Mohon tunggu...
rendi lustanto
rendi lustanto Mohon Tunggu... -

study in university of indonesia, philosophy program. interested with literature classic, new foucaultian. twitter: @RendiLustanto.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kuasa Maskulinitas Mengungkung Kesadaran

26 November 2015   00:13 Diperbarui: 26 November 2015   00:42 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika perempuan dikungkung dalam mitos mitos yang diciptakan oleh laki laki, semua konsep mengenai hakekat perempuan dibentuk dalam budaya budaya yang didominasi oleh laki laki. Perempuan, di era postmoderen sekarang harus beranjak untuk mengendalikan tubuhnya sendiri, mereka harus mempunyai kesadaran untuk menciptakan suatu prespektif baru untuk lepas dari bayang bayang hitam maskulinitas. Kebanyakan dari perempuan secara tidak sadar, dituntut untuk berpenampilan menarik oleh pasanganya, atau bahkan perempuan itu berpenampilan menarik untuk pasanganya, nah dari contoh kasus yang sederhana ini saja dapat terlihat bahwa kecantikan pun dikontruksi oleh laki laki, padahal semestinya setiap perempuan dapat menentukan seperti apa dirinya. Mereka tak kuasa jika berhadapan dominasi semu maskulinitas yang menggerogoti kehidupan mereka.

Saat hegemoni budaya maskulinitas tetap tertancap, maka perempuan masih tersandera dalam sebuah masa dimana dapat digambarkan seperti dark ages di benua eropa, perempuan harus membangun sebuah armada tangguh untuk menggempur tembok maskulinitas yang kokoh dan sempurna itu dengan gerakan kesadaran, jika perempuan tidak dapat keluar dari penjara maskulinitas bahkan perempuan sendiri dapat menjadi agen pendukung sistem patriarki itu.

Fakta bahwa maskulinitas telah membrangus otonomi feminine itu dapat dianalogikan seperti sistem kapitalis yang menguasai struktur ekonomi, kita pun kadang merasa acuh terhadap suatu fenomena fenomena bahwasanya taring maskulinitas pun sudah tertancap diseluruh lini kehidupan kita sebagai manusia. Tak terkecuali dengan karya sastra, jika kita membaca karya karya dari pramoedya ananta toer pasti memiliki taste yang berbeda, karena pada karyanya pramoedya cenderung menonjolkan kekuatan sebuah tembok maskulinitas era kolonialisme, hal ini sangat terlihat ketika pramoedya menggambarkan dalam novelnya yang berjudul gadis pantai, ketika seorang perempuan yang tidak bisa lepas dari dinamika masyarakat feodal kala itu, bahkan ketika unsur patriarki sangat menonjol dalam cerita tersebut, wanita dalam masyarakat jawa hanya memiliki peran yang terbatas yaitu tiga M (manak, masak, macak) atau dalam bahasa indonesia peran wanita itu hanya melahirkan anak, memasak di dapur dan berdandan.

Seharusnya karya satra sekarang harus mulai memikirkan suatu inovasi yang baru untuk mencoba melawan tembok maskulinitas yang sangat kokoh di negri ini, mungkin dengan melakukan gerakan sastra yang baru dan berdampak positif bagi kesetaraan gender, rekayasa mindsite mengenai budaya patriarki yang disokong oleh maskulinitas akan luluh dan masyarakat akan menerima konsep yang diusung yaitu kesataraan dalam segala bidang. Ketika suatu gagasan mengenai pandangan dan posisi politis yang menuntut pengakuan kesataraan itu dapat diterima oleh masyarakat, setidaknya hal ini menjadi sebuah pencapaian yang sangat menggembirakan karena dapat membangun armada yang mampu menggempur kekuatan yang kokoh berawal dari titik kesadaran. Saat suatu jalur yang sebenarnya bisa menjadi alternatif untuk menjadi wadah untuk menyuarakan pembaharuan pun  sudah dikuasai, lantas akankah kalian tetap diam seolah tak terjadi apapun?

Disaat kondisi seperti ini, kaum perempuan menginginkan munculnya ratu yang berhasil membuat suatu perubahan yang mendasar, sosok perempuan yang mampu mengatakan dengan lugas “ketika pena ada ditangan, saya ingin tubuh saya berbicara, saya ingin pikiran saya menunjukan otot otot ketangguhan namun tetap dalam nuansa kelembutan”. Mungkin jika kondisi seperti itu dapat tercapai bukan hal yang mustahil, upaya untuk menyuarakan kesetaraan akan diterima dengan penuh kesadaran oleh masyarakat.

Dalam kondisi seperti ini, saya akan meminjam terminologi dari michael foucault untuk menggambarkan betapa dominanya kontrol maskulinitas terhadap feminine, foucault menggunakan istilah “politik ketubuhan”, memang jika kita berfikir lebih dalam, kondisi seperti ini sangat terkait dengan kedudukan politis posisi suatu identitas. Ketika maskulinitas yang dikonstruksi secara kultural ditopang oleh semua atribute yang hasil konvesi sekelompok manusia, peran perempuan seakan direduksi secara halus oleh culture yang mereka anut, ketika kebebasan yang seharusnya mereka dapatkan tersandera diri mereka sendiri. Memang ini merupakan suatu permasalahan yang kurang disadari oleh banyak perempuan di negri ini, ketika mereka belum bisa menjadi subjek disaat berhubungan dengan pasanganya, pada umumnya relasi antara laki laki dan perempuan masih berkutat pada level subjek-objek, kebanyakan dari perempuan masih menjadi objek dari relasi ini.

Mengenai relasi dengan subyek lain, seorang filsuf eksistensialisme yaitu martin buber menggunakan konsep relasi untuk menggali hubungan yang setara antar subjek, jika hubungan antara laki laki dan perempuan masih bersifat subyek – obyek maka hal ini masih dalam taraf I-it, relasi yang ideal adalah hubungan antara laki laki dan perempuan jika sudah mencapai relasi subyek-subyek, karena dalam relasi ini dimungkinkan terdapat dialog yang setara, tidak terdapat upaya untuk mengobjekan perempuan dalam relasi ini, dan jika seorang laki laki dan perempuan sudah dapat menjalin relasi yang berbentuk subyek-subyek maka oleh martin buber hal ini dinamakan I-thou, disaat laki laki dan perempuan pada taraf ini akan terjadi suatu relasi yang penuh, dan manusia tersebut akan mencapai tahap eksistensi nya karena akan memahami sang lian yang pada kasus ini baik laki-laki maupun perempuan secara whole being.

Perlahan nnamun pasti perempuan indonesia harus beranjak dari penjara patriarki yang disokong kekuatan maskulinitas. Sudah saatnya perempuan berada dalam posisi subyek – subyek ketika membangun  relasi dengan laki-laki, seperti yang dicita-citakan oleh R.A Kartini, wanita indonesia harus memiliki kesadaran untuk menyadarkan sesamanya, bukan malah menjadi agen pembrangus kesadaran itu sendiri. Perempuan harus menjadi suatu mahluk yang memiliki peran ganda yaitu produksi dan reproduksi, produksi dalam artian penggalian ide ide baru mengenai gagasan menyadarkan kaumnya, sekaligus reproduksi dalam artian meengevaluasi gerakan gerakan yang sudah ada agar tetap relevan dengan kondisi sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun