Seputar Kampus Merdeka
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim resmi meluncurkan program Kampus Merdeka melalui rapat koordinasi kebijakan pendidikan tinggi di Gedung D Kemendikbud, Senayan, Jakarta pada Jumat, 24/01/2020 silam.
Dilansir dari kemendikbud.go.id, Kampus Merdeka dijabarkan sebagai upaya lanjutan dari serangkaian kebijakan baru Kemedikbud berpayungkan tema Merdeka Belajar.
Kampus yang semula berfungsi sebagai wadah tatap muka antara dosen dan mahasiswa kini diberikan kebebasan otonomi (untuk lembaga pendidikan), terbebas dari belenggu birokratisasi (untuk dosen) serta mahasiswa yang diberi kebebasan untuk memilih bidang yang disukai.
Baca juga: Konversi 20 SKS Kampus Merdeka Belajar, Mudahkah?
Sejatinya, tujuan pencanangan program Kampus Merdeka ini ialah untuk menciptakan kultur belajar inovatif, adaptif serta sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap perguruan tinggi.
Kebijakan Kampus Merdeka ini merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar. "Pelaksanaannya paling memungkinkan untuk segera dilangsungkan, hanya mengubah peraturan menteri, tidak sampai mengubah Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang," ujar Nadiem, Jumat (24/1).
Nadiem berpendapat bahwa kebijakan ini memang ditujukan untuk mendorong mahasiswa menguasai berbagai keilmuan sebagai bekal memasuki dunia kerja. Maka dari itu melalui Kampus Merdeka mahasiswa diberikan keleluasaan selama dua semester untuk melakukan kegiatan lapangan di luar program studi (prodi) mereka.
Hal ini merupakan aktualisasi dari visi dan misi Presiden Joko Widodo, yakni menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih berkualitas dan unggul. Jadi, mahasiswa dikenalkan dunia kerja sejak dini kemudian dapat beradaptasi di lingkungan tersebut. Ia menambahkan, bahwa dengan kebijakan Kampus Merdeka tanggung jawab pendidikan tidak hanya diampu oleh lembaga pendidikan saja, namun bisa diampu bersama oleh industri, asosiasi, hingga unsur masyarakat.
Ada 4 poin penting yang diusung oleh program Kampus Merdeka sebagai dasar kebijakan dan penyesuaian pada program tersebut, antara lain:
- Pemberian otonomi untuk membuka maupun mendirikan program studi baru bagi PTN maupun PTS yang memiliki akreditasi A ataupun B, serta telah melakukan kerjasama dengan organisasi atau universitas jajaran QS Top 100 World Universities. Nantinya, seluruh prodi baru akan mendapatkan akreditasi C secara otomatis (tidak berlaku untuk prodi pendidikan dan kesehatan) serta tracer study yang diwajibkan setiap tahunnya.
- Penyederhanaan akreditasi pada perguruan tinggi dan pemberian akreditasi A pada Perguruan Tinggi yang mendapatkan akreditasi internasional. Pengajuan re-akreditasi PT dan prodi juga dibatasi paling cepat 2 tahun setelah mendapatkan akreditasi yang terakhir kali, namun PT berakreditasi B dan C dapat mengajukan peningkatan akreditasi kapanpun.
- Mempermudah persyaratan pengubahan status PTN Satker ke PTN BH tanpa terkekang status akreditasi. Pada dasarnya, semua PTN dengan status badan hukum akan mendapat kesempatan lebih besar untuk bermitra dengan adanya industri terkait dengan proyek komersil lainnya, kemudian dapat melakukan fleksibilitas finansial sesuai yang paling dibutuhkan.
- Pemberian kemudahan untuk berkegiatan di luar kelas selama dua semester di luar prodi dan Satuan Kredit Semester (SKS) yang mahasiswa miliki. Nadiem menilai bahwa bobot SKS untuk kegiatan di lapangan sangatlah kecil dan menyebabkan mahasiswa minim pengalaman. Oleh karena itu program ini disiapkan untuk membantu para mahasiswa menerapkan ilmu yang dipelajari dalam suatu bidang kerja. Namun hak ini bersifat sukarela, yang berarti para mahasiswa tidak diwajibkan untuk menggunakan opsi 2 semester tersebut.
Baca juga: Kebijakan Kampus Merdeka: Dapatkah Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa?