Mohon tunggu...
Sosbud

Di Antara Era Digital dan Kemajuan Ke-"Manusia"-an

2 Desember 2018   16:32 Diperbarui: 2 Desember 2018   16:56 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Dunia berada di genggaman tangan kita." Tentunya ungkapan ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kita hidup di jaman dimana Revolusi Digital besar-besaran sedang terjadi. Salah satu hasil dari revolusi ini adalah maraknya penggunaan gawai atau yang lebih akrab kita sebut gadget. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gawai/gadget adalah peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis. 

Jika dulu handphone kita hanyalah sebagai pengganti kabel telepon sebagai alat komunikasi, kini kita bisa melakukan hampir semua hal melalui satu perangkat tersebut. Adanya aplikasi-aplikasi dan social media seperti go-jek, tokopedia, instagram, google, dan lain sebagainya, semakin memudahkan manusia dalam melakukan apapun keinginannya maupun mendapatkan hal-hal yang menjadi kebutuhannya. So, what a wonderful time to be alive, right?

Namun nyatanya era digitalisasi ini merupakan sebuah pedang bermata dua. Era digital memang memajukan kehidupan manusia, tapi sering kali era ini tidak memanusiakan manusia. Disamping kemudahan-kemudahan yang ditawarkannya, era digitalisasi sebenarnya juga membawa dampak-dampak buruk yang sering kali tersembunyi. Bagaimana bisa demikian? 

Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia mencapai lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Melihat angka sebesar ini, Indonesia tentunya akan menjadi pasar besar bagi penjual-penjual barang maupun jasa digital. Contoh konkritnya saja, mungkin kita sudah tidak asing dengan Mobile Legend. Satu tahun terakhir ini saja sudah terlihat sekali bagaimana game ini membanjiri gawai anak-anak muda bahkan hingga generasi yang lebih tua. 

Berkaca dari hal ini, tentunya Indonesia juga berpotensi menjadi raksasa di dunia digital seperti halnya negara-negara maju lainnya. Akan tetapi, tentunya ini perlu didorong dengan memaksimalkan dampak positif dari era digital. Selain itu, penting juga agar era digital semakin memajukan manusia dengan memanusiakan manusia, bukan hanya memajukan taraf hidup manusia. Akan tetapi, bagaimana faktanya di lapangan saat ini? 

Tentu dengan hadirnya social media dan perangkat lainnya ( contoh: instagram dan youtube) memberikan media bagi anak-anak muda di jaman sekarang untuk lebih mengekspresikan bakat dan minatnya. Misalnya saja, jika seseorang berminat dalam bidang seni, instagram memberikan ruang untuk men-post hasul karyanya sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang, bahkan bisa juga digunakan untuk mengkomersilkan/menjual hasil karya tersebut. 

Begitu juga dengan profesi baru yang muncul baru-baru ini, yaitu youtuber dan selebgram. Bagi seorang youtuber, membagikan videonya hanya semudah menguploadnya lewat laman youtube, maka banyak orang dapat melihat video hasil karya orang tersebut.

Akan tetapi, seperti yang ditunjukan melalui sebuah adegan di film Ralph Breaks the Internet yang baru-baru ini rilis, dimana komentar-komentar negatif mulai bermunculan pada karya seseorang, apalagi jika karyanya itu goes public atau viral. " Aturan pertama dalam internet, jangan pernah membaca komentarnya ", begitulah yang dikatakan tokoh Yesss dari Ralph Breaks the Internet. Tentunya ini sangat mendekati kondisi kita saat ini, dimana platform social media juga memberi kebebasan sebebas-bebasnya bagi orang-orang untuk mengutarakan opininya. 

Hasilnya adalah banjirnya komentar negatif ataupun hujatan dari orang-orang atau mungkin kita lebih suka menyebutnya netizen. Bahkan sering sekali sindiran itu memang ditujukan untuk menjatuhkan seseorang atau suatu kalangan. Bahkan orang-orang dengan nama besar dan popularitas juga sering terkena imbas dari kebebasan berpendapat tersebut. Lebih parahnya lagi, hal ini bisa beralut-ralut menjadi perang social media, saling caci maki antar golongan, dan lain sebagainya. 

Platform tersebut juga tidak memberikan jaminan jika konten-konten yang beredar merupakan 100% konten-konten positif. Tentu kita masih ingat dengan rencana pemblokiran aplikasi Tik Tok baru-baru ini. Tidak sedikit orang yang memanfaatkan platform-platform tersebut untuk kepentingan pribadi, baik itu untuk menyebarkan ujaran kebencian, hoax, ataupun konten-konten negatif, seperti pornografi dan lain sebagainya. Sebagian orang mungkin menganggap sepele hal-hal ini, tapi tentu sebagian orang yang lainnya mungkin akan merasa risih atau terganggu. Anehnya, meskipun ada undang-undang yang telah tegas mengatur hal ini, seperti contohnya UU ITE no 11 tahun 2008 juga UU no 44 tahun 2008, orang-orang masih tidak segan-segan melakukan hal-hal tersebut. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah UU yang ada sudah cukup kuat untuk mengatur hal tersebut?

Tidak berhenti sampai disitu, hal ini juga membentuk budaya baru dalam masyarakat yaitu budaya asumtif. Yang dimaksud adalah ketika kita menjudge sesuatu ataupun seseorang lewat sudut pandang kita sendiri dan sering kali hal ini dilakukan dengan bullying baik secara verbal maupun fisik. Saya sendiri juga merupakan korban dari budaya ini, bahkan bukan hanya sekali, berulang-ulang kali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun