Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Mental Pajak dan Utang Nusantara

20 Juni 2019   08:00 Diperbarui: 24 April 2022   23:10 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Schip in de baai van Ambon (KITLV, 1910)

Pada saat saya mengadakan penelitian mengenai dokumen-dokumen Konperensi Medja Boendar (KMB) tahun 2017, persoalan mengenai utang Indonesia mulai mengemuka. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa kali memberikan penjelasan rinci menyoal beban utang Indonesia dan kondisi kesehatan perekonomian negara dalam berbagai forum. 

Pembahasan mengenai utang Indonesia membuat Sri Mulyani merasa perlu untuk menelusuri jejak sejarah utang Indonesia, setidaknya hingga masa awal pendirian republik. 

Dengan tonggak sejarah yang sudah ditentukan tadi, penelitian saya mengenai dokumen-dokumen KMB menjadi bersangkutan dengan arus besar pembahasan utang Indonesia, bahkan dapat menjadi pintu masuk untuk menelusuri asal mula utang Indonesia.

Sekalipun demikian, tulisan ini tidak akan membicarakan mengenai asal mula utang Indonesia tadi. Melihat perkembangan belakangan ini, tampaknya topik mengenai perilaku negara dan masyarakat dalam menghadapi beban kewajiban seperti utang dan pajak cukup relevan untuk dibahas. 

Pembahasan mengenai perilaku dan alam pikiran masyarakat kita dalam menghadapi beban kewajiban tadi dapat ditarik garis sejarahnya hingga masa klasik. Pajak yang merupakan salah satu bentuk dari utang masyarakat kepada negara tercipta atas konsep kepemilikan tanah di Asia Tenggara. 

Berbeda dengan konsep kepemilikan tanah di Eropa, masyarakat di Asia Tenggara dibentuk untuk mempercayai bahwa seluruh tanah adalah milik seorang penguasa. 

Dengan demikian, orang-orang yang menggarap tanah untuk kehidupan mereka berutang sewa pada penguasa yang memiliki seluruh tanah tadi. Pada kasus Asia Tenggara, penguasa adalah raja --yang pada masa klasik merupakan perwujudan dewa-dewa dan pada masa Islam merupakan wakil Tuhan di dunia.

Hal ini berbeda sekali dengan masyarakat Eropa yang menganggap bahwa tanah adalah milik individu. Para raja yang bermula dari golongan ahli perang mendapat tanah sebagai konsesi atas perlindungannya pada kelompok masyarakat. Dengan demikian, tanah diberikan oleh masyarakat pada penguasa.

Dengan perbedaan ini, alam pikiran masyarakat Asia Tenggara dengan Eropa juga jelas berbeda. Masyarakat Asia Tenggara sangat patuh pada konsep kepemilikian tanah ini sehingga akan membayar pajak tanah dengan baik.

Lebih lagi, kewajiban membayar adalah suatu hal yang sakral di antara masyarakat Nusantara masa klasik. Suatu perjanjian utang antara dua orang selalu dipenuhi oleh berbagai macam sumpah yang berisi kutukan bagi orang yang tidak membayar utang-utangnya menurut perjanjian. 

Perjanjian semacam ini bahkan dituliskan dalam prasasti yang berjenis suddhapatra. Melalui kenyataan ini, jelas sekali bahwa beban kewajiban untuk membayar utang bermakna sangat penting di kalangan masyarakat. Bercermin dari hal itu, dapat pula diartikan bahwa kewajiban untuk membayar pajak kepada negara juga menunjukkan kesetiaan bayar yang sama.

Para pelaut Prancis yang mencapai Nusantara pada abad ke-17 juga mencatat bahwa golongan pedagang Melayu menjunjung tinggi kejujuran dalam berdagang. Para pedagang Melayu tidak menggunakan surat perjanjian transaksi dan percaya begitu saja pada para pembelinya. 

Hal yang lebih mengajaibkan bagi para pelaut Prancis adalah keterlibatan penguasa-penguasa negeri dalam perdagangan dengan disertai mental dan perilaku yang sama seperti orang-orang pada umumnya. Para penguasa ini disebut sebagai raja-raja pedagang oleh para sarjana ahli Asia Tenggara. 

Setelah melakukan pengamatan yang seksama, para pelaut Prancis itu sadar bahwa hal ini disebabkan oleh kesetiaan bayar utang dan kejujuran yang tinggi di negeri-negeri bawah angin ini.

Setelah para pedagang Eropa bergabung dalam konstelasi perdagangan Asia Tenggara, transaksi tanpa perjanjian itu mulai mengkhawatirkan mereka. Dengan demikian, mereka mengenalkan sistem perjanjian yang telah dikenal di Eropa. 

Masyarakat Asia Tenggara sesungguhnya juga mengenal sistem perjanjian menurut ukuran mereka dan biasanya dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun hal ini tidak umum dilakukan karena perdagangan regional jarang mengalami masalah utang-utang yang tak terbayar.

Mental pembayaran utang dan pajak yang demikian tadi terus dipertahankan hingga masa kolonial. Pada permulaan abad ke-19, Hindia Belanda menikmati kesuksesan cultuurstelsel atau sistem penanaman yang bermuara pada penyerahan wajib karena mental pembayaran pajak masyarakat Jawa. 

Tanpa mental pajak yang penuh kesetiaan tadi, Hindia Belanda tidak mungkin dapat mengumpulkan kekayaan yang luar biasa. Masyarakat Jawa terus terikat pada pemikiran bahwa pajak adalah suatu beban kewajiban bayar yang penting dan sakral. 

Oleh sebab itu, masyarakat terus memenuhi tuntutan penyerahan wajib selama mereka dapat memenuhi kebutuhan kalori mereka yang paling minimum. Bertolak dari kenyataan ini, kita dapat menambahkan faktor mentalitas masyarakat yang setia membayar pajak pada deretan panjang faktor kesuksesan cultuurstelsel. 

Tidak saja di Jawa, saat Hindia Belanda menaikkan pajak produksi komoditas karet tahun 1936, masyarakat penghasil karet di Sumatra Timur tetap melakukan produksi seperti biasa. 

Padahal, pemerintahan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh ingin mengurangi produksi karet dengan mencoba menaikkan pajak. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat pada masa itu masih menganggap bahwa pajak adalah suatu kewajiban penting yang pada satu sisinya mengandung arti sakral. 

Masyarakat bukan saja menganggap pajak sebagai sebuah instumen perekonomian. Mentalitas semacam ini telah dibentuk oleh dinamika sejarah sejak masa klasik hingga masa modern.

Bila kita beralih dari masa kolonial, Republik Indonesia pada dekade 1950 sesungguhnya menunjukkan kenyataan yang tidak berbeda menyoal mentalitas kewajiban bayarnya. 

Statuta KMB tahun 1949 menyatakan bahwa Republik Indonesia yang merdeka sebagai ganti dari Negara Koloni Hindia Belanda mewarisi harta dan utang Hindia Belanda. Utang-utang ini juga mencakup pengeluaran Kerajaan Belanda untuk menyerang Republik Indonesia pada Agresi Militer Pertama dan Agresi Militer Kedua.

Pemerintahan Soekarno dan para perdana menteri telah berhasil membayar delapan puluh persen utang yang nilainya mencapai lebih dari satu miliar dolar Amerika Serikat. Ketika Republik Indonesia memutuskan untuk membatalkan KMB tahun 1956, jumlah utang yang belum terbayar tidak lebih dari dua ratus juta dolar.

Melalui episode-episode sejarah tadi, kita dapat merefleksikan bahwa mentalitas masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan pembayaran kewajiban sungguh sangat baik. 

Apakah mentalitas ini masih bertahan di antara kita sekarang? Dalam beberapa kesempatan, sesungguhnya dapat dilihat bahwa kesetiaan bayar ini tetap bertahan pada kalangan menengah ke bawah. 

Namun demikian, golongan elite perekonomian tampaknya belum menunjukkan kesetiaan bayar pajak ini. Dengan bercermin pada sejarah panjang kepulauan ini, seharusnya masyarakat menyadari bahwa kesetiaan bayar pada beban-beban kewajiban seperti utang dan pajak merupakan suatu bentuk warisan sejarah yang baik dan perlu diamalkan.

Suatu ciri yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa yang lain adalah sejarahnya, bukan ras, suku, dan lainnya. Dengan demikian, bila kita tidak belajar dari sejarah kita sendiri, siapa kita? Apakah yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain?

Daftar Sumber
Agung, Ide Anak Agung Gde. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti: Kumpulan Tulisan Boechari. Jakarta: KPG.
Hall, Kenneth R. 1987. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
Leur, J. C. Van. 1960. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History. Bandung: Sumur Bandung.
Notosoetardjo. 1956. Dokumen-dokumen Konperensi Medja Bundar (KMB). Jakarta: Penerbit Endang.
Reinhart, C. 2019. Menyintas Tuntutan Dagang Jepang: Restriksi dan Perpajakan Karet di Hindia Belanda Tahun 1936---1942. Paper Tidak Terpublikasi.
Van den Braak, B. H. dan J. Th. J. van den Berg. 2017. Soevereiniteitsoverdracht aan Indonesi in 1949. Den Haag: Tweede Kamer.
Dorleans, Bernard. 2016. Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan abad XX. Jakarta: KPG.

Penulis
C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun