Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dongeng Damai Sang Pendeta Muda

1 Agustus 2023   20:41 Diperbarui: 1 Agustus 2023   21:22 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eklin mendongeng untuk anak Indonesia di Channel Youtube Paudpedia (foto. facebook Eklin)

"Cit cit cit cit cit cit cit cit cit cit cit!" Sang pendeta muda memulai dongengnya dengan menirukan suara burung gereja. Saat mendongeng pendeta muda itu memakai kemeja putih. Pada kepalanya diikat sebuah selendang tenun ikat berwarna merah dengan motif yang khas. Rambutnya dibiarkan terurai menutupi keningnya.

"Cit cit cit cit cit cit cit cit! Aku bingung kenapa sekarang tidak hanya daun tua menguning saja yang berjatuhan, tapi daun -- daun muda juga tiba -- tiba banyak yang menguning. Aku takut daun -- daun muda juga tiba -- tiba nanti banyak yang berjatuhan." Sang pendeta muda kembali menirukan suara burung gereja, lalu berbicara laiknya seekor burung gereja yang kebingungan.

Kemudian ia menghadirkan suara lonceng, lalu menghantar burung gereja terbang ke dahan sebuah pohon yang hampir mati karena semua daunnya menguning. Saat meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, tiba -- tiba semua dedaunan di pohon itu berguguran ke tanah. Di situlah terjadi dialog antara burung gereja dan dedaunan tua. Dari dialog itu kita akhirnya mengetahui bahwa daun -- daun muda menguning dan berguguran karena ulah manusia yang membuat polusi di udara dan di tanah.

Di akhir dongeng sang pendeta menirukan suara kakek -- kakek untuk mewakili suara dedaunan tua yang menguning. Katanya, "Burung gereja katakan kepada orang di gereja, di mesjid, di wihara, di klenteng, di pure, supaya bisa menjaga alam ini. Asap kendaraan, asap rokok, asap pabrik, dan sampah -- sampah, membuat kami susah untuk bernafas. Kami sakit."

Nah, itulah sekilas penampilan pendeta muda dari Ambon, Eklin Amtor de Fretes, ketika membawakan dongeng berjudul "Burung Gereja" di Channel Youtube Paudpedia. Dongeng berdurasi 6 menit itu dibawakan dengan sangat indah. Tak hanya suaranya yang diserupakan dengan suara burung dan dedaunan, tetapi juga ekspresi wajah dan gerakan tangan membuat siapa pun yang melihat ikut hanyut di dalam dongeng.

Namun, itu bukanlah ciri khas Eklin ketika mendongeng. Karena biasanya kalau mendongeng ia selalu ditemani oleh Dodi, sebuah boneka bermulut lebar yang menggemaskan. Kemanapun Eklin pergi melaksanakan misinya membawa pesan damai,  Dodi akan dibawanya serta. Sebab Dodi sendiri merupakan akronim dari "Dongeng Damai".

***

Eklin Amtor de Fretes ditahbiskan menjadi seorang pendeta tiga tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 19 Januari 2020. Walaupun baru menjadi pendeta tetapi pergerakan Eklin untuk perdamaian di tanah Ambon sudah dirintisnya sejak tahun 2017. Saat itu Eklin masih menjadi mahasiswa di Universitas Kristen Indonesia Maluku.

Berbekal pengalaman sebagai Trainer Living Values Education yang diperoleh setahun sebelumnya, Eklin menggagas berdirinya Komunitas Jalan Merawat Perdamaian (JMP) bersama  beberapa temannya. Komunitas ini menyasar anak -- anak muda lintas iman yang ada di Ambon. Tujuannya yakni merangkul sebanyak mungkin orang muda untuk sama -- sama merawat perdamaian dan menumbuhkan toleransi.

Bersama komunitas JMP, Eklin menginisiasi kegiatan Kemah Damai Pemuda Lintas Iman (Youth Interfaith Peace Camp). Kegiatan itu dilaksanakan sebanyak tiga kali selama tahun 2017. Melalui kegiatan ini Eklin membuka ruang bagi orang -- orang muda lintas iman di Ambon untuk saling berdiskusi, saling berbagi nilai -- nilai, dan membongkar sekat -- sekat pemisah yang mengungkung mereka dalam kebencian akibat konflik SARA.

Kegiatan itu boleh dikatakan berhasil. Namun setelah melaksanakan Kemah Damai, Eklin merasa ada yang kurang. Komunitas JMP hanya bergerak membawa misi perdamaian untuk para pemuda. Hal ini menurutnya tidak mampu membongkar segregasi pemikiran yang sudah terlanjur meracuni pemikiran anak -- anak di Maluku.

"Tahun 2018, saya melihat bahwa kegiatan Youth Interfaith Peace Camp yang saya bersama dengan teman -- teman JMP lakukan itu hanya untuk teman -- teman pemuda saja. Tidak ada untuk anak -- anak. Padahal masalah segregasi wilayah di Maluku itu bisa berdampak pada segregasi pemikiran. Orang tua bisa saja menceritakan cerita -- cerita konflik yang membuat anak -- anak memasang tembok atau sekat dengan kelompok yang berbeda " Tuturnya.

Atas dasar pemikiran tersebut, pemuda kelahiran Masohi itu mencari cara bagaimana masuk ke dalam dunia anak -- anak.  Ia kemudian berpikir bahwa jika segregasi pemikiran bisa meracuni anak -- anak melalui penuturan orang -- orang tua maka untuk melawannya ia harus menggunakan penuturan juga. Karenanya Eklin memilih mendongeng sebagai jalan masuk ke dunia anak -- anak dan meruntuhkan tembok yang selama ini membelenggu mereka.

***

Sebelum manusia mengenal tulisan, mendongeng adalah satu - satunya cara yang dipakai untuk bercerita tentang apa saja mulai dari pengalaman, cerita rakyat, nilai -- nilai moral dan anekdot -- anekdot yang lucu yang berkembang di masyarakat. Siapa pun yang terampil berbicara dan bercerita pada waktu itu tentu lebih diperhatikan daripada yang lainnya. Hal ini membuat para pendongeng mendapat tempat yang istimewa dan populer. Mereka dikenal banyak orang karena mereka mampu  mengajar dan menghibur masyarakat dengan cerita  - ceritanya.

Di rumah -- rumah mendongeng adalah kegiatan yang sering dilakukan oleh orang tua pada jaman dahulu. Dengan mendongeng orang tua mengisahkan legenda -- legenda di kampung, mengisahkan juga perjuangan masa mudanya serta kesempatan mengajarkan nilai -- nilai moral kepada anak -- anaknya. Di beberapa daerah, mendongeng bahkan menjadi kegiatan wajib yang dilakukan pada saat musim panen.

Walaupun begitu satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh Eklin adalah apakah mendongeng masih relevan dilakukan pada jaman modern ini?, jawabannya tentu masih sangat relevan. Namun modal nekat saja tidak cukup. Apalagi pendeta yang kini berusia 32 tahun itu tidak mempunyai basic mendongeng sama sekali. Eklin juga tidak terbiasa berinteraksi dengan anak -- anak. Hal ini tentu akan membuatnya kesulitan ketika mulai berkarya di tengah -- tengah masyarakat.

Sebab menurut Priyono ada beberapa hal penting yang harus dilakukan seorang pendongeng, yaitu: Pertama, pendongeng harus ekspresif  dan enerjik untuk menarik perhatian anak. Kedua, Pendongeng harus banyak membaca sehingga cerita yang disampaikannya bervariasi supaya anak tidak gampang bosan. Ketiga, pendongeng harus memilih cerita yang mempunyai pesan dan budayanya dapat ditiru anak-anak. Keempat, pendongeng harus menyesuaikan dongeng dengan usia anak karena setiap tingkatan umur memiliki cara bercerita atau mendongeng yang berbeda.

Menyadari kelemahannya, Eklin belajar mendongeng melalui channel youtube. Teknik mendongeng yang dipelajarinya adalah ventriloquist atau teknik berbicara tanpa menggerakkan bibir. Teknik ini mengandalkan suara perut untuk berbicara.

Sang pendeta muda mempelajari teknik ini karena ketika mendongeng ia akan berperan menjadi dua tokoh. Tokoh pertama adalah dirinya sendiri dan tokoh kedua adalah Dodi, si boneka. Boneka itu dipakai untuk menutupi rasa tidak percaya dirinya di hadapan anak -- anak dan sekaligus sarana yang membantunya menghidupkan suasana.

Eklin sedang membacakan dongeng (foto. Facebook Eklin)
Eklin sedang membacakan dongeng (foto. Facebook Eklin)

Ikhtiar ini dilakukannya kurang lebih selama dua minggu. "Saya belajar dari youtube, selama dua minggu. Saya langsung belajar mendongeng dan ketika saya merasa sudah siap, saya langsung turun keliling Maluku." Katanya.

***

Pada tanggal 1 Januari 2018, Eklin memutuskan untuk melaksanakan misi dongeng damai-nya. Tujuan pertama Eklin adalah menyapa masyarakat pedalaman Pulau Seram yang masih menganut kepercayaan asli. Mereka istimewa bagi Eklin, karena termasuk masyarakat minoritas di Maluku yang perlu mendapatkan perhatian. Namun sayangnya mereka menolak kehadiran Eklin di sana. Ada ketakutan dari masyarakat setempat, sang pendeta memiliki maksud terselubung.

"Teman -- teman dan saudara -- saudara agama suku di sana menolak terutama kepala suku karena mereka beranggapan bahwa saya hendak melakukan proses kristenisasi." Kenangnya.

Penolakan itu tak lantas memupuskan semangatnya. Ia bahkan semakin bersemangat menyebarkan misi damai. Lokasi yang kedua yang ditujunya adalah daerah Desa Nua Nea. Di sini Eklin kembali berinteraksi dengan masyarakat penganut kepercayaan asli dan ia diterima dengan sangat baik. Yang menarik, sang pendeta muda diberi kesempatan mendongeng di tempat di mana masyarakat biasa melaksanakan upacara adat.

Dari situ Eklin merasa memiliki kekuatan untuk membawa misi dongeng damai ke daerah -- daerah yang pernah menjadi titik -- titik konflik pada tahun 1999 hingga 2002. Dua di antaranya adalah Saleman dan Horale yang terletak di Pulau Seram. Dengan dongeng yang diceritakannya, Eklin mampu menyatukan anak -- anak dari dua daerah itu.

"Orang -- orang tua mereka yang sudah lama tidak bertemu karena konflik berkepanjangan, akhirnya bisa bertemu lagi hanya karena dongeng. Mereka berpelukan, mereka bisa akur dan bahagia. Dari situ saya semakin yakin bahwa dongeng bisa membangun ikatan kedekatan dan membawa kebahagiaan." Ujar sang pendeta muda.

Tak berhenti di situ, pemuda kelahiran 19 November 1991 itu terus melebarkan sayap untuk menyebarkan misi damai. Ketika kembali ke Ambon, Eklin diterima mendongeng di Masjid Raya Al Fatah, Masjib Baitul Makmur, Masjid Mardothila, dan Vihara Swarna Giri Tirta, Pura serta beberapa gereja. Bahkan dongeng damainya melebar melampaui pulau -- pulau di Maluku dan Maluku Utara. Totalnya sekitar 73 daerah yang pernah dikunjunginya untuk mendongeng.

Eklin mendongeng di Halaman Masjid Raya Al Fatah (Foto. Facebook Eklin)
Eklin mendongeng di Halaman Masjid Raya Al Fatah (Foto. Facebook Eklin)

***

Bapak Carel de Fretes dan Mama Maria de Fretes Sesa ternyata sangat mendukung Eklin melaksanakan misi Dongeng Damai. Sekalipun tanah mereka sempit, mereka tetap berupaya mewujudkan impian Eklin membangun Rumah Dongeng Damai. Ceritanya Rumah Dongeng Damai itu berdiri di atas pusara kakek Eklin.

"Tanah kami sempit, jadi di depan rumah itu ada kuburan kakek dan kuburan kakek itu tidak pakai batu nisan, jadi tidak tahu kalau itu kuburan. Nah, disulaplah menjadi sebuah rumah." Katanya.

Rumah Dongeng Damai kini telah menjadi ruang perjumpaan. Siapa pun boleh belajar mendongeng di sana. Tidak hanya anak -- anak, tetapi juga orang tua dan para guru. Rumah yang berukuran 4 x 3 meter itu menyimpan banyak koleksi buku dan boneka -- boneka sebagai media belajar.

Suasana Belajar di Rumah Dongeng Damai (foto. Facebook Eklin)
Suasana Belajar di Rumah Dongeng Damai (foto. Facebook Eklin)

Banyak anak -- anak sudah bisa mendongeng. Mereka bahkan bisa mendongeng dengan teknik ventriloquist seperti yang dilakukan oleh Eklin dan Dodi. Salah  satunya anak itu adalah Ira. Boneka yang bisa dipakai Ira bernama Ari. Berkat ketekukan belajar mendongeng di Rumah Dongeng Damai, gadis SMP itu berhasil menjadi Juara ke -- 2 Lomba Mendongeng Tingkat Propinsi Maluku.

Di rumah itu, ada juga para relawan yang biasanya membantu anak -- anak belajar. Mereka tak hanya mengajarkan mendongeng tetapi juga mengajarkan Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. Tujuannya agar dongeng bisa dibawakan dalam berbagai bahasa selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ambon.

***

Melihat sepak terjang sang pendeta muda, panitia SATU Indonesia Awards menghubunginya secara pribadi untuk mendaftarkan programnya. Karena motivasi yang positif dari panitia, ia akhirnya mau mendaftar. Panitia kemudian mengiriminya link pendaftaran, panduan pendaftaran, formulir dan persyaratan lainnya.

Di luar dugaan, Eklin terpilih sebagai pemenang SATU Indonesia Awards Bidang Pendidikan Tingkat Nasional. Padahal saat itu peserta yang mendaftar dari seluruh Indonesia sekitar sepuluh ribu tiga puluh enam orang.

"Kemarin (2020), 10.036 orang pemuda seluruh Indonesia yang mendaftar." Katanya sembari tersenyum.

SATU Indonesia Awards adalah Apresiasi Astra yang diberikan kepada anak bangsa yang senantiasa memberi manfaat bagi  masyarakat dalam lima bidang, yaitu Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut. Menjadi salah satu dari lima anak bangsa yang menginspirasi negeri tentu sangat membanggakan. Eklin tidak hanya mendapatkan piagam, piala dan uang sebesar 65 juta rupiah, tetapi juga ia mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia sekaligus mengharumkan propinsi Maluku.

Astra percaya bahwa selain Eklin masih banyak anak -- anak muda inspiratif yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena itu pada tahun 2023, PT Astra Internasional Tbk kembali menggelar SATU Indonesia Awards dengan mengusung tema "Semangat untuk Hari Ini Dan Masa Depan Indonesia". Ini merupakan tahun pelaksanaan SATU oIndnesia Awards ke-14 sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2010. Adapun penerima SATU Indonesia Awards mencapai 565 orang dengan perincian; 87 penerima tingkat nasional dan 478 penerima tingkat propinsi.

***

Saat ini Eklin telah tiga tahun menjadi seorang pendeta. Ia bertugas di Gereja GMP Bebar Timur. Dengan tugas barunya  kesibukan Eklin bertambah. Selain kesibukan yang telah dilakoninya selama ini di Komunitas JMP dan Rumah Dongeng Damai, Eklin juga kini mulai melayani di gereja. Walaupun begitu Eklin tidak mengeluh. Karena semua itu dilakukannya dengan tulus untuk kebahagiaan anak - anak Maluku.

"Damai itu ada, kalau kebahagiaan itu dirasakan." Ungkapnya.

Suatu hari Eklin memberanikan diri membawa Dodi naik ke atas mimbar gereja. Dari sana ia berkotbah dengan gaya seperti sedang mendongeng. Jemaat yang hadir terkesan dengan kotbahnya tetapi seorang ibu menyatakan keberatan.

"Mimbar itu tempat yang suci tidak boleh membawa boneka." Katanya mengulangi kalimat ibu tersebut.

Ada alasan yang kuat Eklin membawa Dodi naik ke atas mimbar yakni agar kotbah itu tidak hanya dipahami oleh orang tua saja tetapi juga mendarat di sanubari anak - anak. Hal ini terbukti ketika ia hendak turun dari mimbar seorang anak lari dari antara para jemaat dan langsung memeluk sang pendeta. Anak itu lalu meminta Eklin menggendongnya.

Mendongeng dari atas mimbar (foto. facebook Eklin)
Mendongeng dari atas mimbar (foto. facebook Eklin)

Selain itu ibu yang menyampaikan keberatan kala itu, justru sekarang paling bersemangat mendengarkan kotbahnya. Ia kalau mengetahui sang pendeta berkotbah di suatu gereja tertentu, ia akan mengikutinya. Ibu itu akhirnya mengerti bahwa boneka hanyalah media untuk menyampaikan firman Tuhan agar lebih mudah dipahami oleh semua kalangan.

***

Terakhir, harapan Eklin Amtor de Fretes adalah dongeng bisa tetap hidup untuk menjadi media pendidikan yang menghidupkan nilai dan merawat perdamaian di Maluku. Untuk mewujudkan harapan ini Eklin, menerbitkan sebuah buku berjudul "Mari Mendongeng Kisah -- Kisah Damai." Sang pendeta muda itu juga bermimpi, suatu hari nanti akan ada lebih dari 446 pendongeng dari Ambon yang bisa bercerita tentang damai bagi anak -- anak.

Eklin, Dodi dan Buku Mari Belajar Mendongeng Kisah - Kisah Damai (foto. Facebook Eklin)
Eklin, Dodi dan Buku Mari Belajar Mendongeng Kisah - Kisah Damai (foto. Facebook Eklin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun