I. Ketika Kekaguman Berubah Jadi Ancaman
Sejenak, bayangkan sebuah pemandangan yang mungkin pernah Anda saksikan di sudut kota: seekor monyet kecil yang cerdas mengenakan pakaian boneka, mengayuh sepeda mini, atau menirukan gerakan lucu diiringi suara musik. Tawa penonton pecah, dan sejumlah uang berpindah tangan sebagai imbalan. Pemandangan ini, yang dikenal sebagai 'topeng monyet,' seringkali dianggap sebagai hiburan tradisional yang menghibur. Kemudian, di media sosial, kita disuguhkan video-video menggemaskan dari para "pecinta monyet" (monkey lover), yang menunjukkan bayi-bayi monyet memakai popok, minum dari botol susu, dan diajak bermain layaknya anak manusia.Â
Potret-potret ini menciptakan ilusi kedekatan, seolah-olah monyet-monyet ini adalah sahabat lucu yang bisa hidup berdampingan dengan kita. Namun, di balik senyum dan tawa itu, tersembunyi sebuah krisis konservasi yang mendalam. Satwa-satwa yang akrab dengan keseharian kita, yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina), kini menghadapi ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup mereka.
Data ilmiah menunjukkan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Sejak Maret 2022, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) telah menaikkan status konservasi monyet ekor panjang dan beruk ke dalam Daftar Merah sebagai satwa yang Endangered (Terancam Punah). Status ini adalah sinyal darurat global yang menandakan penurunan populasi drastis di alam liar. Namun, sebuah kontradiksi yang menyakitkan muncul di Indonesia, di mana kedua spesies ini belum ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi secara hukum. Â Â
Ketidakjelasan status hukum ini menjadi celah masif yang melemahkan semua upaya konservasi. Perdagangan dan eksploitasi, baik yang legal maupun ilegal, terus berlanjut tanpa penegakan hukum yang kuat. Lembaga-lembaga seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) seringkali tidak memiliki dasar hukum yang memadai untuk menindak para pelaku, sehingga praktik ini sulit diberantas dan terus berulang. Paradoks ini merupakan akar dari berbagai bentuk eksploitasi yang terjadi, menjerumuskan Macaca ke dalam ancaman kepunahan. Â
1. Di Balik Topeng dan Layar Gawai: Potret Eksploitasi Macaca
Eksploitasi monyet di Indonesia mengambil berbagai bentuk, dari yang terlihat lucu di mata publik hingga yang tak terlihat di balik layar media sosial. Semua praktik ini memiliki satu benang merah: penderitaan dan ancaman terhadap keberlanjutan hidup mereka.
2. Topeng Monyet: Jeritan Sunyi di Balik Tawa Palsu
Pertunjukan 'topeng monyet' adalah salah satu bentuk eksploitasi yang paling nyata. Monyet-monyet yang dipaksa melakukan atraksi seperti mengendarai sepeda, menari, atau berjalan layaknya manusia, tidak terlahir dengan kemampuan ini. Di balik pertunjukan yang dianggap menghibur, terdapat sebuah kisah pelatihan yang brutal dan kejam. Monyet-monyet ini seringkali dicuri dari alam liar saat masih bayi, dan untuk mendapatkannya, para pemburu tidak ragu membunuh induknya terlebih dahulu. Proses pelatihan yang kejam melibatkan penyiksaan fisik dan psikologis. Mereka dipaksa berdiri dengan dua kaki, dikurung dalam kotak kecil dan gelap saat tidak beraksi, bahkan dirantai lehernya dengan ketat untuk memastikan kepatuhan. Luka fisik dan trauma batin menjadi hal yang lazim bagi satwa-satwa ini. Sebuah penyelamatan yang dilakukan oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN) di Cirebon berhasil membebaskan 22 monyet yang dipaksa menjadi penari. Monyet-monyet ini ditemukan dalam kondisi mengenaskan, menderita luka, trauma, dan malnutrisi. Proses rehabilitasi pasca-penyelamatan adalah jalan panjang yang penuh tantangan. Monyet-monyet ini membutuhkan pemeriksaan medis yang intensif, termasuk pengobatan luka dan penyakit, sebelum akhirnya diperkenalkan ke primata lain untuk membangun kembali perilaku sosial mereka yang hilang. Kisah-kisah penyelamatan ini, seperti yang diabadikan oleh Balai Besar KSDA Jawa Timur, menunjukkan betapa setiap jerit sunyi dari balik jeruji besi tidak boleh diabaikan, dan upaya penyelamatan terus dilakukan untuk mengembalikan monyet-monyet ini ke habitat yang layak.
3. 'Monkey Pet': Dari Konten Viral Menuju Perdagangan Ilegal
Fenomena 'topeng monyet' kini bermigrasi ke ranah digital melalui tren memelihara monyet sebagai hewan peliharaan, yang dipicu oleh para influencer di media sosial. Data dari Kukangku menunjukkan lonjakan drastis dalam konten monyet peliharaan di Instagram, meningkat sembilan kali lipat sejak 2020. Dari 179 unggahan pada 2019, jumlahnya melonjak menjadi 1.600 pada 2021. Hal ini berbanding lurus dengan data perdagangan, di mana 6.258 monyet dijual dalam kurun waktu 2020-2021, 92% di antaranya adalah bayi dan remaja. Â Â
Motivasi di balik tren ini didorong oleh keinginan untuk mengikuti idola dan memenuhi kebutuhan sosial, terutama selama masa pandemi. Namun, memelihara monyet adalah sebuah keputusan yang sangat berbahaya. Sifat alaminya sebagai satwa liar dan primata sosial akan hilang. Ketika dewasa, monyet-monyet ini cenderung menjadi agresif dan tidak bisa dikendalikan, yang seringkali berujung pada penelantaran atau bahkan penyiksaan. Permintaan yang tinggi akan bayi monyet ini juga secara langsung mendorong perburuan brutal di alam liar, di mana pemburu membunuh induk untuk mendapatkan anak-anaknya. Â Â
II. Bahaya yang Mengintai: Monyet, Manusia, dan Zoonosis
Eksploitasi primata ini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup satwa itu sendiri, tetapi juga menjadi bom waktu bagi kesehatan manusia. Kedekatan genetik antara primata dan manusia membuat risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) menjadi sangat tinggi. Primata, termasuk Macaca, dapat menjadi inang atau  reservoir bagi virus dan parasit berbahaya seperti Herpes B, TBC, dan berbagai parasit gastrointestinal.  Â
Sebuah studi kasus di Pasar Ciampea, Bogor, menunjukkan bagaimana monyet-monyet yang mencari makan di tumpukan sampah berpotensi besar menyebarkan zoonosis. Interaksi manusia dan monyet di area yang tidak steril, ditambah dengan perilaku makan monyet yang mengonsumsi makanan terbuka dan sisa-sisa dari sampah, menciptakan kondisi ideal untuk penularan penyakit. Risiko penularan ini tidak hanya satu arah, monyet juga dapat tertular penyakit dari manusia.