Mohon tunggu...
Reis Rivaldo R
Reis Rivaldo R Mohon Tunggu... Freelancer - MIND SHAPES YOU AND WORDS REPRESENT YOU

Mhs. Hubungan Internasional ak. 2017. Membuka diri untuk menerima kritik, masukan, dan arahan dari teman-teman pegiat literasi, akademisi, aktivis, kaum rebahan, personil militer aktif, seniman, influencer, dan pemangku kebijakan. Berniat untuk berbagi ilmu dan bertukar pikiran ? @reisaldo.r

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengukur Usaha Oxfam Menyelamatkan Hidup Masyarakat Korban Perang Suriah

14 April 2020   10:06 Diperbarui: 14 April 2020   10:42 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picture by: thediplomatinspain

Sejarah singkat OXFAM bermula dari sebagian kecil masyarakat sipil Inggris yang merasa sangat prihatin terhadap korban perang, kebanyakan dari wanita dan anak-anak. Disamping itu, sekelompok kecil tersebut tentu turut mengalami bagaimana masa-masa sulit saat Perang Dunia ke 2. Orang-orang yang dimaksud tersebut ialah Canon Theodore Richard Milford, Profesor Gilbit Murray, Lady Mary, Cecil-Jackson Cole, dan Sir Alan Pinn. Mereka inilah yang mengawali pembentukan OXFAM. 

OXFAM berarti Oxford Committee for Famine Relief atau komite Oxford untuk Penaganan Kelaparan. Tujuan awalnya ialah membantu masyarakat sipil yang sangat rentan terhadap dampak mematikan dan merugikan selama masa perang berlangsung. Komite mengadakan perkumpulan untuk pertama kalinya di Library of University of Church of. St. Mary the Virgin, Oxford pada tahun 1942. Fokus utama mereka saat itu ialah membantu nonkombatan di Yunani, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka kesulitan mendapatkan suplai logistik akibat wilayah yang terblokade oleh keberadaan sekutu dalam radius tersebut.

Setelah Perang Dunia berakhir, bukan berarti perjuangan Oxfam juga berakhir, Kini Oxfam telah mengalami revolusi hingga melahirkan Oxfam baru yang memiliki tekad untuk merealisasikan gerakan global orang-orang yang memerangi ketimpangan untuk mengalahkan kemiskinan bersama. Lingkup perjuangan Oxfam yang awalnya hanya di seantero daratan Eropa kini bergeser ke negara-negara berkembang karena negara-negara Eropa dinilai sudah mapan untuk menghadapi krisis, setidaknya masyarakat Eropa sudah terbebas dari ancaman kelaparan dan kemiskinan ekstrim.

Dasar pergerakan Oxfam ialah mengatasi ketidaksetaraan yang menjadikan orang-orang tetap miskin. Menyelamatkan dan melindungi kehidupan di saat krisis, bekerja dengan orang-orang untuk membangun ketahanan dan membangun kembali mata pencaharian mereka. Dunia yang penuh dengan konflik disana-sini dan senantiasa muncul di belahan dunia Barat dan Timur mengharuskan organisasi non-pemerintahan seperti Oxfam untuk berlomba-lomba dalam kompetisi kemanusiaan menemukan solusi nyata dan permanen, untuk itu Oxfam memproyeksikan kegiatan kampanye kemanusiaan untuk menciptakan perubahan yang tulus dan tahan lama.

Cita-Cita Oxfam menginginkan sebuah dunia di mana setiap orang dapat berbicara untuk berkuasa, mengklaim hak asasi mereka, dan membangun masa depan yang lebih baik untuk masing-masing kehidupan individu di dunia. Kaitannya, maka tidak heran jika Oxfam juga turut serta dalam menangani masalah-masalah seperti perubahan iklim, hak atas tanah, dan keadilan gender: karena manusia dipersatukan oleh keyakinan yang berbunyi bahwa kehidupan yang bermartabat dan tersedianya kesempatan bukanlah hak istimewa bagi sebagian orang, tetapi hak bagi semua orang. Dalam usianya yang ke 72, Oxfam bekerja di lebih dari 90 negara, dengan ribuan mitra, sekutu, dan komunitas untuk menyelamatkan dan melindungi kehidupan dalam keadaan darurat, membantu orang-orang membangun kembali mata pencaharian mereka, berkampanye untuk perubahan yang tulus dan anadi, dan menjaga hak-hak perempuan sebagai jantung dari segala pergerakan. Ada 19 organisasi anggota dari konfederasi Internasional Oxfam. Mereka berbasis di Australia, Belgia, Brasil, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Inggris, Hong Kong, Irlandia, India, Italia, Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Quebec, Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat (OXFAM, 2020). Oxfam juga memiliki dua kantor keterlibatan publik - Oxfam di Korea Selatan dan Oxfam di Swedia - yang fokus pada penggalangan dana dan kesadaran tentang pekerjaan dan misi Oxfam.


Salah satu negara yang saat ini menjadi perhatian khusus dari organisasi independen Oxfam adalah negara di Timur-Tengah yang masih mengalami kecamuk perang saudara antara kelompok oposisi dan rezim penguasa. Negara tersebut ialah Suriah yang mana perang dalam negerinya tidak kunjung selesai hingga saat ini. Oxfam mulai masuk ke wilayah Suriah terhitung sejak krisis di Suriah tahun 2011 meletus. Krisis kemanusiaan parah yang pernah ada di abad 21, yang mana mencatatkan lebih dari 11 juta orang atau separuh dari populasi rakyat Suriah kini tergantung dari bantuan humaniter. Sekitar 7,6 juta menjadi korban kekerasan dan mengungsi di negaranya sendiri. Sekitar 3,7 juta warga Suriah mengungsi ke luar negeri. Statistik tahun 2013 memaparkan tiga perempat populasi yang bertahan di Suriah sudah jatuh ke lembah kemiskinan (Berning, 2015). Bahkan lebih 200.000 orang di kota-kota yang dikepung perang menderita kelaparan dan tak punya akses ke sumber air bersih.

Picture by: the stream
Picture by: the stream

Sebagai salah satu NGO kontributor aktif membantu krisis kemanusiaan di Suiriah, Oxfam tidak berat untuk rajin mengkritik kebijakan serta reaksi pemimpin dari negara- negara yang sebenarnya ada campur tangan dalam konflik di Suriah. Beberapa negara Eropa yang maju seperti Jerman tidak luput pula dari sasaran komentar Oxfam. Kebalikannya, Oxfam mengapresiasi negara yang relatif kecil tapi rela membuka pintu kemanusiaan untuk ribuan pengungsi Suriah, yakni negara Libanon dan Irak yang berada tidak jauh dari teritori Suriah. Beberapa negara besar lainnya cenderung masih enggan untuk membuka pintu bagi masyarakat sipil Suriah yang rentan terdampak konflik bersenjata. 

Robert Linder yang menjabat sebagai kepala bagian krisis humaniter Oxfam Jerman bersama NGO kemanusiaan lainnya menuntut agar Uni Eropa yang kaya menambah kuota pengungsi Suriah dengan alasan kemanusiaan. Hendaknya politik luar negeri gugusan negara di Benua biru itu mengalokasikan program kemanusiaan dengan salah satunya mengakomodir refugees negara Suriah. Berdasarkan laporan LSM "Kesetiakawanan untuk Suriah", dari 28 negara yang diharapkan besar untuk memberi kesempatan tinggal bagi masyarakat Suriah yang terdampak, hanya segelintir yang benar-benar mewujudkan bantuan tersebut. 

Negara seluas Rusia hanya memberikan satu persen bantuan dari iuran bantuan bersama dam Prancis hanya bersedia memberikan 22% porsi bantuan (Retnaningrum, 2015). Andy Baker yang memimpin Oxfam dengan jelas berbicara bahwa kebanyakan negara-negara besar tidak ingin membantu bukan karena ketiadaan rasa kemanusiaan, melainkan ketiadaan politic will untuk membantu orang-orang rentan tersebut mendapat kesempatan hidup yang lebih layak.

Data terbaru yang diambil dari situs resmi Oxfam sendiri menjabarkan bahwa lebih dari setengah populasi Suriah melarikan diri dari negara mereka, lebih dari 13 juta wanita, pria, dan anak-anak masih membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sejauh ini, Oxfam secara maksimal dan optimal telah menyalurkan bantuan kepada 1,5 juta warga Suriah yang tersebar di Suriah, Yordania, dan Lebanon. Masih ada separuh target yang harus segera tercapai. Bentuk-bentuk bantuan yang diberikan ialah penyediaan fasilitas sanitasi dan air bersih, mendistribusikan pakaian, popok bayi, sabun, bumbu-bumbu dapur, dan barang-barang kebutuhan wanita, serta mengakomodasi kebutuhan ketahanan pangan, tempat tinggal, pelatihan dan pengembangan diri bagi wanita dan pria, dan uang-uang tunjangan untuk mengadakan kegiatan.  

Lebih jauh, Oxfam mewakilkan utusannya kepada Daniel Gorevan selaku direktur Lembaga kemanusiaan Oxfam Suriah menyatakan bahwa negara-negara teluk yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) seharusnya mampu mengambil peran siginifikan untuk menekan angka pengungsi yang terabaikan dengan memberikan lebih banyak dan lebih luas ruang kehidupan bagi mereka. Sebaliknya, menurut informasi yang didapat oleh seorang wartawan UEA Sultan Sooud al-Qassemi, negara-negara Arab cenderung enggan untuk menerima orang-orang Suriah masuk ke dalam teritori mereka disebabkan akan membawa ancaman keamanan turut masuk ke dalam wilayah mereka. Sebagai gantinya, negara Arab seperti Saudi Arabia menggelontorkan dana sebesar 700 juta USD untuk kemah-kemah penyintas dan hanya memberikan izin resmi 100 ribu pengungsi Suriah (Tsani, 2016). Tentu, jika menyoroti sokongan tempat tinggal bagi pengungsi yang hanya tersedia 100 ribu kuota, bilangan ini masih kecil dan belum mampu menjangkau korban sipil lainnya.

Pada level universal, Oxfam berhasil menyelesaikan laporan kritisnya terhadap kegagalan badan keamanan PBB (UNSC) untuk mengatasi krisis kemanusian Suriah yang tidak kunjung selesai, alih-alih angka pengungsi berkurang, jutaan orang masih terlantar, akses kemanusiaan malah berkurang, dan jumlah orang yang terbunuh semakin bertambah ribuan kali. Laporan kritis berjudul "Failing Syria" mencatatkan penilaian sejauh apa dan sesignifikan apa usaha yang telah dilakukan UNSC menyelesaikan huru-hara di negara pimpinan Bashar Al-Asaad tersebut. Ternyata, dari 4 indikator yang telah ditentukan, hanya satu yang mendapat nilai D dan sisanya tidak ada lagi nilai lebih baik selain pantas mendapatkan nilai F. Indikator ;pertama' perlindungan warga sipil mendapat nilai F, indikator kedua; akses kemanusiaan dan komunitas yang terkepung menyandang nilai D. indikator ketiga; kontribusi internasional kepada respon humaniter bernilai F, dan indikator terakhir: perkembangan politik memperoleh skor F (Martin Hartberg, 2015). 

Di akhir laporan, Oxfam menyuarakan agar UNSC beserta negara anggota yang berada di bawahnya, baik anggota tetap maupun tidak tetap mengambil langkah praktis dan lebih aktif lagi. Sebagai aktor yang mempunyai pengaruh besar, negara anggota UNSC seharusnya menggunakan pengaruh dan sumber finansialnya untuk mengajak negara-negara lain turut membantu menyelesaian krisis, memperingati pihak-pihak terlibat untuk segera menyudai pertikaian, hambatan bantuan yang disengaja harus segera dihentikan, dan impunitas yang masih melekat pada beberapa aktor harus segera diakhiri. Semua hal ini tidak lain bertujuan untuk mengaktualkan harapan silent majority masyarakat Suriah yakni memiliki tempat untuk hidup yang adil, aman, damai, dan berkelanjutan di negara mereka.

Oxfam dalam perjuangannya memberikan bantuan kemanusiaan terbaik berkomitmen untuk terus mengawal masyarakat sipil yang rentan sebagai korban terdampak dari perang sipil yang terjadi antara kelompok oposisi dan pihak pemerintah. Tanggung jawab untuk membantu sisi advokasi, humaniter, finansial, dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya tidak akan usai hingga rakyat Suriah bisa kembali menjalankan hidupnya dengan normal. Perjuangan yang masih berlanjut, tidak terasa hanpir 9 tahun sudah konflik di Suriah belum menemukan titik terang dan rakyat Suriah masih bertebaran, berceceran di sepanjang garis-garis perbatasan negara untuk mencari tempat berlindung. 

Di antara mereka secara harfiah bercebur ke laut untuk menyeberang ke pulau seberang dengan harapan dapat melanjutkan hidup, di antara mereka juga masih ada yang kuat bertahan di dalam negeri, walau tiada hari tanpa dentuman dan ancaman bom yang terus menemani.  Potongan skenario nyata inilah yang terus menjadi suntikan kuat para volunter dan petugas Oxfam agar tidak berhenti membantu sesama manusia dalam masa-masa krisis seperti ini.

Berstatus sebagai organisasi non-pemerintahan internasional (INGO) memudahkan mobilitas Oxfam untuk bisa menggaet banyak partner, mitra, dan pihak guna mencapai tujuan utama Oxfam. Sebaliknya, Oxfam memang akan mengalami banyak kendala jika hanya bergerak sendiri. Sudah menjadi salah satu ciri kelompok penekan bahwa semakin banyak dia membawa sekutu dalam pergerakan, maka semakin memudahkan dia untuk menjalankan misinya. Maka tak tanggung-tanggung, Oxfam lebih menekankan mitra kerjanya dengan instansi non-negara, selain juga meletakkan markas-markas perwakilan di hampir setiap benua di 67 negara. Kerjasama Oxfam dalam menuntaskan situasi darurat di Suriah meliputi kemitraannya dengan aktor individual, nasional, regional, dan internasional. Dalam bekerja, diperkirakan Oxfam memiliki 3500 sekutu yang tersebar di 96 negara. Setidaknya, mitra Oxfam ketika bertugas di Suriah yakni bersama Amnesty International, Human Right Watch, Unilever dan ICRC.

Picture by: ReliefWeb
Picture by: ReliefWeb

Oleh karena itu, Oxfam melakukan penekanan kepada negara dan organisasi negara (IGO) tentu sudah melalui pertimbangan yang matang, karena dirinya memiliki banyak instansi kemanusiaan yang berdiri dalam barisannya, siap memberikan dukungan secara praktis, teknis, dan dinamis. Termasuk laporan yang menggarisbawahi kecacatan PBB mengurusi krisis Suriah yang berjudul "Failing Syria" merupakan tindakan berani dari Oxfam untuk melontarkan pandangan kritis dan anti-mainstream terhadap kinerja organisasi yang ditukangi oleh dunia (negara-negara besar). 

Tidak cukup di PBB, Oxfam juga menggugat Organisasi Kerjasama Negara Islam yang terhimpun dalam OKI. Dua tindakan vokal ini memang patut dan sudah sewajarnya diinisiasi oleh NGO. Bermula dari aksi-aksi yang dilakukan melalui jalur resmi seperti ini, ia bisa menginspirasi akltivis-aktivis kemanusiaan yang lain, menghadirkan secercah harapan bagi para penyintas Suriah, dan menggugah sikap pemimpin dunia untuk menyesuaikan kebijakan luar negerinya.

Untuk itu semua, saya telah memikirkan dan meyakini bahwa rekomendasi saya selanjutnya kepada organisasi Oxfam ada baiknya untuk dijalankan sebagai langkah baru atas nama perjuangan untuk kemanusiaan. Oxfam yang lahir dari rahim Inggris raya sudah sepatutnya mempertimbangkan Inggris untuk memasukkan negaranya ke dalam salah satu daftar kandidat negara mediator, untuk menengahi pertikaian di negara Suriah. Mengingat Inggris juga termasuk ke dalam salah satu pemegang hak veto PBB, Inggris punya otoritas lebih dan memiliki akses luar biasa di PBB. Sebagai negara besar dan sudah diketahui dunia mempunyai reputasi yang bagus, Inggris berpeluang besar mampu mendamaikan pihak-pihak yang berperang di Suriah melalui asistensi Oxfam tentunya. Kerjasama negara dan NGO di lapangan akan memberikan dampak yang berbeda dari sebelumnya. Agar ini bisa terwujud, harus diawali oleh pihak Inggris sendiri yang diwakilkan oleh Oxfam melakukan pendekatan-pendekatan kepada pihak yang terlibat. Tiada motiv yang paling tinggi lagi untuk Inggris untuk mulai ambil bagian di perang saudara Suriah kecuali atas dasar Responsibility to Protect. Adapun keuntungan-keuntungan lain yang bersifat materi yang kiranya akan didapat, seyogyanya akan kembali lagi ke perputaran pendanaan organisasi-organisasi kemanusiaan yang terdaftar resmi di negara persemakmuran itu.

Kemudian, mengingat Oxfam telah menyalurkan bantuan finansialnya kepada negara-negara yang berada di regoional Timur Tengah sebesar 15,2% dari total jumlah pengalokasian dananya, strategi selanjutnya yang bisa dilakukan oleh Oxfam ialah menjadi host untuk mempertemukan para pemimpin negara-negara Arab untuk membahas situasi terkini dan mengukur solidaritas negara Arab itu sendiri. Tindakan ini bukan berarti mendikte negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, namun merupakan harapan untuk merajut tali kerjasama dan persaudaraan sesama bangsa. Negara-negara teluk seharusya tidak bertindak seolah-olah keadaan di Suriah baik-baik saja, sejauh ini hanya Lebanon, Irak, ditambah Turki yang mau untuk membantu para pengungsi dan korban sipil yang terdampak konflik. Oxfam bisa memulai ini dari melayangkan korespondensi kepada perwakilan setiap negara dan melakukan jajak pendapat dimana pertemuan seharusnya diadakan.

 Terakhir, Oxfam pastinya mengetahui dengan baik bagaimana status demografi masyarakat Suriah, karena tim dari Oxfam telah biasa melakukan pekerjaan dan tugas lapangan yang juga mempertaruhkan hidup mereka. Karenanya, Oxfam bisa mengedukasi warga Suriah yang terdampak dan mengalami trauma akibat perang untuk mengontrol angka populasi dalam artian perlu adanya pengendalian angka kelahiran dan menekan angka kematian bayi dan ibu. Formula ini dimaksudkan untuk memanajemen antara angka dana bantuan yang tersedia dan angka populasi yang harus diselematkan. Dengan demikian, banyak nyawa akan terselamatkan dan alokasi bantuan bisa disalurkan dengan maksimal dan tepat sasaran.

Referensi:

Berning, S. (2015, Maret 14). Suriah Terjerumus Dalam Bencana Humaniter. Retrieved from DW Konflik Suriah, Kurdi, Idlib: https://p.dw.com/p/1EqLp

Martin Hartberg, D. B. (2015). FAILING SYRIA Assessing the impact of UN Security Council resolutions in protecting and assisting civilians in Syria. Syria: OXFAM.

OXFAM. (2020). Our history. Retrieved from OXFAM INTERNATIONAL The power of people against poverty: https://www.oxfam.org/

Retnaningrum, D. A. (2015, Oktober 08). Oxfam: Bantuan Dunia untuk Suriah Sama Sekali Tidak Memadai. Diambil kembali dari SATU HARAPAN DUNIA: http://www.satuharapan.com/

Tsani, A. F. (2016, Maret 24). Menggugah Peran Negara Arab Terhadap Pengungsi Suriah. Diambil kembali dari MINANEWS: https://minanews.net/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun