentuk pemahaman, pelukan, dan penghargaan yang setara. Karena menjadi anak perempuan tertua bukan hanya tentang menjadi tangguh. Tapi juga tentang belajar menjadi diri sendiri—meski harus melawan ekspektasi seluruh keluarga
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI