Mohon tunggu...
Rendi Septian
Rendi Septian Mohon Tunggu... Guru - Founder Bimbel The Simbi

Seorang pengajar yang ingin berbagi ilmu, kisah dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah

3 Juli 2022   13:58 Diperbarui: 3 Juli 2022   14:01 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Beep... beep...." Bunyi notif di HP ku berdering.

Manajer karaoke mempersilahkanku dan Rama, teman duetku untuk keluar ruangan karena sebentar lagi akan tutup. Dalam ruangan itu juga ada Silvi yang biasa memandu lagu. Setelah kami bertiga sampai di parkiran depan, sinyal HP ku menerima beberapa panggilan telepon, pesan WhatsApp, yang salah satunya dari istriku. 10 panggilan telepon tak terjawab, 1.053 pesan WhatsApp grup dan ratusan notif medsos lainnya.

Pertama, kubuka pesan dari istriku.

"Pap, pulang jam berapa ? kalo masih lama, aku buatkan makan malam. Kalo udah di jalan, biar aku pesan delivery order aja ya?"

Istriku mengirim pesan sejak 5 jam yang lalu, pukul 20.00 WIB. Jarum jam di tanganku menunjukan pukul 01.00 WIB.

Meskipun telah berlalu waktu yang lama, aku tetap sempatkan membalas chatnya, dan meskipun aku tahu dia sudah tertidur.

Baca juga: Kembali

"Maaf, Aku baru aja keluar, tadi HP ku off. Ga usah masak aku udah makan Say"

Dan benar saja, WhatsAppnya sedang tidak aktif. Hanya centang satu kelabu yang muncul.

Ditengah diriku sedang sibuk mengecek HP, memeriksa notif di grup, belum lagi e-mail dari beberapa kolega yang masuk, suara pemandu lagu membuyarkan perhatianku. Ia mengucapkan terimakasih untuk malam ini dan seperti malam-malam yang lalu, kusertakan tip untuknya.

Tidak seperti PL yang lain, Silvi berpenampilan lebih anggun dan sopan. Ia betul-betul memandu lagu dengan baik. Karakter suaranya yang sensual mampu menghilangkan rasa bosan, bahkan kantuk sekalipun. Ya, kau taulah kawan, se-sopan-sopannya pemandu lagu, mana ada yang menggunakan Jilbab, seperti wanita yang menjadi istriku sekarang,

Tetap saja bentuk tubuhya terlihat, meski tidak menggunakan rok mini seperti kebanyakkan PL, Silvi lebih memilih menggunakan celana panjang dan atasan yang panjang juga dengan rambut terurai hingga menutupi telinga. Dan sebaik-baiknya Silvi tetap saja aku mencoba beberapa kali menghindari dari kerlingannya, tatapannya juga senyumannya. Beruntung, kemanapun aku pergi, cincin pernikahan tetap melekat di jari manisku. Inilah setidaknya yang akan selalu mengingatkanku pada istriku.

"Boy, gue rasa PL itu ada hati deh, haha... gue perhatiin dia senangnya deket sama elu dibanding gue" celetuk Rama sesaat setelah Silvi berlalu.

"Ya jelaslah, Ram... Gue kan harum, ga kayak elu yang jarang mandi" Aku balas celetukkan Rama sekenanya"

Aku melanjutkan, "Gue udah punya bini, Cok! Lagian PL itu masih kalah jauh dengan bini Gue! Nah Elu kenapa ga sama dia aja, mau sampai kapan Elu membujang, Cok ?" Haha. Balasan yang langsung membuat mulut embernya mampet.

"Gue mungkin ga akan menikah, Boy. Elu tau kan Bokap dan Nyokap Gue bercerai dan saling menyakiti satu sama lain. Buat apa menikah kalo ujung-ujungnya bercerai, tapi yaa... Gue perhatiin Elu seperti kasih perhatian ke PL itu, kasih tip dan berkali-kali booking dia?"

"Oh itu anu... hm... Gue juga ga tau, mungkin karena Cuma dia, PL yang gue save nomornya. Elu jangan berpikir yang engga-engga deh!"

"Jangan-jangan Elu save kontaknya dengan nama cowok, ya?"

"Engga lah, ni baca sendiri. Gue kasih nama Silvi"

"Iya deh, yaudah kita bubar dulu yaa, sampai ketemu besok di kantor, Boy !"

...

Dasar Rama si mulut ember. Apapun ia komenitari. Sampai hal sepele pun tak luput dari mulut embernya. Tapi si Rama ini temen sejak kecil. Kita sudah tau sifat masing-masing, bahkan kisah orang tuanya yang berceraipun aku tahu dengan pasti. Orang ke-tiga lah penyebabnya. Itulah yang membuat aku tetap waras meski banyak berkomunikasi dengan perempuan lain. Mulai dari kolega bisnis, asisten di kantor, sekretaris bahkan sampai seorang pemandu lagu. Aku selalu meyakini bahwa perselingkuhan adalah penghianatan dan sebuah awal dari kehancuran.

Setiap hari melewati momen ini. Pagi-pagi sekali aku harus bergegas ke kantor. Tiba di kantor, dua perempuan muda dan cantik bersiap menyambutku. Yang satu memberitahukan agendaku di hari itu sambil mencuri-curi pandang ke arahku, dan yang satu lagi bersiap menerima tugas dariku juga sambil sesekali melirik ke arahku. Menjelang siang hingga sore ada beberapa meeting dengan tentu saja ada perempuannya. Terkadang di caf, di kantor miliki kolega, dan juga di hotel. Menjelang malam, aku sibuk menemani teman-teman dan kolega untuk bersenang-senang. Berpindah dari satu pub ke pub lain dan tempat karaoke satu ke tempat karaoke lain. Begitu terus hingga aku melupakan dua bidadariku di rumah. Ada apakah ?

Aku iseng chat anak gadisku terlebih dahulu ketika waktu senja mendekati akhir.

"Nak, Papa pulang malam lagi, tadi pagi kamu bilang mau cerita sesuatu ya? Tentang apakah ?"

Telihat status WhatsApp anak gadisku sedang online, kemudian tak lama berselang terlihat ia sedang mengetik.

"Tentang Papa yang sudah ga betah tinggal di rumah, tentang Papa yang selalu sibuk di luar, dan tentang Tante Silvi yang membuat jantung Mommy kumat. Tadi siang Mommy ke Klinik untuk diperiksa, Pap"

"Apa??? Istriku kumat? Dari mana ia tahu tentang Silvi" Batinku bertanya-tanya sambil menghawatirkan keadaanya.

"Tapi Mommy baik-baik saja, kan?"

"Mommy udah di rumah, dokter memberi Mommy obat seperti biasa"

"Baiklah, Papa akan segera pulang" pesan terakhir dariku hanya dibacanya, read only.

...

"Silvi, malam ini cancel ya. Aku mendadak harus pulang." Pesan singktaku pada Silvi. Dan lagi-lagi tidak ada respons. Mungkin ia kecewa. Tetapi aku lebih kecewa jika ada yang mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Aku dan Silvi.

Ku lihat istriku, Syaimah tengah terbaring lemas. Detak jantungnya belum stabil. Dan aku rasa tidak perlu membahas Silvi. Aku pegang tangannya, dingin. Matanya agak pucat. Namun Ia berusaha untuk tetap tersenyum menyambutku.

"Apakah yang dikatakan dokter, Say ?" Aku mencoba bertanya tentang diagnosis penyakitnya dari dokter.

"Aku hanya sedang terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, Mas." Jawabnya singkat.

"Maafkan aku yang selalu sibuk, hingga melupakan kesehatanmu."

"No, you don't have to ask forgiveness from me, asking for forgiveness to your daughter, Mas"

Benar, aku telah membuat dua bidadariku kecewa. Janji-janji tinggal janji. Aku selalu punya alasan untuk membatalkan apapun kesepakatan dengan anak gadisku. Oh jangan-jangan...

Aku mulai teringat sesuatu. Hari di mana anak gadisku meminta untuk ditemani belanja keperluan sekolahnya dan aku menyanggupinya. Akan tetapi, tak lama berselang, Rama memberitahuku jika malam nanti, bos besar mengajak kami hangout, dan meminta aku untuk menghubungi Silvi. Aku paling tidak bisa menolak ajakan bos. Hingga akhirnya aku memilih hangout daripada menemani anak gadisku belanja.

Aku khilaf, temanku meminjam HP ku untuk berfoto. Dia memoto seluruh kegiatan pada malam itu. Diantara puluhan momen yang berhasil diabadikan dan tersimpan dalam galeri HP ku adalah momen di mana aku terlihat dekat dengan SIlvi. Mungkinkah ia melihat tak sengaja "Tante Silvi itu" dalam galeri HP ku?

"Papa, mungkin papa bingung bagaimana Mommy tau tentang Tante Silvi." Anak gadisku memulai percakapan. Wajahnya menunduk dengan intonasi suara yang berat, seperti sedang akan meluapkan segala beban dalam hatinya.

"Tante Silvi itu guru les vokalku, Pap. Pada suatu hari tak sengaja ia menunjukan foto saat bersama Papa. Aku waktu itu pura-pura tidak mengenal Papa, agar aku bisa mengetahui lebih jauh siapa Papa dari versi Tante Silvi."

Aku menelan ludah. Seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan anak gadisku. Semua terasa seperti kebetulan. "Ah kalimat apakah yang akan keluar dari bibir merah anak gadisku ini ?"

"Papa berhasil membuat Tante Silvi berubah. Ia tak lagi buruk menilai laki-laki. Karena menurutnya, diantara ratusan laki-laki yang pernah tante Silvi kenal, Papa lah yang paling sopan, bersikap wajar dan baik kepadanya."

Ah betapa lega nya mendengar kalimat ke-dua yang keluar dari anak gadisku, tak jauh dari tempat kami bercerita, istriku mendengarkan apa yang sedang kami bicarakan dari pembaringannya.

"Kemudian, Tante Silvi mengungkapkan perasaannya lebih jauh, hiks... Tante Silvi jatuh hati pada Papa." Berkaca-kaca, tak kuasa menahan tangis, hujan itu akhirnya turun juga.

"Waktu itu, aku ingin segera menangis sejadi-jadinya, namun aku tahan, karena pasti Tente Silvi menaruh curiga padaku. Kemudian aku bertanya kepada Tante Silvi... Apakah Tante tau siapa lelaki itu?"

Kemudian Tante Silvi menjawab, " Tidak tahu, memangnya kenapa Sya? Kamu mengenalnya kah?" 

"Tante Silvi pasti berbohong. seperti sedang menutupi sesuatu. Aku bukan anak kecil lagi. Aku beranjak dewasa, dan sedikit tau permasalahan yang menimpa para orang dewasa." Itu bisik batinku, Pap.

"Kemudian aku menggelengkan kepala, pura-pura tidak tahu. Aku kemudian tersenyum kepadanya dan merasa tidak enak badan, hingga aku membatalkan les vokalku. Karena aku sangat pusing, akhirnya Tante Silvi mengantarkanku pulang. Di situlah momen pertemuan Mommy dan Tante Silvi.'

"Tak sengaja Mommy melihat Wallpaper di handphone Tante Silvi yang ia letakkan di atas meja. Jelas sekali Mommy melihat wajah Papa dengan tante Silvi di Hpnya. Mommy kemudian shock. Tante Silvi masih belum menyadari apa yang terjadi, ia bergegas membawa Mommy ke klinik." Anak gadisku menyudahi kalimatnya, dengan air mata yang belum mengering.

Hening sesaat untuk kemudian, aku berusaha menyusun kalimat sebaik mungkin.

"Benar nak, akhir-akhir ini Tante Silvi sering bertemu Papa dalam acara meeting dengan Kolega. Bos dan juga kolega Papa sangat menyukai karakter vokalnya Tante Silvi, hingga akhirnya, Papa selalu diminta untuk menghubunginya."

"Tetapi percayalah, di antara Papa dan Tanten Silvi tidak terjadi apa-apa, nak. Papa selalu ingat dengan Mommy dan kamu di manapun Papa berada. Tante Silvi pun tidak pernah bertingkah berlebihan. Satu-satunya momen dekat dengan Papa, ketika meminta foto bersama. Papa tidak bisa menolak waktu itu. Ya , mungkin ini mesti menjadi pelajaran buat Papa untuk tidak bersikap teralu baik kepada perempuan lain, karena pasti ada hati yang terluka. Engkau tahu nak, Papa mu ini juga bingung dengan apa yang terjadi."

"Mulai sekarang Papa janji akan memutus kontak dengan Tante Silvi. Sebelum semuanya terlanjur jauh. Papa yakin Tante Silvi layak mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Papa,"

"Bagaimana caranya, Pa?" Senyumnya sudah kembali, meski gurat air mata di pipinya masih terlihat.

"Papa mau coba jodohkan ia dengan Om Rama. Bukankah Om Rama masih membujang?"

"Setuju Pa!" Anak gadisku berteriak sambil kegirangan. Senyumnya sudah full 100%. Tidak ada lagi gurat kesedihan di wajahnya.

"Biar tidak menggoda Syaila juga, Pap. Masa Syaila harus pacaran dengan Om-Om sih Pap, Haha..."

Epilog :

Setelah peristiwa itu, akhirnya aku mengetahui gejolak batin yang menimpaku. Ternyata keberadaan perempuan lain, meski kuanggap biasa saja, sedikitnya membuat ketidaknyamanan di dalam rumah, cahaya rumah menjadi redup bahkan kalah dengan cahaya pub meskipun remang. Bagaimana fitrah kelaki-lakianku habis terbuang percuma bersama perempuan lain. Meskipun sekali lagi tidak terjadi hal-hal yang diluar batas susila maupun agama. Dua bidadariku kembali bersinar terang dalam rumah, setelah redup beberapa waktu. Maka kumbang mana yang tidak tertarik dengan cahaya ? I'm coming home, Syaimah, Syaila.

Tamat

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun