Gelombang tuntutan rakyat yang tergabung dalam gerakan 17+8 menjadi sebuah fenomena sosial-politik yang tidak bisa dianggap remeh. Dari 25 butir aspirasi yang tercatat, 17 di antaranya bersifat jangka pendek dengan tenggat 5 September 2025, sementara delapan sisanya merupakan agenda jangka panjang hingga 31 Agustus 2026. Salah satu tuntutan yang cukup menyita perhatian publik adalah desakan agar pemerintah mengambil langkah darurat untuk mencegah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dan melindungi buruh kontrak.
Keresahan ini lahir dari situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian. Perlambatan pertumbuhan global, gejolak harga komoditas, hingga perubahan model bisnis perusahaan membuat pekerja berada dalam posisi rentan. PHK massal bukan hanya berdampak pada pekerja dan keluarganya, tetapi juga berpotensi menekan daya beli, memperbesar pengangguran, serta memunculkan ketidakstabilan sosial. Oleh karena itu, pembahasan mengenai strategi pencegahan PHK dan perlindungan buruh kontrak menjadi sangat krusial.
Kondisi Terkini: Ancaman PHK dan Posisi Buruh Kontrak
Beberapa laporan menunjukkan meningkatnya angka PHK dalam beberapa sektor industri. Manufaktur, tekstil, hingga industri digital menjadi sektor yang paling terdampak. Perusahaan-perusahaan yang menghadapi tekanan biaya cenderung mengambil langkah efisiensi, dan pilihan tercepat yang sering ditempuh adalah mengurangi tenaga kerja.
Dalam konteks ini, buruh kontrak menempati posisi paling rentan. Skema hubungan kerja kontrak sering kali tidak memberikan perlindungan yang memadai, baik dari sisi jaminan sosial, pesangon, maupun kepastian kerja. Ketika perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja, buruh kontrak biasanya menjadi kelompok pertama yang dikorbankan.
Situasi ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, perusahaan memiliki kebutuhan untuk bertahan dalam tekanan ekonomi. Namun di sisi lain, pekerja memiliki hak atas perlindungan, kepastian kerja, dan kesejahteraan yang layak. Maka, pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk hadir sebagai penengah.
Dampak Sosial-Ekonomi Jika PHK Massal Dibiarkan
PHK massal memiliki dampak multidimensi yang melampaui aspek ketenagakerjaan. Pertama, dari sisi ekonomi, meningkatnya angka pengangguran akan menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini berpotensi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kedua, dari sisi sosial, pekerja yang kehilangan pekerjaan akan menghadapi tekanan psikologis, berkurangnya kualitas hidup, hingga kerentanan terhadap kemiskinan.
Ketiga, dari sisi politik, meningkatnya angka pengangguran dapat memicu ketidakpuasan publik terhadap pemerintah, yang berujung pada instabilitas politik. Keempat, dari sisi pembangunan jangka panjang, hilangnya tenaga kerja terampil akibat PHK dapat melemahkan kapasitas produksi nasional.
Dengan demikian, mencegah PHK massal bukan hanya urusan ketenagakerjaan semata, melainkan bagian integral dari menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik bangsa.