Amalia (2003, h. 86) mengatakan bahwa secara etimologis, feminisme berasal dari kata femina yang berarti sifat kewanitaan yang dimiliki oleh seseorang. Kata tersebut kemudian ditafsirkan dalam bahasa Inggris, sehingga menjadi feminine yang berarti sifat perempuan. Lalu kata tersebut ditambah "ism", sehingga menjadi feminism yang berarti paham mengenai perempuan.
Pada pembahasan penelitian Hidayati (2018, h. 22), awalnya, teori feminisme ditandai dengan sebuah pemikiran yang lahir dari keinginan untuk mengubah pemahaman tentang konsep gender.Â
Namun, seiring berkembangnya kondisi sosial yang ada pada masyarakat menjadikan teori-teori feminisme merubah tuntutan-tuntutannya ke arah kebutuhan dan keadilan yang diinginkan oleh kaum perempuan. Para penulis perempuan pun juga sudah mulai menemukan gagasan-gagasan yang mempertanyakan posisi mereka di dunia sosial.
Sebagai sebuah tinjauan teoritis, Teori Feminisme tidak lepas dari perkembangan feminisme barat. Berdasarkan hasil penelitian dari Suwastini (2013, h. 199-206), perkembangan gerakan feminisme terdiri dari:
Gerakan Feminisme Awal
Gerakan pada masa ini merupakan gerakan dalam menghadapi patriarki di Inggris pada tahun 1550-1700. Pandangan patriarki yang dilawan adalah mengenai subordinasi pada perempuan yang dianggap lemah, tidak rasional, dan emosional. Gerakan ini berusaha untuk memberikan pemikiran mengenai perempuan yang seharusnya turut berperan dalam perkembangan sebuah masyarakat.
Feminisme Gelombang Pertama
Pada masa ini, gerakan feminisme ditandai dengan munculnya tulisan dari Mary Wollstonecraft yang berjudul The Vindication of the Rights of Women pada tahun 1792.Â
Tulisan ini dianggap sebagai tonggak gerakan, karena menyerukan sisi rasional perempuan dan menuntut bahwa perempuan harus dapat belajar di sekolah pemerintah. Pendidikan yang diterima oleh perempuan diharapkan dapat mengembangkan intelektualitas perempuan sehingga mampu hidup mandiri.
Pada tahun 1948, tepatnya di Amerika Serikat, Seneca Falls menjadi saksi pertemuan pertama bagi perempuan untuk membahas hak-haknya.Â
Akibatnya, mereka datang dengan 'Deklarasi Sentimen', di mana mereka menyatakan hak yang setara dan liberal seperti yang dimiliki laki-laki. Kemudian diikuti oleh pembentukan asosiasi hak pilih perempuan nasional untuk pertama kalinya, yang dipegang oleh Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony.Â
Tujuan utama dari asosiasi ini adalah untuk mendeklarasikan hak memilih dan dengan memberikan suara yang berarti mendapatkan hak-hak lain. Gelombang pertama terus mempengaruhi feminisme di masyarakat Barat dan Timur sepanjang abad ke-20 (Freedman, 2001, h. 2).
Feminisme Gelombang Kedua
Pada masa ini, gerakan ditandai dengan lahirnya tulisan Freidan dengan judul The Feminine Mystique dan berdirinya National Organization for Women (NOW) pada tahun 1960an. Gerakan feminisme pada masa ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan perempuan terhadap diskriminasi secara hukum dan politis pada gelombang pertama. Gerakan ini memusatkan pada isu-isu yang memengaruhi kehidupan perempuan secara langsung seperti pengasuhan anak, reproduksi, dan kekerasan seksual.
Feminisme di Amerika pada gelombang kedua ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran kanan dan kiri. Aliran kanan bersifat liberal dengan memperjuangkan partisipasi dan keterlibatan perempuan pada seluruh aspek kehidupan sosial.Â
Sedangkan aliran kiri bersifat radikal dengan menentang pemaksaan terhadap perempuan mengenai sikap mengalah, apolitis, dan lemah lembut. Pada negara Inggris, kelompok kanan dan kiri bersatu melaksanakan pemogokan dalam rangka menuntut persamaan upah, kesempatan kerja, dan persamaan pendidikan.
Ciri utama feminisme dalam gelombang ini adalah adanya usaha untuk merumuskan teori dalam memayungi perjuangan-perjuangan feminis. Simone de Beauvoir menjadi acuan dalam teori feminisme pada tahun 1970an. Beliau menentang psikoanalisa dari Freud mengenai dorongan alam bawah sadar dan Teori Marx mengenai subordinasi ekonomi, karena teori-teori itu telah membawa perempuan menjadi konstruksi sosial yang bersifat patriarkis.
Beauvoir (2016, h. 87) mengungkapkan fakta di balik penindasan perempuan dalam sejarah. Hierarki jenis kelamin terjadi ketika laki-laki menciptakan mitos mengenai perempuan, sehingga mereka dapat menguasai perempuan. Mitos tersebut adalah bentuk ideal perempuan yang laki-laki butuhkan sebagai pelengkap.Â
Hal ini ditujukan agar perempuan mau mengorbankan diri mereka untuk laki-laki, sehingga perempuan didorong untuk melupakan, mengabaikan, atau melakukan penyangkalan terhadap dirinya sendiri.
Pendapat dari de Beavoir dikembangkan oleh Betty Freidan, Kate Millet, dan Shulamith Firestone di Amerika. Menurut Freidan, perempuan harus meninggalkan hal-hal yang mengikat perempuan pada rumah tangga.Â
Sedangkan Millet lebih mengembangkan pemikiran de Beavoir pada kajian film, sastra, dan budaya dengan melawan penindasan terstruktur oleh ideologi. Sementara Firestone, membawa perempuan untuk menguasai alat-alat reproduksi.
Kemudian, di Inggris, pemikiran de Beavoir dikembangkan oleh Julliet Mitchel. Beliau mengatakan bahwa penindasan perempuan dilakukan secara ideologis. Pencekokan ideologi pada perempuan telah dilakukan secara terstruktur melalui perilaku seksual dan pengabdian pada keluarga.
Pada negara Perancis, orang-orang yang setuju dengan pemikiran de Beavoir dengan menentang psikoanalisa Freud mengenai dorongan alam bawah sadar adalah Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva. Mereka mengembangkan pemikiran de Beavoir dengan menggunakan psikoanalisa dalam menjelaskan subordinasi posisi perempuan. Mereka menelusuri subordinasi pada perempuan yang dikonstruksi melalui bahasa dan budaya.
Postfeminisme/Feminisme Gelombang Ketiga
Feminisme gelombang kedua memeroleh kritik secara universal, sehingga terjadinya pendefinisian kembali mengenai feminisme pada tahun 1980an.Â
Hal ini dipicu oleh tiga hal, yaitu pertama, konsep feminisme bersifat etnosentris dan rasis, karena hanya mewakili kelas menengah dan perempuan kulit putih; kedua, gelombang kedua belum cukup menyuarakan perbedaan seksual; dan ketiga, berkembangnya teori poststrukturalisme, postmodernisme, dan postkolonialisme yang beririsan dengan perkembangan feminisme. Ketiga hal ini menjadikan perkembangan feminisme sangat beragam.
Istilah postfeminisme memiliki definisi yang beragam. Pertama, adanya titik temu pada postmodernisme, postkolonialisme, dan poststrukturalisme dengan feminisme menjadikan istilah postfeminisme merujuk pada pengkajian yang lebih kritis.Â
Kedua, istilah ini merujuk kepada ketidakrelevanan pada tujuan feminisme 1980an, karena gelombang kedua telah mencapai semuanya. Ketiga, istilah ini sebagai deklarasi perang terhadap budaya popular dan media massa akibat propaganda yang mendiskreditkan perempuan yang telah ter-emansipasi.Â
Keempat, istilah ini digunakan sebagai peninjauan kembali atas konsep feminisme sebelumnya yang tidak lagi berfokus pada objektifikasi perempuan (mengenai tubuh) melainkan perempuan sebagai subjek (membuat keputusan).
Seiring berkembangnya teknologi, gerakan-gerakan feminisme juga telah dilancarkan di berbagai platform media. Bahkan ada media-media khusus yang menyuarakan tentang feminisme dan kesetaraan gender.Â
Hal ini berbanding lurus dengan penyusupan ideologi yang sifatnya patriarkis pada media-media tertentu, bahkan menyusup pada wacana mengenai perempuan.Â
Oleh karena itu, media yang cukup concern soal gender berupaya untuk meminimalisir dan mengawasi wacana-wacana mengenai perempuan agar dapat tercipta wacana yang ramah terhadap perempuan dan minim unsur seksisme.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI