Dengan demikian, suatu informasi, dalam kasus ini naskah UU Omnibus, yang tersembunyi di dalam laci pemerintah jelas tidak dapat berlaku sebagai pengukur dan acuan kebenaran terhadap persepsi yang terbangun di kalangan publik. Kita jangan lupa bahwa persepsi itu sendiri terbangun karena tersembunyinya fakta jauh di dalam kantor-kantor pemerintahan.Â
Hal seperti ini bukan kali pertama terjadi di Kepulauan Indonesia. Dalam babak terakhirnya (1936-1942), pemerintah Hindia Belanda juga menghadapi terbentuknya persepsi publik yang tidak sesuai dengan fakta kebijakan yang ada di tangan pemerintah.Â
Halangan terciptanya kesepahaman ini pun sama persis dengan pemerintah Indonesia sekarang, yaitu bobroknya komunikasi publik dari pihak pemerintah.
Pada bulan September 1936, Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge (menjabat, 1931-36) yang sangat reaksioner digantikan oleh Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh (menjabat, 1936-42).Â
Pergerakan kebangsaan Indonesia yang telah lama menahan napas di bawah pemerintahan De Jonge yang mengebiri gerakan-gerakan nasionalis bumiputra kemudian dapat menghembuskan napas kelegaan ketika Tjarda naik ke tampuk pemerintahan.Â
Dalam pandangan sejawatnya dan beberapa tokoh pergerakan, gubernur jenderal baru merupakan pribadi yang santun dan berlatar belakang liberal.Â
Sutan Sjahrir (1909-66) di bawah nama pena Sjahrazad dalam Indonesische Overpeinzingen (Renungan Indonesia, 1946) menaruh harapan bahwa Tjarda mungkin merupakan orang yang tepat yang dapat melaksanakan perubahan tata negara Hindia Belanda menjadi lebih berdaulat dan memberi konsesi kepada pergerakan kebangsaan.Â
Namun demikian, catatan pers kolonial hingga karya kesejarahan pada akhirnya menuliskan bahwa harapan tersebut jauh dari kenyataan dan bahkan memasukkan masa pemerintahan Tjarda ke dalam kategori periode reaksioner Hindia Belanda (reaksioner artinya tidak menginginkan adanya perubahan struktural politis apa pun dan dalam banyak kasus represif terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia).Â
Apakah benar bahwa Tjarda sama sekali tidak mengusahakan kedaulatan Hindia Belanda dan memberi konsesi kepada pergerakan nasional meskipun ia berpendirian liberal?
Saya mencoba menjawab pertanyaan ini di dalam tesis sarjana saya ("Mempertahankan Sebuah Imperium: Pembuatan Kebijakan Kolonial Hindia Belanda Masa Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, 1936-1942").Â
Catatan pers kolonial, kritik dari sarjana Belanda sezaman, hingga buku-buku sejarah Indonesia tampaknya salah paham terhadap maksud dan kebijakan Tjarda.Â
Permulaan dari seluruh kesalahpahaman terhadap pendirian Tjarda dimulai saat sang gubernur jenderal, pada tahun kedua pemerintahannya, dianggap memberi catatan kepada parlemen Belanda untuk menolak 'Petisi Soetardjo'.Â