Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dukungan Buddhisme pada Environmentalisme

11 Mei 2019   00:12 Diperbarui: 11 Mei 2019   01:05 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
An event commemorating the 700th anniversary of the establishment of Nichiren Buddhism (Josei Toda Foundation, 1952)

Semua wujud di dunia ini adalah hidup. Hal ini tentu amat bertentangan dengan prinsip keilmuan yang membatasi pengertian makhluk hidup pada beberapa ciri umum yang ditunjukkannya. Berdasarkan ciri umum tersebut, disiplin ilmu biologi pada akhirnya menciptakan berbagai taksonomi makhluk hidup dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks.

Binatang --termasuk manusia, dan tumbuhan menempati puncak taksonomi itu dalam hal kompleksitas susunan sel yang membentuknya. Namun demikian, Buddhisme berpendapat bahwa semua wujud di dunia ini adalah hidup, termasuk tanah, bebatuan, air, dan benda-benda lain yang dalam disiplin ilmu biologi dipandang sebagai benda mati.

Berangkat dari pengetahuan awal itu, tidak berlebihan bila kita mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana mungkin benda-benda "mati" tadi dapat berkehidupan? Untuk menjawab pertanyaan ini, Buddhisme tidak pernah mengelompokkan sesuatu hal menjadi hidup dan tak hidup. Dalam sesuatu yang dianggap tidak hidup menurut standar keilmiahan tetap tersimpan suatu kehidupan yang tersembunyi.

Untuk itu, Buddhisme membagi kategori perwujudan secara agak berbeda. Buddhisme membagi kategori itu menurut tingkat kesadarannya, yaitu ujo untuk merujuk pada wujud-wujud yang berperasaan dan memiliki kesadaran dan hijo untuk merujuk pada wujud-wujud tanpa perasaan dan tidak memiliki kesadaran.

Manusia dan binatang lainnya masuk ke dalam kategori pertama dengan amat jelas. Sedangkan pepohonan, dalam pandangan Buddhisme justru masuk ke dalam kategori kedua. Dengan pemaparan ini, mungkin muncul pemikiran bahwa Buddhisme justru memperbolehkan seseorang untuk merusak hutan karena pepohonan sama sekali tidak memiliki perasaan dan kesadaran. Hal ini sama sekali tidak benar.

Dari pembabaran pertama telah jelas bahwa semua wujud di dunia adalah hidup dan Buddhisme tidak membenarkan untuk menyakiti wujud yang hidup. Lalu bagaimana wujud hijo yang tanpa perasaan dan kesadaran itu dapat disebut berkehidupan? Wujud-wujud tanpa perasaan seperti pepohonan, sungai, tanah, dan lainnya sejatinya juga memiliki sifat perasa yang terpendam.

Seperti makhluk perasa yang memiliki bagian tubuh yang tanpa rasa layaknya kuku dan rambut pada binatang, makhluk tanpa rasa juga sejatinya memiliki sifat perasa yang terpendam. Hal ini secara jelas mengkritik arus besar pemikiran yang hanya memfokuskan diri untuk menjaga makhluk-makhluk perasa dan mengabaikan makhluk-makhluk yang dianggap tanpa rasa.

Pada air misalnya, secara ilmiah telah dibuktikan pada sekitar abad kedua puluh bahwa perasaan positif melalui teori kuantum dapat mengubah model senyawa air menjadi lebih menyembuhkan dan sebaliknya perasaan negatif akan merusak senyawa air sehingga menjadi kurang bermutu.

Bila kita pertimbangkan kembali, sesungguhnya memisahkan antara sesuatu yang "hidup" dan "tidak hidup" secara ilmiah hanya dapat berlangsung pada tempo yang terbatas. Air pada sebuah gelas dinyatakan sebagai "tidak hidup", namun ketika seseorang menenggaknya, bagaimana untuk membedakan antara unsur air yang "hidup" dan "tidak hidup" dalam tubuh seseorang? Tidakkah air itu bersatu dengan aspek "hidup" yang disematkan pada manusia?

Dengan demikian, sesungguhnya semua wujud yang ada di alam semesta adalah hidup dan memiliki kontribusinya terhadap kehidupan. Kurang dari seribu abad sebelum teori keilmiahan dapat membuktikan sifat perasa pada air, tokoh-tokoh Buddhisme telah mengungkapkan konsepsi kehidupan yang harus memandang kedudukan ujo dan hijo secara setara. Konsepsi ini pada masa kini dapat menjadi dasar yang kuat untuk mendukung gerakan penyelamatan lingkungan atau filsafat environmentalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun