Mohon tunggu...
refi amalia rosyidah
refi amalia rosyidah Mohon Tunggu... Freelancer - about psychology

melihat diantara sudut pandang yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Melihat Dua Sisi dari Kasus Wamena

22 Oktober 2019   12:23 Diperbarui: 22 Oktober 2019   12:47 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Kasus wamena yang berlangsung selama beberapa pekan ini diawali pada tanggal 23 september 2019,  sebelumnya saat ini telah dikabarkan media terdapat 33 korban jiwa dan puluhan luka-luka. Selain itu, berbagai kerugian-kerugian dari segi materil maupun psikis juga dialami warga setempat. Kronologi tersebut bermula pada adanya kabar hoax berbau rasisme yang dinyatakan pada salah seorang guru SMA di Wamena. Namun, kenyataannya pernyataan tersebut hanyalah kabar hoax semata dan sudah diklarifikasi kebenarannya.

Media memiliki peran yang sangat penting ditengah perkembangan dunia digital dimasa kini. Sehingga berbagai informasi yang diterima dari berbagai pihak memiliki kepentingannya masing-masing. Hal tersebut membuat media memiliki framing atas apa yang ingin mereka nyatakan kepada publik sehingga tidak menutup kemungkinan publik akan percaya. Berbagai informasi yang kurang kredibel akan kebenarannya mudah sekali tersebar dimedia sosial, oleh sebab itu kabar hoax ada dimana-mana.

Disamping itu, Intensitas afek dan emosi juga ditentukan oleh persepsi tentang kelompok lain. Semakin dekat situasi yang menghasilkan emosi maka semakin besar intensitas emosi tersebut. Secara umum, kita akan berharap bahwa emosi positif berkaitan dengan in-groups dan emosi negatif berkaitan dengan out-groups. Tidak menutup kemungkinan isu ini ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang terjadi di Papua. Oleh karena itu, emosi publik cepat tersulut ketika adanya pembataian dan pembakaran kepada masyarakat papua. Pandangan publik akan peristiwa ini telah menjadikan kasus ini sebagai pelanggaran ham yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Komnas Hak Asasi Manusia beberapa pekan lalu.  

Dari kasus Wamena dapat dilihat jika berbagai informasi hoax bertebaran, sehingga tidak menutup kemungkinan pandangan publik akan mempercayai hal  tersebut yang munculkan berbagai provokasi dan menyulut keadaan chaos. Kejadian tersebut dapat dijelaskan melalui teori kognisi yaitu konsep dalam memahami bagaimana cara orang-orang  meproses informasi dan memahami dunia disekitarnya (Cottam, 2012). Dimana dalam hal ini skema berperan penting, skema adalah suatu struktur kognitif yang mewakili pengetahuan tentang suatu konsep atau jenis stimulus termasuk atribut-atributnya dam hubungan diantara atribut tersebut. 

Skema digunakan untuk menyaring informasi yang menyediakan orang orang suatu cara untuk memutuskan informasi mana yang benar, tidak relevan atau tidak benar. Tahapan individu dalam menerima informasi dimulai dari Informasi diterima dan skema yang sesuai disiapkan (primed),  kemudian Informasi tsb dicocokkan dengan strukrur pengetahuan dan simpul-simpul yang sesuai, selanjutnya Informasi tersebut dinilai dan disimpan dalam ingatan, terakhir membuat evaluasi yang ditarik dari ingatan ketika individu diminta untuk membuat keputusan tentang tindakan politikknya (Cottam, 2012). 

Oleh karena itu, alasan mengapa kita mudah mempercayai kabar hoax dikarenakan perbedaan skema yang diterima setiap individu. Disisi lain, Perumusan media dalam membuat opini public berperan penting dalam pembentukan informasi yang diterima masyarakat. Cohen (dalam Cottam, 2012) menyatkan "Pers mungkin seringkali tidak berhasil mengatakan pada orang orang apa yang perlu dipikirkan, namun keberhasilannya memukau dalam mengatakan kepada para pembacanya tentang apa yang perlu dipikirkan" . Sekali lagi, media memainkan suatu peran penting dalam proses penyiapan, karena media menentukan isu isu mana yang hadir pada bagian terdepan.

Menurut pandangan pemerintah, kasus wamena yang terjadi diakibatkan adanya provokator yang ditunggangi oleh salah seorang dari tokoh OPM. Bagi mereka yang beroposisi, masyarakat Papua tidak mendapatkan keadilan yang layak selayaknya daerah lain, isu ham dan rasial masih bertebaran dimana-mana dan tidak kunjung diselesaikan. Namun, apakah memang orang-orang penggerak organisasi tersebut murni memiliki niat murni untuk mensejahrterakan masyarakat papua? Ataukah terdapat niat terselubung didalamnya. 

Tidak dapat dipungkiri isu papua ini mulai mencuat kembali ketika pemerintahan jokowi dengan beraninya mengakuisisi kepemilikan 51% saham Freeport. Hal tersebut menjadi ancaman bagi negara-negara yang memiliki kepentingan atas sumber kekayaan tambang tersebut. Kini Indonesia memiliki citra sebagai 'anak nakal' oleh negara lain karena berusaha menghambat jalan mereka. Menurut Cottam (2012) citra imperialisme muncul ketika orang dalam pemerintahan  mempersepsikan ancaman dari pemerintahan lain yang di pandang superior perihal kapabilitas dan budaya. Kekuasaan Imperialisme di presepsikan sebagai sebuah dorongan untuk menguasai atau mengeksploitasi sumber daya orang-orang yang di jajah.

Jokowi sebagai presiden berperan untuk menjaga kestabilan dan keamanan negara. Dalam kasus ini, pemerintah menggunakan cara dengan memperlemah jaringan internet yang ada di Papua, adanya pembatasan jurnalistik pada pemberitaan isu ini, dan pemblokiran konten yang dianggap negatif bagi pemerintah. Cara ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. 

Sisi positifnya agar masyarakat tidak mudah terprovokasi akan informasi hoax yang beredar. Namun, sisi negatifnya apakah memang cara tersebut guna menjaga kestabilan negara atau untuk membungkam aspirasi publik dan media. UU No. 40 tahun 1999 menyatakan memberikan jaminan kebebasan terhadap pers. 

Tetapi, aturan tersebut jauh dari kenyataan yang ada. Laporan terbaru Human Rights Watch menunjukkan bahwa janji jokowi ketika kampanye ingin membuka akses ke Papua bagi jurnalis jauh dari kata terlaksana. Akses masih belum optimal sehingga sulit untuk mencari laporan yang secara detail menjelaskan apa yang sedang atau telah terjadi di Papua. 

Kekerasan dan ancaman juga tidak sedikit menimpa para jurnalis yang bertugas di Papua dan kecenderungan untuk menampilkan pernyataan resmi dari pemerintah. Cara tersebut dipandang lebih aman dan tidak menimbulkan keresahan dari berbagai pihak. Tetapi, pada akhirnya publik hanya menerima informasi satu arah yang didominasi pemerintah dan aparat keamanan.

Kita sebagai masyarakat hanya berharap isu ini cepat terselesaikan, tidak adanya ketimpangan keadilan yang diperoleh masyarakat Papua, dan bangsa ini mendapatkan jalan keluar dari akar permasalahan yang sebenarnya terjadi sehingga masyarakat Papua tidak menjadi alat dari kepentingan suatu kelompok ataupun elit-elit tertentu.  

Daftar Rujukan

Cottam, M. L. (2012). Pengantar Psikologi Politik. Jakarta: Rajawali press.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun