Mohon tunggu...
Regita Cahyani Putri Arfan
Regita Cahyani Putri Arfan Mohon Tunggu... Mahasiswa

INFJ

Selanjutnya

Tutup

Games

Top Up, Habis, Repeat: Bagaimana Game Membentuk Budaya Konsumsi Generasi Digital

10 Oktober 2025   14:26 Diperbarui: 10 Oktober 2025   15:11 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan Top Up Game (Sumber: Kiosbank)

Di era digital, konsumsi tidak lagi terbatas pada membeli barang fisik. Sekarang, jutaan orang setiap hari mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak berwujud, seperti koin virtual, skin karakter, atau senjata digital dalam permainan daring. Fenomena top up game, yaitu praktik membeli mata uang virtual dengan uang nyata, telah menjadi bagian penting dari budaya populer yang menggabungkan hiburan, gaya hidup, dan ekonomi. Di balik keseruannya, praktik ini mencerminkan wajah baru dari konsumerisme digital, di mana citra menjadi lebih penting daripada kenyataan dan identitas pemain dibentuk oleh kekuatan iklan serta simbol-simbol virtual.

Barney Warf (2011) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi menciptakan apa yang disebut sebagai penyusutan ruang dan waktu, yaitu proses yang membuat jarak seolah tidak lagi berarti karena semuanya bisa diakses dengan cepat. Kecepatan dan kemudahan inilah yang kemudian menjadi nilai baru dalam kehidupan digital, bahkan sering kali dianggap lebih penting daripada pengalaman bermain itu sendiri.

Iklan-iklan top up yang bertebaran di media sosial tidak hanya menawarkan produk, tetapi juga membentuk cara berpikir baru tentang makna keberhasilan dan status sosial di dunia virtual. Pemain yang mampu membeli lebih banyak item eksklusif dianggap lebih unggul dan lebih layak dihormati. Dalam konteks ini, game tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga cermin dari logika kapitalisme yang menilai manusia berdasarkan kemampuan membeli.

Ketika Imajinasi Menggantikan Realitas

Pemikiran Jean Baudrillard tentang hiperrealitas menjelaskan bahwa masyarakat modern hidup di dunia di mana citra dan simbol menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Dalam konteks top up game, skin langka atau karakter mahal bukan hanya bagian dari permainan, melainkan simbol status dan eksistensi digital. Pemain tidak hanya ingin menang, tetapi ingin terlihat menang. 

Pengalaman bermain pun bergeser menjadi ajang representasi diri. Dunia virtual game kemudian menjadi bentuk hiperrealitas, di mana batas antara fantasi dan kenyataan semakin kabur. Iklan-iklan top up sering menampilkan sosok pemain sukses yang bahagia dan percaya diri dengan akun yang terlihat mahal. Seperti dikatakan Baudrillard, yang sebenarnya dikonsumsi bukanlah barangnya, melainkan tanda dari barang itu. Membeli skin "legendary" berarti membeli citra sosial bahwa seseorang termasuk ke dalam kelompok elite digital, meski hanya dalam dunia maya.

Menurut temuan Purba dan Raharja (2022), tingkat keterlibatan emosional pemain memiliki hubungan positif dengan kecenderungan melakukan pembelian impulsif terhadap item virtual. Hal ini memperkuat pandangan bahwa perilaku konsumtif dalam game tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal seperti iklan, tetapi juga oleh faktor internal berupa kebutuhan psikologis untuk mempertahankan rasa kesenangan dan identitas digital.

Kelas dan Simbol dalam Budaya Konsumen

Mike Featherstone dan Pierre Bourdieu melihat konsumsi bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga tindakan simbolik yang berfungsi untuk membedakan satu kelompok sosial dengan kelompok lainnya. Di dunia game, hal ini terlihat jelas ketika pemain membangun identitas mereka melalui kepemilikan item digital. Barang-barang virtual menjadi simbol status dan gaya hidup, seperti tas bermerek di dunia nyata. 

Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai bentuk kapital simbolik, yaitu kekuasaan yang diperoleh melalui penguasaan tanda dan simbol. Sementara Featherstone menekankan bahwa budaya konsumen modern mengajarkan individu untuk membentuk identitas melalui gaya dan penampilan. Pemain yang mampu melakukan top up besar dianggap memiliki selera dan kedudukan yang lebih tinggi, gaya itu diwujudkan melalui tampilan karakter dan kelengkapan digital yang dibeli.

Dengan demikian, top up bukan lagi sekadar transaksi ekonomi, melainkan cara untuk membangun citra diri. Ketika seseorang mengeluarkan uang untuk membuat avatarnya terlihat lebih keren, sebenarnya ia sedang ikut dalam permainan sosial yang sama dengan masyarakat kapitalis: membeli makna untuk memperkuat identitas.

Hiburan sebagai Ideologi Baru

Konsumerisme digital bekerja melalui logika hegemoni yang halus. Antonio Gramsci pernah menjelaskan bahwa kekuasaan tidak selalu menindas secara paksa, tetapi justru berjalan ketika masyarakat menyetujuinya tanpa sadar. Iklan top up bekerja dengan cara serupa. Ia menjual gagasan tentang kebebasan memilih dan kesenangan pribadi, padahal pada saat yang sama menjerat pemain dalam siklus konsumsi yang tiada akhir.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai kapitalisme telah menyusup ke dalam dunia hiburan. Game bukan lagi sekadar permainan, melainkan ruang di mana nilai-nilai seperti kompetisi, kecepatan, dan individualisme dilegitimasi sebagai bagian dari kesenangan. Para pemain menikmati permainan itu tanpa sadar bahwa mereka sedang menjadi bagian dari sistem ekonomi yang terus mendorong mereka untuk membeli lebih banyak.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zendle, Meyer, dan Over (2022), perilaku top up dalam game menunjukkan kemiripan dengan mekanisme perilaku perjudian, karena keduanya menimbulkan dorongan psikologis berupa rasa penasaran dan kepuasan instan yang membuat pemain sulit mengontrol pengeluaran. Fenomena ini memperlihatkan adanya potensi kecanduan konsumsi digital di balik citra hiburan yang tampak menyenangkan.


Penutup

Fenomena top up game menunjukkan bagaimana budaya populer berperan penting dalam membentuk cara kita memahami diri dan dunia. Melalui teknologi, waktu dan ruang menjadi lebih rapat, dan melalui media, realitas menjadi semakin kabur. Iklan menciptakan dunia baru di mana citra lebih berkuasa daripada substansi, pemain akan lebih dianggap keren ketika memiliki item langka dan avatar yang mahal. Dalam dunia ini, pemain tidak hanya bermain game, tetapi juga ikut dalam permainan konsumsi. Mereka membeli bukan karena kebutuhan, tetapi karena keinginan untuk diakui, untuk terlihat, dan untuk menjadi bagian dari komunitas simbolik yang dibangun di atas citra. 

Namun, kesadaran kritis masih mungkin muncul. Ketika kita memahami bahwa dunia digital hanyalah salah satu bentuk realitas, kita dapat memilih untuk tidak sepenuhnya tunduk pada logika konsumtif yang menipu. Bermain bisa kembali menjadi kegiatan yang murni untuk bersenang-senang, bukan untuk mengejar status semu. Ketika kita menyadari bahwa top up berlebihan di game hanya lah kegiatan "buy for nothing", mungkin di situlah makna sejati dari "bermain" bisa kita temukan kembali.

Referensi


Featherstone, M. (1987). Consumer Culture, Symbolic Power and Universalism. In G. Stauth & S. Zubaida (Eds.), Mass Culture, Popular Culture, and Social Life in the Middle East. Routledge.

Purba, R., & Raharja, S. J. (2022). A Study of Flow and Its Factors Towards Compulsive Buying Based on Player Behavior of Mobile Legends In-Game Items. Dinasti International Journal of Management Science, 3(3), 437--451.

Warf, B. (2011). Teaching Time--Space Compression. Journal of Geography in Higher Education, 35(2), 143--161.

Wolny, R. W. (2017). Hyperreality and Simulacrum: Jean Baudrillard and European Postmodernism. European Journal of Interdisciplinary Studies, 3(3), 75--77.

Zendle, D., Meyer, R., & Over, H. (2022). Loot box spending is associated with problem gambling but not mental wellbeing. Royal Society Open Science, 9(3), 220111.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Games Selengkapnya
Lihat Games Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun