Hari Raya Idul Adha bukan hanya momen untuk beribadah dan memperingati kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, tetapi juga menjadi saat yang penuh makna dalam mempererat tali silaturahmi antarwarga. Di berbagai pelosok Indonesia, suasana kebersamaan ini terasa begitu kental, apalagi ketika warga desa berkumpul untuk menyembelih hewan kurban dan kemudian mengolahnya bersama-sama. Salah satu tradisi yang paling dinanti adalah momen "bakar-bakar" daging kurban---acara sederhana namun penuh kehangatan.
Di sebuah desa kecil di pinggiran kota, tepat setelah salat Idul Adha selesai dilaksanakan, warga secara bergotong-royong mempersiapkan prosesi penyembelihan hewan kurban. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, semuanya turut serta dalam kegiatan ini. Ada yang bertugas memegang hewan, menyembelih sesuai syariat, membersihkan, hingga membungkus daging untuk dibagikan kepada yang berhak. Setelah proses penyembelihan selesai, biasanya sebagian daging kurban dimasak bersama-sama.
Inilah saat yang dinanti: bakar-bakar daging kurban. Warga yang sejak pagi sudah sibuk bekerja pun kini berkumpul di sekitar tungku atau bakaran. Daging yang baru saja dipotong dipersiapkan menjadi sate atau sekadar dibakar sederhana dengan bumbu kecap dan sambal. Meski tidak mewah, suasana yang tercipta begitu hangat dan akrab.
Anak-anak tertawa riang bermain di halaman, sementara para remaja sibuk mengipasi arang dan membalik-balik tusukan daging di atas bara. Kaum ibu menyiapkan nasi, sambal, dan lalapan untuk menemani santapan hasil bakar-bakar itu. Obrolan ringan pun mengalir begitu saja---tentang hasil panen, harga sembako, kabar anak-anak yang merantau, hingga rencana pembangunan jalan desa. Semua terjadi dalam suasana penuh kekeluargaan.
Bakar-bakar daging kurban ini bukan sekadar soal makan bersama. Ia telah menjadi simbol dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat desa: gotong royong, kesederhanaan, dan kebersamaan. Tak ada batasan status sosial di sini---semua duduk melingkar, makan dari nampan yang sama, dan tertawa dalam satu irama.
Bagi banyak orang desa, Hari Raya Idul Adha bukanlah tentang pakaian baru atau makanan mewah. Justru momen seperti ini---dimana bisa duduk dan makan bersama warga lain---adalah yang paling membekas. Momen ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu berasal dari hal-hal besar, melainkan dari kebersamaan yang tulus.
Tradisi bakar-bakar ini juga sering dimanfaatkan untuk mempererat hubungan antar generasi. Para orang tua bisa berbagi cerita tentang masa muda mereka kepada anak-anak, mengajarkan nilai-nilai kehidupan, dan mengenalkan tradisi-tradisi desa yang mulai tergerus zaman. Bagi generasi muda, ini adalah pelajaran hidup yang tak bisa ditemukan di bangku sekolah.
Selain itu, kegiatan ini memperkuat rasa memiliki terhadap komunitas. Ketika semua orang berkontribusi---baik dalam bentuk tenaga, bahan makanan, atau sekadar tawa---rasa solidaritas tumbuh secara alami. Inilah yang membuat kehidupan desa terasa begitu dekat dan penuh makna.
Meskipun terlihat sederhana, persiapan acara ini memerlukan kerja sama yang baik. Biasanya, beberapa hari sebelum Idul Adha, warga telah membentuk panitia kecil yang mengatur teknis pembagian daging, penentuan lokasi bakar-bakar, hingga siapa saja yang membawa alat masak dan bumbu. Semua dilakukan secara sukarela dan tanpa pamrih.
Tahun ini, suasana terasa lebih istimewa karena banyak perantau yang pulang kampung untuk merayakan Idul Adha bersama keluarga. Mereka membawa cerita dari kota, tetapi yang mereka rindukan tetaplah suasana desa---dengan segala kesederhanaan dan kehangatannya. Bahkan, beberapa di antaranya ikut membantu dari pagi hingga malam, seolah mengisi kembali energi silaturahmi yang sempat renggang karena jarak.
Saat malam mulai turun dan bara mulai padam, satu per satu warga berpamitan pulang dengan senyum di wajah. Perut kenyang, hati senang. Anak-anak pun tertidur lelap setelah seharian bermain dan menyantap daging bakar bersama teman-teman. Esok hari, cerita tentang bakar-bakar daging kurban ini akan mereka bagikan kepada teman sekolah atau bahkan menjadi kenangan yang akan mereka bawa hingga dewasa.
Pada akhirnya, tradisi bakar-bakar daging kurban bersama warga desa bukan hanya tentang makanan atau kegiatan sesaat. Ia adalah warisan budaya yang sarat makna. Di tengah arus modernisasi yang cepat, tradisi seperti ini perlu terus dijaga agar nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan tidak luntur. Karena di sanalah letak kekuatan sebuah komunitas---pada kemampuannya untuk berkumpul, berbagi, dan merayakan hidup bersama, meski hanya dengan sepotong sate dan tawa yang tulus.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI